Tren perubahan pendekatan tanggung jawab sosial perusahaan memunculkan paradigma baru perlunya bisnis yang berkelanjutan. CSR tak bisa lagi sekadar arena bagi-bagi uang, tetapi sebuah konsepsi keberlanjutan perusahaaan.
Oleh
HAFIDZ ARFANDI
·5 menit baca
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) sering kali disalahpahami sebagai program bantuan atau bagi-bagi ala perusahaan. Bagi kebanyakan kita, begitu mendengar CSR, apa yang dibayangkan langsung membawa proposal untuk cari dana, mulai dari pengajian akbar, sunat massal, tujuh belasan, aspal jalan, produk usaha mikro, kecil, dan menengah sampai kegiatan pelantikan organisasi massa.
Persepsi tersebut tidak salah 100 persen. Kebanyakan perusahaan meletakkan urusan demikian di bawah payung yang sama dengan pengelola program CSR-nya, biasanya disebut divisi Community Relation, atau Community Investment, Community Development, dan lain-lain. Divisi ini ditugaskan mengurus segala macam soal urusan masyarakat sekitar operasi perusahaan. Namun, apa benar tim CSR cuma menjadi bagian dari tim seleksi proposal dan bagi-bagi duit perusahaan?
Memahami konsep CSR
Perdebatan CSR dimulai sejak Milton Friedman pada 1970 melontarkan gagasan di The New York Times berjudul ”The Social Responsibility of Business is to Increase Its Profits”. Sebagai salah satu pemikir neoklasik, Friedman menekankan kewajiban utama bisnis adalah menciptakan keuntungan (profit) yang diharapkan mampu menciptakan benefit ke dalam, baik bagi pemegang saham maupun pekerja. Sementara di luar, sebagai entitas bisnis kemampuannya mendulang keuntungan tentu akan membuat mekanisme pasar berjalan ideal.
Bukan berarti bisnis tidak bertanggung jawab atas aspek-aspek komunitas dan lingkungan, sebaliknya bisnis mengedepankan pendekatan rasional untuk mengelolanya secara proporsional, sedangkan tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih luas ada di tangan negara. Gagasan ini tentu membawa konsekuensi pada semangat kapitalisme (spirit capitalism) yang eksklusif.
Freeman (2007) menegaskan ulang bahwa bisnis tidak benar-benar mampu menciptakan profit tanpa mengelola pemangku kepentingannya, disebut dengan kapitalisme pemngku kepentingan (stakeholders capitalism). Profit yang lahir bukan semata-mata proses internal produksi, melainkan hasil interaksi kompleks dengan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemasok (suplier), tenaga kerja, retailer, pemegang saham, masyarakat, pemerintah, komunitas, dan sebagainya.
Cara berpikir ini yang diadopsi pula oleh pendekatan John Elkington (2020) dalam Green Swan: The Coming Boom in Regenerative Capitalism sebagai penggagas Tripple Bottom Line (1997), Elkington menyatakan gagasannya dalam Green Swan (simbol masa depan yang lebih baik) adalah sebagai pertanggungjawaban untuk penarikan produk (recalling product).
IQBAL BASYARI
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memberikan memberikan sambutan saat penandatanganan nota kesepahaman tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) beasiswa pendidikan bagi siswa MBR jenjang SMP di Surabaya, Senin (7/9/2020). Pembaca setia harian Kompas melalui Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) turut memberikan beasiswa pendidikan senilai Rp 300 juta.
Elkington melihat ada kecenderungan di mana pemahaman tentang triplet bottom telah membawa bisnis pada ruang segregasi, antara tujuan profit, people, dan planet. Alhasil dalam implementasinya seperti di atas, bisnis berjalan tetap dalam agenda memaksimalkan keuntungan. Di sisi lain muncul praktik-praktik filantropistik dengan membagikan sedikit keuntungan untuk mengelola aspirasi masyarakat dan sesekali turut peduli dengan lingkungan dengan membiayai konservasi dan sebagainya.
Green swans mengajarkan sebuah entitas baru dalam ekosistem bisnis yang bernama system value di mana aspek kelestarian lingkungan dan pemberdayaan komunitas dalam arti luas (penyejahteraan) menjadi roh dari bisnis. Ketika bisnis dibangun, perlu memiliki visi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi publik dan menjadi jalan efektif untuk menciptakan nilai-nilai keberlanjutan yang tetap bernilai ekonomis. Hal ini diharapkan bisa membuat pertumbuhan bisnis seiring sejalan dengan solusi pada krisis lingkungan dan sekaligus mengatasi ketimpangan atau regenerative capitalism.
Ketika bisnis dibangun, perlu memiliki visi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi publik dan menjadi jalan efektif untuk menciptakan nilai-nilai keberlanjutan yang tetap bernilai ekonomis.
Idealisme Elkington tentu bukan isapan jempol meski juga bukan semudah membalikkan tangan. Pendekatan keberlanjutan telah mendorong bisnis untuk mendesain ulang sistem produksinya secara lebih bertanggung jawab, mulai dari tata kelola rantai suplai, efisiensi raw material dan proses produksi termasuk di antaranya efisiensi energi, air, dan penggunaan lahan, pengolahan limbah yang lebih serius atau bahkan mereduksi limbah sampai batas terendah yang dapat dilakukan, komitmen etik terhadap masyarakat terutama yang menyangkut pada penghormatan budaya, tradisi, serta rasa keadilan dalam aspek-aspek agraria, hukum, kesempatan ekonomi dan hak asasi manusia.
