Pesan Politik Silicon Valley Bank
Kasus kolapsnya SVB bukan sekadar fenomena bank gagal mengidentifikasi risiko. SVB telah memasuki ruang abu-abu politik nasional sehingga regulasi menjadi tersandera. Juga dipengaruhi kontestasi geopolitik negara besar.
Apakah kasus kolapsnya Silicon Valley Bank hanya sebatas soal kecerobohan, terutama terkait kegagalan mengidentifikasi risiko-risiko di sektor perbankan? Atau tidak hanya itu?
Tidakkah fenomena bank gagal ini juga tengah menyampaikan pesan politik yang jauh lebih luas di tatanan nasional dan global?
Peristiwa bank gagal mungkin bisa dijelaskan dari pengabaian terhadap risiko. Dari sisi risiko kredit, Silicon Valley Bank (SVB)—berdasarkan sumber informasi terbuka—tampak telah melakukan langkah antisipasi yang baik, yaitu menempatkan 55 persen dari dana deposannya pada surat berharga pemerintah dengan tingkat bunga tetap 3-4 persen untuk kurun 5-10 tahun.
Surat berharga pemerintah adalah suatu safe haven asset. Hampir mustahil membayangkan Pemerintah AS tidak mampu membayar bunga dari penempatan surat berharga semacam itu. Sebagian lagi dari dana deposan itu (45 persen) ditempatkan pada perusahaan teknologi digital yang diyakini tengah mengalami booming.
Namun, dari sisi risiko pasar, terutama karena perubahan tingkat bunga, SVB tampak gagal. Keputusan otoritas bank sentral AS (The Fed) menaikkan tingkat bunga disebutkan telah membuat pendapatan dari obligasi pemerintah tak memadai untuk menutupi tingkat bunga yang harus dibayarkan untuk deposan. Pendapatan dari peminjam lainnya (terutama dari perusahaan teknologi digital, seperti Coinbase dan Sequoia Capital) juga tidak memadai menutupi beban bunga para deposan.
Baca juga: Pelajaran dari Kerapuhan SVB
Baca juga : Perbankan AS Bergejolak, Sistem Keuangan Indonesia Tetap Kuat
Ketidaksesuaian antara penerimaan pendapatan dari obligasi pemerintah dan tingkat bunga yang harus dibayar kepada deposan inilah (11.638 juta dollar AS) secara teknis merupakan penyebab awal terjadi kepanikan. Hanya dalam tempo 24 jam, terjadi total penarikan 42 miliar dollar AS dan harga saham SVB anjlok dari sekitar 267,83 dollar AS (9/3/2023) menjadi 106,64 dollar AS.
Penarikan tiba-tiba oleh para deposan (bank run) tak dapat dihindarkan dan membuat SVB kolaps, ditutup, dan diambil alih regulator, dalam hal ini Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), lembaga ekuivalen LPS di AS.
Namun, penjelasan dalam kerangka mikro seperti ini masih menyisakan pertanyaan lanjutan. Mengapa manajemen risiko pasar terpinggirkan? Sebagian analis mengaitkannya dengan pertumbuhan SVB yang terlalu tinggi, tetapi tak berkesinambungan. Dalam kalimat keras, ini mencerminkan ”ketamakan” (greed) pengelolanya.
Jumlah asetnya pada 2020 adalah 115.511 juta dollar AS dan pada 2021 melonjak menjadi 212.001 juta dollar AS. Pertumbuhan yang sangat cepat seperti ini biasanya melahirkan risiko yang lebih tinggi. Namun, penjelasan teknis semacam ini tampak juga tidak mencukupi.
Walau bukan bank kategori sistemik, sulit membayangkan bank sebesar SVB (asetnya lebih besar daripada Bank Mandiri dan BCA jika digabungkan) itu tak memiliki SDM yang paham dan memiliki pengetahuan untuk mengidentifikasi risiko pasar itu. Terlebih lagi, SVB adalah mitra perusahaan modal ventura (di sisi deposan) dan start up (di sisi portofolio).
Dengan terobosan teknologi big data, bukankah risiko itu bisa diidentifikasi sejak awal?
Ruang abu-abu politik
Pertanyaan menggugat seperti ini bukanlah tanpa alasan. Dalam tanya jawab dengan media seusai keputusan menaikkan tingkat bunga beberapa waktu lalu, Jerome Powell, Gubernur The Fed, menyiratkan adanya misteri. Ia antara lain menyebutkan para deposan SVB sangat terkonsentrasi dan terkoneksi satu sama lain dan tak terdapat instrumen lindung nilai (hedging) dan asuransi.
Misteri lainnya, fenomena bank run dalam kasus SVB berlangsung sangat cepat dan tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perbankan AS. Mengapa ini terjadi, masih dalam investigasi yang hasilnya akan segera diumumkan. Kajian Dan Awrey dan Kathryn Judge (Why Financial Regulation Keeps Falling Short: 2020) sendiri telah menunjukkan satu fakta bahwa ketentuan-ketentuan pengelolaan bank yang pruden berdasarkan ketentuan Basel III telah makin rinci.
Ketentuan pelaksanaannya di AS bahkan disebutkan telah terurai hampir sekitar seribu halaman. Sangat terinci, tetapi tidak efektif untuk mencegah fenomena bank gagal. Salah satu penyebabnya: perbankan dengan produk-produknya berkembang sangat pesat.
Pada titik ini, penjelasannya barangkali tidak sekadar hadir atau tidaknya regulasi. Jauh lebih penting: bagaimana membuat kumpulan regulasi itu dipatuhi dan terlaksana secara efektif. Pernyataan anggota Senat AS, Elizabeth Warren, yang dikirimkan kepada Gregory W Becker (CEO SVB), 14 Maret 2023, barangkali patut direnungkan. Tersirat ada isu integritas yang serius dari pimpinan dan pengelola SVB.
Disebutkan bahwa pada masa Trump, para petinggi SVB telah melobi banyak pihak untuk meyakinkan SVB tak perlu dimasukkan ke dalam kategori bank sistemik sehingga tak perlu melakukan stress test yang lazim dilakukan dan diwajibkan dalam Akta Dodd-Frank.
Lobi politik ini berhasil mengeluarkan SVB dari keharusan stress test. Pimpinan SVB juga disebutkan melakukan praktik tak ”wajar” dengan menjual saham yang dimiliki dan membagikan bonus beberapa hari sebelum terjadi bank run. Kini sudah ada laporan yang mengaitkan kontribusi SVB sebagai suatu financial group kepada anggota Kongres (Republik ataupun Demokrat).
Anggota Kongres dari Demokrat diperkirakan menerima rata-rata 35.488 dollar AS dan anggota Kongres dari Republik 9.672 dollar AS (lihat situs OpenSecrets). Intinya, SVB telah memasuki ruang abu-abu politik sehingga regulasi menjadi tersandera dan tak efektif.
Kini sudah ada laporan yang mengaitkan kontribusi SVB sebagai suatu financial group kepada anggota Kongres (Republik ataupun Demokrat).
Intervensi negara
Otoritas keuangan di AS telah memberikan respons kebijakan yang sangat cepat. Pertama, menutup SVB dan mengalihkannya ke FDIC. Semua deposan SVB, dengan nilai di bawah 250.000 dollar AS, dijamin pengembaliannya.
Kedua, kebijakan koordinasi fasilitas swap line antara The Fed dan bank sentral Jepang, Swiss, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa. Fasilitas ini pada dasarnya komitmen untuk memberikan pasokan likuiditas dollar jika dibutuhkan. Fasilitas ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya, fasilitas ini sudah tersedia, tapi dengan frekuensi mingguan. Dalam situasi seperti saat ini, frekuensinya bertambah menjadi harian.
Secara politik, kita bisa menyebut dua respons kebijakan ini sebagai manifestasi dari ”intervensi negara”. Pembedanya, pada sisi nasional, intervensi itu dilakukan ketika mekanisme pasar tak bisa diharapkan untuk mengatasi fenomena bank gagal. Pada sisi internasional, intervensi itu dilakukan untuk menetralkan dampak penyebaran global dari SVB.
AS memiliki kepentingan strategis untuk menetralisasi dampak itu guna melestarikan kepentingan hegemonik globalnya di sektor keuangan, terutama untuk mempertahankan dominasi mata uang dollar. Koordinasi fasilitas swap line dengan kelima entitas sesuatu yang dapat dipahami karena kelimanya pusat keuangan dunia.
Laporan Triennial Survey Bank for International Settlement (Desember 2022) menyebutkan, perdagangan mata uang asing termasuk transaksi over the counter (OTC) diperkirakan 7,5 triliun dollar AS per hari. Meningkat 14 persen dari dua tahun sebelumnya.
