Surat tanda registrasi dokter bukan sekadar pencatatan administrasi dan juga tak mungkin diberikan sekali seumur hidup. Jika sekadar pencatatan dan untuk seumur hidup, masyarakat rentan terancam keselamatannya.
Oleh
ZAINAL MUTTAQIN
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tak seorang pun boleh tercederai saat mencari pertolongan. Artinya, patient safety menjadi tolok ukur utama dari setiap upaya medis. Hippocrates, Bapak Ilmu Kedokteran Modern, mengatakan bahwa kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan berniaga atau berbisnis.
Menurut Konsil Kedokteran Dunia, praktik kedokteran yang baik hanya bisa dilakukan oleh dokter yang baik, yang memberikan pelayanan ketimbang mencari keuntungan, yang selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya, dan yang menjaga hubungan baik dengan pasien dan sejawat dokter lainnya. Semua itu telah tertuang secara rinci dan pas dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran (UU Nomor 29 Tahun 2004).
Oleh karena itu, sebelum mulai berprofesi, seorang dokter harus mengucapkan sumpah yang bukan sekadar diucapkan oleh lidah, tetapi sumpah ini adalah janji atas nama Tuhan (dimulai dengan kata ”Demi Allah” bagi penganut Islam). Meskipun demikian, mari kita telaah beberapa contoh kejadian di bawah ini.
Seorang saudara jauh dari desa di sekitar Ibu Kota bercerita, anaknya baru saja dioperasi bedah otak karena ada retak di tulang kepalanya akibat jatuh dari pohon kelapa. Saya pun diminta melihat foto rontgen si anak dan diceritakan pula bahwa si anak sebenarnya baik-baik saja sebelum ataupun pascaoperasi. Dia bahkan sampai memuji si dokter yang bertindak cepat meskipun dia pakai fasilitas BPJS Kesehatan. ”Agar korban tidak mengalami hal buruk di kemudian hari,” kata dokternya.
Secara medis keilmuan, kasus seperti ini sama sekali tidak memerlukan intervensi bedah otak karena tulang yang retak akan sembuh sendiri, dan kondisi pasien yang baik menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada cedera otak. Jadi, sebenarnya si dokter telah berbuat tidak sesuai dengan etika keilmuan dan etika profesi, dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan pasien dan kepercayaan penuh si pasien atas keputusan ”terbaik” oleh dokter.
Tindakan dokter yang tidak etik tersebut tidak mungkin bisa diketahui/dikenali oleh pihak mana pun, termasuk si pasien, polisi, direktur rumah sakit, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang menerbitkan surat tanda registrasi (STR), bahkan oleh pejabat pemerintah yang menerbitkan surat izin praktik (SIP), apalagi oleh sistem administrasi Kementerian Kesehatan (yang konon kabarnya akan mengambil alih penerbitan STR sekali seumur hidup).
Tindakan tersebut bahkan tidak bisa dihukum karena bukan suatu pelanggaran hukum, padahal tindakan semacam itu bisa dan banyak terjadi di semua bidang ilmu/spesialisasi kedokteran. Sekali lagi, hanya peer group/kolegium dan organisasi profesilah yang bisa mengenali dan membuktikannya, untuk selanjutnya memberikan sanksi melalui Dewan atau Majelis Etik Profesi yang dimiliki oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan setiap perhimpunan dokter spesialis.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Dokter spesialis mata di Malaka melakukan operasi katarak di daerah itu beberapa waktu lalu. Sebelum berpraktik spesialis, dokter memperoleh surat tanda registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia.
Cerita berikutnya terkait diri saya pribadi. Saat awal berpraktik spesialis, saya memperoleh STR dari KKI, sebagai spesialis bedah saraf dasar, sesuai dengan ketentuan UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, Pasal 29. Dalam STR tersebut ternyata termuat tulisan mahapenting, ”dapat digunakan sebagai alat kontrol kompetensi bagi pihak yang berkepentingan“.