Hasil nyata dari upaya mendorong keberlanjutan masih menjadi fenomena langka, tetapi berdampak luas seperti ide black swanyang diusung oleh Nassim Nicholas Taleb (2010) untuk menggambarkan fenomena langka, tetapi mampu membawa arah perubahan yang dahsyat di ranah ekonomi, sosial, bahkan politik dan budaya.
Terlebih di tengah isu krisis iklim global yang kian mengancam, di mana Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC), 2019, memberikan kajian aktual tentang ketahanan bumi yang hanya mentoleransi batas kenaikan suhu 1,5 derajat celsius dan pencapaian ini telah menjadi komitmen global untuk nendorong nol emisi karbon (net zero emission) secara bersama-sama. Di tambah lagi kerja sama global dalam mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 17 aspek juga harus segera dituntaskan pada 2030, target yang agaknya agak pesimistis bisa tercapai dengan tenggat waktu yang kurang dari satu dekade ke depan.
Implementasi CSR menuju “value system”
Dengan memahami gagasan Elkington ini, maka CSR perlu diredefinisi bukan sekadar arena bagi-bagi uang ala perusahaan semata, melainkan sebuah konsepsi keberlanjutan perusahaan yang kompleks. Meski demikian, perangkat CSR yang sudah ada di perusahaan bukan 100 persen harus dihapus, melainkan perlu improvisasi yang lebih serius terlebih di tengah pergulatan baru arus investasi yang mendorong ke arah investasi berkelanjutan berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, and government/ESG).
Kalau CSR dahulu sekadar menjadi safety belt ataupun branding bagi sebuah perusahaan, di tengah tren ESG ia menempati peran baru sebagai prasyarat pembiayaan baik lewat investasi maupun obligasi. Di tambah lagi, beberapa perusahaan global juga telah menempatkan CSR (dalam arti luas) sebagai standar assessement untuk pelibatan dalam rantai pasok (supply chains).
Misalnya di industri logam, standar International Council of Mining and Metals (ICMM) telah diterapkan untuk memastikan proses mining dan smelting bertanggung jawab untuk bisa menyuplai bahan baku pada korporasi-korporasi berbasis heavy metal industry di tingkat global. Pemerintah Jepang dan Uni Eropa, misalnya, telah mengeluarkan standardisasi Green Steel Industry yang berkonsekuensi pada kewajiban pemasok untuk menaati kewajibannya terutama dalam aspek dekarbonisasi.
Kalau CSR dahulu sekadar menjadi safety belt ataupun branding bagi sebuah perusahaan, di tengah tren ESG ia menempati peran baru sebagai prasyarat pembiayaan baik lewat investasi maupun obligasi.
Relasi perusahaan dengan lingkungan dan komunitas akan menjadi perhatian serius yang tak dapat lagi diabaikan terutama di hadapan para investor dan buyer tingkat global. Di sinilah pentingnya untuk membangun spirit baru di kalangan penggiat CSR di perusahaan baik di level manajemen maupun di tingkat pelaksana untuk berusaha memahami visi besar perusahaan menuju keberlanjutan.
Setidaknya dibutuhkan tiga kemampuan kunci. Pertama, bridging knowledge, dari visi keberlanjutan bisnis yang digagas di level top management (CEO) ke ranah pemahaman aktual yang dihadapi dalam aktivitas bisnis sehari-hari. Dari sinilah tim CSR bisa memberikan input aktual terkait dinamika di lapangan.
Kedua, instrumental corporate policy, di dalamnya adalah upaya membangun perangkat kerja untuk merealisasikan visi keberlanjutan untuk diimplementasikan dalam skenario program yang komprehesif baik di internal ataupun terkait pelibatan multistakeholder.
Ketiga, monitong and improving action. Dalam pelaksanaannya, proses monitoring perlu terus dilakukan untuk memastikan skenario program yang berjalan mencapai tujuan yang direncanakan dan mengelola peluang untuk melakukan improvisasi agar terbentuk ekosistem penunjang yang memastikan rencana keberlanjutan dapat berjalan optimal.
Bagi pemerintah, perlu paham bahwa menata CSR bukan berarti merebut satu-satunya sumberdaya yang dimiliki perusahaan untuk dikelola oleh pemerintah dengan alasan percepatan pembangunan, melainkan justru harus menjadi fasilitator untuk mampu menghubungkan sumber daya di perusahaan dengan potensi pengembangan program di tingkat komunitas.
Kolaborasi ini dapat dilakukan dengan menbangun kesepahaman bersama tentang visi pembangunan berkelanjutan yang tidak sekadar check list data anggaran dan sasaran sebagaimana sering disalah pahami dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional/Daerah SDGs, tetapi juga kesepahaman tentang penyelesaian akar masalah, cara-cara mengatasi masalah, dan inovasi bersama yang melibatkan multistakeholder.
Dengan virus green swans yang sudah sering dijadikan bahan diskusi di banyak forum akan menunjukkan hasilnya, ketika transformasi bisnis mulai terjadi sembari berharap dengan semangat investasi yang berkelanjutan akan mengakhiri dilema pembangunan yang didominasi oleh peran bisnis berbasis oligarkisme sehingga menimbulkan sindrom kapitalisme semu yang justru membebani mesin pertumbuhan yang berkelanjutan.