Meskipun jumlah anak dengan ”stunting” menurun, penyelesaian masalah tengkes jauh dari selesai.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Anak berumur 3 tahun 11 bulan dengan stunting atau tengkes diukur tinggi dan berat badannya di RW 009 Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (8/4/2023). Kader posyandu setempat mengatakan setidaknya ada sembilan anak dengan stunting di RW tersebut.
Jumlah anak stunting turun pada 2022 menjadi 21,6 persen dari 24,4 persen tahun sebelumnya. Namun, persoalan tengkes ini jauh dari kata selesai.
Penurunan ini memperlihatkan upaya pemerintah disertai perhatian khusus Presiden Joko Widodo membuahkan hasil. Pimpinan daerah di Indonesia telah melakukan berbagai upaya menurunkan jumlah anak tengkes (stunting).
Meskipun jumlah anak dengan stunting menurun, penyelesaian masalah tengkes jauh dari selesai. Presiden Jokowi memberi target anak dengan tengkes tinggal 14 persen pada tahun 2024. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jumlah anak dengan stunting di atas 20 persen menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat negara bersangkutan kronis.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang anak dengan stunting atau tengkes ditimbang berat badannya di RW 009 Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (8/4/2023).
Liputan tematik Kompas, Senin (10/4/2023), membahas khusus kejadian tengkes di perkotaan. Beberapa kota justru menunjukkan kenaikan angka kejadian antara tahun 2021 dan 2022. Laporan ini menunjukkan penyebab tengkes sangat kompleks.
Kita mendukung upaya menurunkan jumlah anak dengan tengkes. Dengan satu dari lima anak hingga usia dua tahun mengalami gagal pertumbuhan akibat akumulasi kekurangan nutrisi, beban masa depan Indonesia sangat berat. Tengkes diperkirakan menghapus 2-3 persen produk domestik bruto atau sekitar Rp 500 triliun akibat tenaga kerja yang tak produktif dan beban pembiayaan kesehatan yang ditimbulkan.
Berbagai penelitian di Indonesia mengonfirmasi penyebab tengkes tidak sederhana. Di tingkat individu dan rumah tangga, penyebab signifikan antara lain variasi makanan anak, kekerapan mengalami penyakit infeksi, berat badan lahir, dan jenis kelamin anak. Selain itu, juga pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, dan relasi jender. Di tingkat komunitas, termasuk ketersediaan air bersih, penanganan sampah, dan jamban untuk mencegah ibu hamil dan anak terkena infeksi berulang dan cacingan. Di tingkat pemerintahan, penurunan tengkes tergantung dari intervensi yang tepat sesuai karakter daerah yang bisa bervariasi, bahkan antar-kecamatan (Kompas, 17/10/2022).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Anak balita diberi minum susu oleh ibunya saat menunggu kedatangan Wakil Presiden Maruf Amin untuk meninjau pencegahan dan penanganan stunting di Puskesmas Mranggen III, Kecamatan Mranggen, Demak, Jawa Tengah, Selasa (4/4/2023).
Salah satu faktor yang kerap luput dalam penanganan tengkes adalah pengaruh jender. Penelitian Tri Muyaningsih dkk dalam jurnal PLOS One, edisi 19 November 2021, menunjukkan, anak laki-laki lebih rentan mengalami tengkes. Penyebabnya, ada anggapan anak laki-laki memerlukan tenaga lebih besar sehingga orangtua lebih cepat memberi makanan tambahan dan mengurangi ASI eksklusif. Jelas relasi jender, termasuk agar anak perempuan dan ibu mengalah dan dikalahkan dalam makanan sehari-hari, harus diubah.
Untuk mempercepat penanganan tengkes perlu ada kampanye nasional. Kita pernah berhasil dengan kampanye Keluarga Berencana (KB), pemilu pertama yang langsung dan terbuka, dan pencegahan penularan Covid-19. Kita perlu kampanye menjelaskan tengkes, dampak dan pencegahannya dalam bahasa sederhana bagi masyarakat dan pemerintah di daerah. Sebab, konsep tengkes tidak mudah dipahami orang kebanyakan.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO