Angsa Hitam Corak Indonesia
Berbagai peristiwa yang menggemparkan belakangan ini menunjukkan kepada kita bahwa bangsa ini selalu dirundung masalah polaritas dan masih senang memelihara “angsa hitam.”
Nassim Nicholas Taleb ialah seorang guru besar keuangan, epistemolog, esais, dan peneliti yang fokus pada masalah keacakan, ketidakpastian, dan peluang. Ia menggagas Teori Angsa Hitam yang merujuk pada peristiwa-peristiwa langka yang berdampak besar, sulit diprediksi, dan menimbulkan kegemparan buruk, misalnya di pasar keuangan.
Teori ini dibahas dalam bukunya berjudul “The Black Swan” yang terbit pada 2007. Menurutnya, kriteria peristiwa “angsa hitam” adalah muncul secara mengejutkan, berpengaruh besar, dan setelah mencuat dijelaskan oleh peninjauan ke belakang kehidupan manusia. Paling tidak ada lima kejadian baru-baru ini yang relevan dengan fenomena angsa hitam. Pertama, kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) yang selama ini menjadi tulang punggung pendanaan perusahaan rintisan di AS. Kedua, kepanikan yang melanda Credit Suisse setelah sahamnya anjlok yang memicu aksi jual saham perbankan.
Ketiga, terkuaknya harta kekayaan yang aduhai milik sejumlah pejabat negara, termasuk harta kekayaan yang dipunyai mantan pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo (RAT). Ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dugaan penerimaan gratifikasi.
Keempat, menyusul kasus RAT, pada 29 Maret 2023 dalam rapat Menkopolhukam dengan Komisi III DPR terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan, terbersit bahwa ada perbedaan data transaksi yang mencurigakan di Kemenkeu antara yang disampaikan Mahfud MD dan Sri Mulyani.
Peristiwa kelima yang menghebohkan adalah, kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah yang akan menyelenggarakan Piala Dunia U-20 2023. Berbagai kalangan termasuk Presiden Joko Widodo dan jutaan pecinta sepakbola di Tanah Air merasakan kekecewaan dan kesedihan.
Bukan saja peristiwa ini akan menurunkan citra Indonesia di mata FIFA, akan tetapi membuat sirna mimpi anak-anak Indonesia untuk mendunia. Persiapan selama kurang lebih dua tahun baik bagi Garuda Muda maupun perbaikan stadion di lima kota menjadi sia-sia akibat kontroversi keputusan para pemangku kepentingan di negeri ini.
Ditambah lagi kerugian yang diderita pihak sponsor dan UMKM yang memproduksi cendera mata perhelatan ini. Hingga saat ini tidak ada pihak-pihak yang merasa bertanggung jawab yang telah memupus mimpi anak muda kita berkiprah di kompetisi sepakbola global. Pendeknya, di negeri ini kehidupan berbangsa dan bernegara selalu diwarnai oleh peristiwa mengejutkan.
Survei Litbang Kompas juga memaparkan penurunan tingkat kepercayaan pada lembaga negara buah reformasi, yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Dewan Perwakilan Daerah. Terjadi transaksi janggal ratusan triliun rupiah seperti yang dibahas di atas. Masalah klasik penyalahgunaan wewenang, vonis pengadilan bisa diperdagangkan, dan keadilan diperjualbelikan masih berlangsung hingga kini.
Memang banyak kemajuan pembangunan fisik yang dirasakan masyarakat, walakin bangsa ini selalu mengalami dan tidak pernah sepi dari polaritas, kegaduhan, serta konflik internal. Kita tentu menyaksikan kebakaran yang menimpa Depo Pertamina Plumpang di Koja Jakarta Utara pada awal Maret lalu, yang telah menelan puluhan korban jiwa.
Setiap kebakaran yang merupakan masalah kehidupan pasti akan membawa dampak, tidak saja kerugian materiil, namun moril bahkan nyawa. Rapor kita sebagai bangsa masih merah akibat dilanda berbagai macam “kebakaran.
Dalam konteks yang lebih luas, bangsa ini belum banyak beranjak maju dan tidak berubah. Peringkat daya saing global Indonesia menurut World Competitiveness Ranking versi IMD yang bermarkas di Swiss pada 2018-2022 berturut-turut adalah 43, 32, 40, 37, dan 44. Sebagai pembanding, Malaysia pada periode yang sama peringkatnya jauh di atas Indonesia, bertengger di posisi 22, 22, 27, 25, dan 32.
Laporan Human Development Index (HDI) 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-130 dari 199 negara. Sejalan dengan ini, Global Talent Competitiveness Index 2022 dari INSEAD menyatakan Indonesia menempati posisi ke-82 dari 133 negara.
Dalam hal korupsi, menurut survei Transparency International Indonesia, indeks persepsi korupsi di peringkat ke-110 dari 180 negara. Dari sisi inovasi, menurut Global Innovation Index 2021 yang juga dirilis oleh INSEAD, Indonesia di peringkat ke-87 dari 312 negara.
Pendekatan Damkar
Catatan Politik Hukum Kompas minggu lalu, bertajuk “Di Antara Dua Negara” menyitir jawaban Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atas pertanyaan apa masalah fundamental yang menghambat kemajuan bangsa ini. Menurutnya, masalah utama bangsa kita sampai hari ini adalah mudah bertengkar pada urusan apa pun dan selalu ada bahan untuk bertengkar.
