Memahami Keterwakilan Politik
Perkataan terbuka Ketua Komisi III DPR Bambang Pacul—yang mengaku bahwa mereka hanya patuh dan mengikuti arahan ketua parpol—amat menyakitkan hati. Seharusnya sebagai wakil rakyat mereka patuh pada rakyat di dapilnya.
Indonesia masih menganut keterwakilan teritorial untuk memilih wakil rakyat di DPR. Namun, anggota dan calon anggota malah mengaku tidak mewakili rakyat di daerah pemilihannya.
Mereka menyebut diri wakil golongan tertentu, seperti rekan artis atau kaum disabilitas, bahkan menuruti arahan ketua partai politik.
Perkataan terbuka Ketua Komisi III DPR Bambang Pacul baru-baru ini—yang mengaku bahwa mereka hanya patuh dan mengikuti arahan ketua parpol—amat menyakitkan hati.
Belum lagi pemberitaan sebelumnya yang melatarbelakangi tulisan ini, yaitu Ucok Baba akan mengajukan diri sebagai bakal calon anggota legislatif pada Pemilu 2024, mewakili Dapil II Provinsi Banten. Ia ingin memperjuangkan komunitas mini dan kaum disabilitas.
Beberapa anggota DPR berusia muda ingin agar kaum muda dapat masuk parpol dan jadi wakil di DPR. Bahkan, ada anggota yang ingin kuota untuk anak muda (youth quota) sebesar 30 persen. Hal ini mengacu pada jumlah keterwakilan perempuan yang diamanatkan undang-undang untuk parpol dan pemilu anggota legislatif.
Ditambah lagi banyak berita berkembang di masyarakat bahwa anggota DPR berlatar pekerjaan/pendidikan insinyur atau dokter dianggap mewakili kelompok insinyur dan dokter pula. Sungguh suatu pandangan yang salah mengenai keterwakilan politik.
Para wakil rakyat dan masyarakat kebanyakan menganggap nantinya anggota DPR dapat mewakili golongan, kelompok, atau identitas kepentingan tertentu. Padahal, mereka bukan utusan golongan (suatu kelompok di MPR) yang sudah bubar sejak amendemen UUD 1945 tahun 1999-2003.
Para wakil rakyat dan masyarakat kebanyakan menganggap nantinya anggota DPR dapat mewakili golongan, kelompok, atau identitas kepentingan tertentu.
Mewakili geografis
Anggota DPR adalah seseorang yang dipilih mewakili wilayah geografis, atau keterwakilan berdasarkan teritorial, melalui parpol dalam pemilu.
Pemilu di Indonesia memilih wakil rakyat untuk menjadi bagian dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Juga untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Fokus tulisan ini lebih untuk DPR. Namun, intinya, warga Indonesia di saat pemilu akan memilih seorang calon dari parpol tertentu, berdasarkan pembagian wilayah geografis atau daerah pemilihan tertentu (territorial constituency).
Dengan model pemilihan begini, tentu saja kita tidak dapat memilih selebritas yang kita sukai karena selebritas tersebut mewakili dapil tertentu. Juga, sayangnya, selebritas terkenal dari ibu kota DKI Jakarta biasanya juga tidak mewakili Dapil Jakarta.
Misalnya Ketua DPR 2019-2024, Puan Maharani, mewakili Dapil Jawa Tengah 5 (meliputi Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Surakarta) walaupun KTP-nya tercatat dari Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta.
Memang PDI-P selalu memenangi pemilu dari wilayah ini. Konon, siapa pun dari PDI-P yang ditempatkan di dapil ini akan memenangi kursi di DPR. Namun, kita tahu, amat sulit membangun keterikatan emosional personal apabila anggota tersebut tidak pernah hidup dan merasakan tinggal di wilayah dapilnya.
Begitu juga perwakilan dari artis. Walaupun mereka bertahun-tahun tinggal di Ibu Kota, karena jenis pemilihan berdasarkan wilayah geografis, mereka akan ”kembali ke asal” daerah mereka, baik tempat lahir maupun asal orangtua mereka, walau mereka tidak lagi berdomisili di daerah tersebut.