Dari besaran nominal itu, transaksi menggunakan dollar AS masih mendominasi, sebesar 88 persen. Perdagangan mata uang internasional masih terpusat di Inggris, Jepang, dan AS. Survei IMF terbaru (Coordinated Portfolio Investment Survey. Maret 2023) juga menunjukkan bahwa transaksi untuk investasi portofolio juga masih didominasi AS, Jepang, Eropa, Kanada, Inggris, dan Swiss (walau angkanya turun 15 persen dibandingkan 2022).
Infografik Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB)
Cukup menarik pula untuk dicatat, tidak terdapat kerja sama antara China dan AS menyangkut fasilitas swap line untuk mengatasi kemungkinan instabilitas keuangan global itu.
Disebut mengherankan karena berdasarkan informasi Basel Committee on Banking Supervision dan Financial Stability Board tahun lalu terdapat empat bank China di antara 30 bank besar dunia yang dikategorikan sebagai bank berdampak sistemik secara global. Keempat bank itu adalah Bank of China, Industrial and Commercial Bank of China, Agricultural Bank of China, dan China Construction Bank.
Mengapa China absen dari kerja sama swap line, salah satunya mungkin terkait dengan kontestasi geopolitik dan geoekonomi AS-China di tataran global. AS sepertinya masih enggan meminta kerja sama dengan China walaupun fakta menunjukkan China (870 miliar dollar AS) menempati posisi kedua setelah Jepang (1,08 triliun dollar AS) dalam kepemilikan surat berharga AS.
Namun, yang hampir pasti adalah upaya AS menjaga stabilitas hegemoniknya dalam sistem keuangan global untuk SVB harus dilakukan secara kolektif bersama dengan lima entitas bank sentral lain. AS tak lagi dapat bertindak secara unilateral dan hanya efektif jika didukung sekutunya.
Empat catatan
Ada empat catatan penting. Pertama, kerangka regulasi sangat penting untuk mengatasi fenomena bank gagal. Namun, kehadiran regulasi tak menjamin tak akan terjadi fenomena bank gagal. Persoalannya barangkali bukan bagaimana mencegah fenomena bank gagal, melainkan menyiapkan kerangka kelembagaan dan regulasi yang kuat untuk menangani bank gagal secara cepat dan efektif. Ini adalah tantangan berat bagi para regulator.
Dalam hal ini, Indonesia telah memiliki landasan regulasi yang lebih kuat dengan dikeluarkannya UU Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (UU No 4/2023). Semoga ketika terjadi krisis, penanganan bisa dilakukan segera.
AS tak lagi dapat bertindak secara unilateral dan hanya efektif jika didukung oleh sekutunya.
Kedua, ruang abu-abu politik di tataran nasional hampir tak bisa dihindarkan ketika suatu bank besar mengalami kegagalan. Menilik kasus SVB, ruang abu-abu itu mungkin terwujud melalui lobi, jaringan khusus, dan hotline antara petinggi bank-bank besar dan petinggi politik. Walau tak bisa dihilangkan, prinsip transparansi dalam mengelola jejaring itu perlu tetap dikedepankan.
Ketiga, stabilitas sistem keuangan global sangat dipengaruhi kontestasi geopolitik dan geoekonomi negara besar. Krisis SVB sejauh ini berhasil dibendung karena inisiatif AS. Akan tetapi, intervensi ini dilakukan bukan semata-mata untuk mencegah dampak penyebaran global dari SVB, melainkan lebih didorong keinginan AS mempertahankan peran hegemonik mata uang dollarnya.
Keempat, peran AS sebagai hegemonic stabilizer tak lagi dapat dilakukan secara tunggal, tetapi harus dilakukan secara kolektif dengan negara sahabat dan sekutunya. Semua pemegang otoritas sektor keuangan di Indonesia perlu mencermati risiko-risiko geopolitik dan geoekonomi, terutama antara AS dan China, sebagai akibat pergeseran-pergeseran tersebut.
Tujuannya untuk mengambil inisiatif dan arah kebijakan yang tepat dan maksimal di masa depan. Masazumi Wakatabe, Wakil Gubernur Bank Sentral Jepang, pernah menyatakan, kebijakan moneter mengandung dua aspek, yaitu sains (science) dan seni (art).
Makmur Keliat Pengajar Ekonomi Politik Internasional FISIP Universitas Indonesia dan Penasihat Senior Lab45