Dalam ranah manajemen strategis, pernyataan Kang Emil ini berlawanan dengan teori paradoks yang dibahas oleh Smith & Lewis (2022) dalam bukunya “Both/And Thinking.” Menurut mereka, pola pikir “keduanya/dan” akan memandu kita menghindari pertentangan (tensi) kehidupan serta dengan mengelola kedua tensi ini secara bijak, maka kita akan memperoleh hasil yang lebih baik dan produktif. Sebaliknya, pemikiran “salah satu/atau” akan menjebak kita dalam situasi dilematis dan tentu saja hal ini akhirnya menjadi kontra produktif.
Tensi dalam situasi “salah satu/atau” dapat mengarah kepada konflik akibat selalu memunculkan dua kutub pertentangan seperti hitam-putih, baik-buruk, benar-salah, dan bentuk-bentuk tensi lainnya. Bangsa kita masih hobi memelihara peristiwa yang demikian, masuk dalam jebakan pertengkaran yang sering berakhir dengan kegaduhan.
Berbagai peristiwa yang menggemparkan belakangan ini menunjukkan kepada kita bahwa bangsa ini selalu dirundung masalah polaritas dan masih senang memelihara “angsa hitam.” Kita masih terjebak pemikiran “salah satu/atau” yang sifatnya jangka pendek tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.
Bila timbul masalah ibarat api, maka kita akan segera memadamkannya, dan begitu seterusnya. Kita selalu lupa mencari akar pemasalahan dan menanggulanginya secara tuntas. Masalah korupsi yang akut, perbedaan praktik keagamaan belum tuntas, intoleransi tak kunjung selesai, dan penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi, untuk sekadar menyebutkan contoh.
Kita seolah-olah memadamkan kebakaran yang berulang terjadi di rumah kita dengan berkali-kali mengundang branwir.
Membangun “Rumah” Indonesia
Kita sudah sering menemui berita-berita seputar konflik yang mengarah pada pertentangan dan pertengkaran. Konflik tersebut biasanya beragam, baik konflik pribadi maupun konflik antar kelompok. Jenis konflik dapat berupa konflik antar strata sosial, konflik politik, konflik agama, konflik sosial, dan konflik internasional.
Konflik berasal dari bahasa Latin “configere” yang bermakna saling memukul. Secara sosiologis, konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (dapat juga kelompok) dengan salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berkutik. Sesuai prinsip “salah satu/atau” lantas menjadi dikotomi serta perseteruan, misalnya “kami yang benar, anda yang salah,” “kami layak, anda tak berhak,” “kami boleh, anda tidak boleh,” dan sebagainya.
Akibatnya, bangsa ini tidak pernah siap menerima perbedaan. Kesebelasan Israel tidak boleh bermain di Indonesia, kita lah yang menentukan bukan FIFA. Agama dicampur aduk dengan olahraga dan olahraga dibenturkan dengan politik. Impian Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U-20 2023 urung terlaksana akibat arogansi kita sebagai bangsa seperti juga yang dipertontonkan oleh segelintir anggota Komisi III DPR dalam rapat yang dibahas di atas.
Negara maju, terutama negeri jiran terdekat kita, juga bangsa “pelangi” seperti Indonesia. Mereka sudah terbiasa hidup dengan perbedaan dan saling menghargai satu sama lain, serta sudah selesai bertengkarnya. Kita masih sibuk dengan “memadamkan api” dan terus ribut serta saling menyalahkan. Sementara negara lain sudah membangun rumah asri, bahkan bertingkat-tingkat lantainya.
Ke depan bila kita ingin berjaya dan sejajar dengan peringkat daya saing negara maju, ada baiknya kita mengikuti arahan Smith & Lewis (2022) dengan mengelola paradoks secara bijak sesuai hati nurani.Sesuai saran Bryant & Sharer (2021) dalam bukunya “The CEO Test”, pertama-tama kita harus percaya diri dan rendah hati serta jauh dari perilaku arogansi.Selanjutnya, bersikaplah mendesak seolah-olah kita menghadapi situasi krisis dan selalu bersabar.
Ketiga, memiliki perasaan berbelas kasih dan sekaligus memegang prinsip yang ditetapkan. Pada saat pemimpin menyetujui kita sebagai tuan rumah, saat lain bisa berubah menjadi tidak setuju. Jadilah bangsa yang komit bukan “komat-kamit.” Keempat, selalu optimis dan realistis dengan memikirkan dampak masa depan atas keputusan yang kita ambil sekarang.
Kelima, ciptakan kebebasan dengan berpegang teguh pada struktur yang ada. Musti ada kesamaan kata dan perbuatan. Terakhir, bekerja tanpa pamrih dalam jangka pendek dan fokus pada kemakmuran bangsa dalam jangka panjang, bukan memikirkan keuntungan pribadi. Mari kita mengelola paradoks bangsa serta menghadapi peristiwa “angsa hitam” dengan bijak dan rasional.
Mohammad Hamsal, Guru Besar Program Doktor Manajemen BINUS Business School dan pengurus Indonesia Strategic Management Society
e-mail: mhamsal@yahoo.com.