Dengan keterkenalan mereka secara nasional, tentu saja mereka dapat menjaring suara dengan lebih mudah karena sudah dikenal banyak orang. Masyarakat Indonesia juga masih memilih wakil di DPR dengan pola pemilihan idola di panggung (karena penampilan, karakter, dan lain-lain), bukan karena kemampuan atau kinerja.
Model keterwakilan berdasarkan wilayah geografis ini masih menjadi acuan di seluruh dunia. Namun, setidaknya, para wakil berdomisili di dapil setempat atau mengunjungi konstituen secara rutin, tidak hanya saat reses. Umumnya sedapat mungkin terlibat dengan urusan sehari-hari di dapilnya.
Baca juga: Ruang Politik bagi Perempuan Harus Diciptakan Bersama
Sudah ada ide-ide baru, misalnya dengan dapil virtual berkat teknologi komunikasi, yang diperoleh melalui pendaftaran daring pemilu. Dengan demikian, dapil kita pribadi dapat berbeda dengan dapil keluarga kita atau tetangga sebelah rumah. Tergantung sistem random acak program pendaftaran pemilihan tersebut.
Namun, ide dapil virtual pemilu begini belum terlaksana, masih mengacu pada wilayah geografis lagi, walau sistem pendaftaran (berdasarkan KTP) dan penghitungan suara sudah mulai menggunakan teknologi hitung cepat.
Perbaikan aturan main
Aturan main di DPR, Tata Tertib (Tatib) DPR, harus diubah. Ini sudah saya tulis sejak tahun 2014 karena tatib ini bentuknya tidak berubah sejak zaman Orde Baru. Walau UU Parpol, pemilu, dan berbagai undang-undang politik berubah, apabila aturan main DPR masih menggunakan pola lama, kinerja anggota DPR tidak terlihat.
Dua hal penting yang harus diubah tatib adalah pengaturan rapat paripurna sebagai forum tertinggi parlemen dan cara kerja komisi yang terbalkanisasi sehingga kinerja anggota untuk dapilnya menjadi tidak terdengar gaungnya.
Baca juga: Rakyat Merindukan Wakil Rakyat yang Merakyat
Menjadi wakil rakyat, para anggota DPR tidak hanya mewakili satu aspek, tetapi inilah yang terjadi di DPR. Para anggota dibagi untuk menjadi anggota salah satu komisi tertentu atau/dan badan tertentu. Ini yang disebut dengan anggota DPR ”terbalkanisasi” (terbelah-belah kecil) mengikuti komisi atau badan yang terbentuk di DPR (Stephen Sherlock, 2004).
Anggota DPR tersebut ”hanya” akan paham isu yang dibahas dalam komisi/badannya, padahal isu dapilnya pasti lebih besar dari isu suatu komisi tertentu. Lalu, karena seorang anggota tidak dapat mengemukakan aspirasi dapilnya dalam rapat paripurna, mereka tidak dikenal oleh dapilnya sendiri.
Pemilihan penempatan di komisi atau badan tertentu pun biasanya ditentukan parpol sehingga ada anggota yang merasa kecewa apabila ditempatkan di komisi/badan yang tidak menjadi minatnya. Jadi, tidak heran, pengenalan nama anggota di pemberitaan disebut dengan format: nama anggota, nama partai, dan nama anggota. Bukan nama dapilnya!
Konsekuensinya, sebagai contoh, seorang anggota yang duduk di Komisi I yang membidangi isu pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen, tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di Komisi X, yang mengurusi bidang pendidikan, olahraga, dan sejarah. Memang benar bahwa pembagian berdasarkan lingkup tugas ini diperlukan untuk efisiensi kerja (rapat dengar pendapat pakar, pembahasan rancangan undang-undang dan lain-lain).
Sejak dulu, rapat paripurna hanya berisi pidato perwakilan fraksi yang panjang dan membosankan apabila mengesahkan suatu RUU.