Jadi, jelas bahwa STR ini bukanlah sekadar alat pencatatan/register belaka sebagaimana surat izin mengemudi (SIM) atau KTP. Apabila suatu saat terjadi persoalan terkait dugaan malapraktik atau bahkan persoalan hukum, maka catatan kompetensi ini menjadi acuan baku atas tindakan pengobatan yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya.
Pada Pasal 28 UU yang sama disebutkan bahwa setiap dokter yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan dalam rangka…. Terkait dengan ini saya mengikuti magang dan lokakarya (workshop) berulang di beberapa pusat bedah epilepsi di Jepang sehingga saat pembaruan STR lima tahun berikutnya saya sudah memiliki kompetensi tambahan dalam bidang bedah epilepsi. Jadi, kompetensi seorang dokter umum ataupun dokter spesialis bisa berubah dalam kurun waktu tertentu.
Jadi, jelas bahwa STR ini bukanlah sekadar alat pencatatan/register belaka sebagaimana surat izin mengemudi (SIM) atau KTP.
Agar ada jaminan kepada publik bahwa pendidikan tambahan yang saya ikuti itu benar dan terstandar, dan bukan cuma abal-abal, maka pada UU yang sama juga ada ketentuan bahwa penetapan standar pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan merupakan kewajiban organisasi profesi kedokteran (karena bisa jadi saya mendalami teknik bedah otak tersebut di fakultas kedokteran hewan di luar negeri).
Terkait dengan operasi bedah dasar tengkorak yang rumit dan memerlukan waktu 8-10 jam, selama ini saya memiliki kompetensi tersebut secara mandiri. Akan tetapi, saat memasuki usia 65 tahun, yang tentu tidak sama dengan saat 10 tahun sebelumnya, demi tanggung jawab saya untuk selalu memberikan yang terbaik bagi pasien dan bagi publik, sudah selayaknya apabila untuk operasi yang rumit dan kompleks tersebut saya tidak bisa lagi mandiri, melainkan perlu pendampingan sejawat yang lebih muda.
Diperbarui dan dievaluasi
Beberapa contoh di atas menjadi bukti bahwa STR bukan sekadar pencatatan administrasi belaka, dan juga menjadi dasar mengapa STR dokter itu tidak mungkin diberikan sekali untuk seumur hidup. Kita bisa mencontoh best practices terkait STR dan SIP ini dari banyak negara maju (misalnya negara-negara Persemakmuran dan Amerika Serikat). Selain harus dilakukan updating dan evaluasi secara berkala, jelas terlihat bahwa perilaku menyimpang seorang dokter yang tidak sesuai dengan etik keilmuan dan etik profesinya tidak akan pernah bisa diketahui oleh pihak lain di luar profesi kedokteran, bahkan oleh dokter lain dengan spesialisasi yang berbeda, apalagi oleh pejabat pemerintah yang menerbitkan SIP atau sistem administrasi Kemenkes sekalipun.
Kata bijak dari Albert Camus, ”A man without ethic is a wild beast loosed upon this world.” Orang biasa bukan dokter apabila tanpa etik bisa seperti hewan buas, apalagi dokter tanpa etik yang dipercaya penuh oleh pasiennya.
Problem utamanya adalah perilaku dokter yang tidak etik dan tidak kompeten, yang seolah menolong padahal berbisnis mencari keuntungan atas ketidaktahuan dan kepercayaan pasien, dokter yang melakukan pengobatan ataupun pemanfaatan teknologi baru yang belum memiliki bukti medis (EBM), melainkan berbasis testimoni ala dukun Ponari. Semua itu ujungnya, masyarakatlah yang paling rentan (vulnerable) akan terancam keselamatannya.
Sebagai pesan terakhir, inti dari UU Praktik Kedokteran adalah pelindungan keselamatan pasien, dan setiap dokter layak mencermati upaya pihak-pihak yang akan menggantinya dengan UU lain yang mengabaikan aspek pelindungan keselamatan masyarakat dengan cara menjadikan STR berlaku seumur hidup dan dengan mengeliminasi peran peer group/kolegium dan organisasi profesi.