Anggota DPR yang dari Komisi I tadi seyogianya dapat memberikan aspirasi dapil mengenai pendidikan melalui rekan satu partainya. Namun, praktik ini tidak pernah terdengar. Setiap anggota sibuk dengan urusan di komisinya.
Hal ini diperparah dengan forum pengambilan keputusan tertinggi DPR, rapat paripurna DPR, yang memakai aturan main usang tadi. Sejak dulu, rapat paripurna hanya berisi pidato perwakilan fraksi yang panjang dan membosankan apabila mengesahkan suatu RUU. Anggota DPR ”biasa” yang ingin bicara hanya dapat melakukan ”interupsi”, itu pun kalau diizinkan. Padahal, mereka berhak bicara, apalagi dapilnya berkepentingan untuk RUU yang disahkan. Mereka tidak dapat mengikuti rapat-rapat di komisi tersebut karena bukan merupakan anggota.
Semestinya rapat paripurna dapat menjadi ajang anggota menyampaikan aspirasi (dengan waktu bicara dibatasi) sehingga warga di dapilnya melihat wakilnya bekerja. Karena rapat paripurna menjadi ajang mendengarkan pidato, wajar jika kita melihat anggota yang bosan atau tidur di dalamnya.
Tak ada upaya untuk mengubah aturan main ini. Media pun selalu menyorot perilaku anggota di rapat paripurna tadi walau kenyataannya mengikuti rapat paripurna yang panjang dan bertele-tele itu amat membosankan. Maka, rakyat pun tidak melihat aksi wakilnya menyampaikan aspirasi.
Yang kita lihat hanya anggota-anggota elite (yang memiliki jabatan di partai atau komisi tertentu) yang terus berbicara. Anggota DPR ”biasa” yang juga memiliki hak yang sama untuk menyampaikan aspirasi rakyat di dapilnya tidak berkesempatan bicara.
Parpol harus berbenah
Di zaman teknologi dan penggunaan media sosial yang cepat seperti saat ini, termasuk berita yang dapat diakses dalam hitungan detik, warga dapat menyampaikan keinginannya dengan cepat.
Parpol dan para anggota di DPR semestinya paham, mereka tidak dapat berkata-kata kosong lagi untuk rakyat. Hujatan rakyat bahwa anggota DPR adalah wakil partai dan bukan wakil rakyat nyatanya dibuktikan dengan kata-kata anggota DPR sendiri, yang juga mencerminkan kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi anggotanya.
Walhasil, menjelang pemilu, mereka akan berlomba-lomba mengambil hati rakyat untuk memilihnya, baik dengan kunjungan intensif, politik uang, maupun penggunaan media sosial yang masif, ”berpura-pura” dekat dengan rakyat agar dipilih lagi. Soalnya, para anggota tidak dapat membuktikan berdasarkan kinerjanya sebagai wakil rakyat di DPR.
Anggota DPR harus menjadi wakil rakyat, maka anggota harus paham wilayah dapilnya, dari potensi sampai apa yang harus dibantu dengan legislasi. Anggota DPR harus mau mendengarkan keinginan rakyat dapilnya, kalau perlu juga bekerja sama dengan anggota DPRD dan DPD.
Isu keterwakilan dan aturan main institusi DPR ini penting dipahami anggota DPR dan parpol.
Isu keterwakilan dan aturan main institusi DPR ini penting dipahami anggota DPR dan parpol. Apabila anggota DPR memahami bahwa mereka harus ”patuh” pada rakyat di dapilnya, mereka kemudian akan mengubah aturan main, yaitu Tatib DPR.
Termasuk mengatur waktu dan cara bicara di rapat paripurna, mengurangi pembacaan pidato-pidato panjang, dan mungkin mulai dengan penghitungan suara (voting) saat mengambil keputusan, apalagi untuk mengesahkan UU.
Diharapkan nantinya dapat menunjukkan bahwa DPR memang mewakili rakyat.
Semoga.
Ratih D Adiputri, Pengajar Ilmu Sosial dan Politik di Universitas JyvÄskylÄ, Finlandia