Solidaritas seluruh anak bangsa diharapkan dapat mengembalikan demokrasi pada jalannya yang benar. Sebuah solidaritas yang pernah dimiliki anak bangsa untuk meruntuhkan basis-basis oligarki, korupsi, kolusi, nepotisme.
Oleh
FIRMAN NOOR
·3 menit baca
Kisaran tiga dekade tahun 1950-an hingga 1980-an, berdasarkan hasil penelitian ahli ekonomi dari Perancis, Thomas Piketty (2013), adalah era keemasan persamaan hidup (equality). Ketimpangan mencapat titik terendah sejak tahun 1900 atau awal abad ke-20. Hal yang menarik adalah, pada tiga dekade itu, menurut Dena Freeman (2023), secara global juga ditandai dengan berjalannya kehidupan demokrasi dengan relatif baik. Demokrasi benar-benar dirujuk dan dijalankan dengan cukup konsisten.
Secara umum, di negara-negara Barat, banyak negara dipimpin oleh kalangan berorientasi persamaan hak, termasuk yang berasal dari partai buruh, yang kemudian memberikan dampak semakin kuatnya pembelaan terhadap hak-hak kalangan lemah yang selama ini tersingkirkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan periode itu merupakan masa pembuktian bagaimana bekerjanya demokrasi sebagai sebuah sistem yang membela kedaulatan rakyat, termasuk kalangan rakyat biasa, khususnya dalam menekan ketimpangan sosial.
Dalam situasi seperti itu, apakah semua pihak merasa bergembira? Ternyata tidak. Ada segelintir kalangan yang tidak menyukai kondisi itu. Kalangan ini adalah para elite ekonomi atau pengusaha besar yang selama ini menikmati kekayaan yang luar biasa. Bagi mereka, periode menguatnya persamaan dan keadilan sosial itu merupakan masa paceklik dan bencana bagi keuntungan berlipat-lipat yang sebelumnya mereka dapatkan.
Berdasarkan analisis mereka, ini semua terjadi lantaran perhatian total pemimpin politik demokratik terhadap hak-hak rakyat dan kaum lemah, yang menyebabkan mereka justru jadi pecundang. Dengan kata lain, situasi politik demokratik yang berkembang baik justru menyebabkan tergerusnya profit mereka karena diambil oleh negara melalui berbagai kebijakan terutama pajak. Kesimpulan yang mereka angkat adalah demokrasi telah mengalami krisis, akibat terlalu banyak kadar demokrasi dalam kehidupan politik telah menimbulkan efek negatif khususnya berakibat buruk bagi aktivitas bisnis mereka.
Mengakali demokrasi
Kalangan ini kemudian meyakini bahwa demokrasi harus “diakali” agar tidak terus-menerus memberikan dampak buruk kepada kepentingan bisnis mereka. Salah satunya jawabannya adalah dengan melakukan ekspansi kegiatan ekonomi ke level global. Kesepakatan kalangan kaya ini kemudian diwujudkan dengan memperkuat aktivitas ekonomi global yang menembus batas-batas negara. Globalisasi ekonomi menjadi menguat yang pada akhirnya menjadikan kebijakan demokratis pro-rakyat kecil di sebuah negara tidak dapat menyentuh mereka lagi karena kebijakan negara tidak dapat secara efektif mengatur aktivitas bisnis global.
Kegiatan bisnis global ini berlanjut hingga sekarang yang kemudian pada akhirnya menyebabkan kalangan pengusaha besar lambat laun dapat kembali lagi mengambil profit secara besar-besaran. Hasil studi Piketty memang kemudian menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis global, tren ketimpangan yang sempat turun menjadi naik kembali, dimulai pada akhir 1990-an hingga kini. Singkatnya, masa-masa rendahnya ketimpangan telah berakhir dengan semakin maraknya pelaksanaan ekonomi berskala global sebagai bentuk perlawanan kalangan pengusaha besar terhadap situasi ekonomi-politik yang ada.
Kalangan ini pada dasarnya sangat berkepentingan agar situasi itu tidak terjadi. Sebaliknya, mereka amat berkepentingan agar demokrasi itu dapat dibatasi atau bahkan diabaikan.
Upaya mengakali demokrasi adalah pesan penting dari fenomena di atas. Motornya adalah kalangan pengusaha besar, yang merasa dirinya dibatasi dan dirugikan oleh demokrasi. Di mata mereka, demokrasi yang dilaksanakan secara konsisten amat merugikan dunia bisnis. Mereka kerap dengan nyinyir menyebutnya dengan “demokrasi kebablasan” (too much democracy). Kalangan ini pada dasarnya sangat berkepentingan agar situasi itu tidak terjadi. Sebaliknya, mereka amat berkepentingan agar demokrasi itu dapat dibatasi atau bahkan diabaikan.
Logika atau cara pandang sedemikian ini sejatinya melengkapi beragam cara pandang kaum oligark atas demokrasi, yang sudah berlangsung bahkan sejak masa Yunani Kuno. Kalangan oligarki atau elite ekonomi ini sangat berkepentingan untuk selalu mendapatkan privilese. Hal itu tidak mungkin dengan mudah mereka dapatkan jika demokrasi berjalan dengan baik. Oleh karena itu, mereka terus mencari cara agar demokrasi dapat dikerangkeng atau dibajak (hijacked).
Saat ini Indonesia bukanlah negara yang terbebas dari cara berpikir seperti itu. Kenyataannya upaya untuk mengakali demokrasi telah bangkit. Sebagian dari para elite politik dan ekonomi merasa demokrasi saat ini dianggap telah bablas dan membawa dampak yang tidak sehat. Sebagian lainnya berpikir bahwa demokrasi hanyalah alat yang dapat dipakai atau tidak tergantung keadaan. Sejauh hal yang lebih besar dan dirasa lebih penting dapat terwujud tanpa demokrasi, maka demokrasi menjadi sekadar sebuah pilihan bukan keharusan.
Refleksi dari cara berpikir seperti adalah sikap setengah hati terhadap demokrasi yang dimunculkan melalui lontaran-lontaran ide dan kebijakan yang substansinya sangat menggelisahkan dari sisi kacamata demokratik. Ide-ide yang terkait dengan memperpanjang masa kekuasaan adalah salah satu contohnya. Sementara dari sisi kebijakan muncul berbagai kebijakan dengan tendensi melayani kepentingan oligarki.
Sebagai dampaknya, Indonesia saat ini juga telah menjadi negara yang mengalami ketimpangan, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik hal itu ditandai dengan semakin terbatasnya akses publik dalam proses pembuatan kebijakan. Sementara secara ekonomi, hal itu terlihat dari penguasaan kue ekonomi di tangan segelintir (Winters 2014). Ironisnya, sekali lagi, ketimpangan itu berhulu dari cara pandang elitis, yang memiliki kekhawatiran akan pelaksanaan demokrasi yang dianggap kebablasan.
Untuk menjawab cara pandang yang meremehkan demokrasi itu, diperlukan sebuah solidaritas seluruh anak bangsa. Suatu solidaritas yang diharapkan dapat mengembalikan demokrasi pada jalannya yang benar. Sebuah solidaritas yang pernah dimiliki oleh anak bangsa untuk melakukan sebuah manuver yang dapat meruntuhkan basis-basis oligarki, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bangsa ini punya banyak pengalaman untuk melakukan hal-hal yang luar biasa dalam mengembalikan hak-hak rakyat karena adanya rasa solidaritas itu.
Saat ini solidaritas semacam itu menjadi demikian penting adanya. Tidak saja dalam rangka melawan segenap pemikiran dan kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat banyak, tetapi mengembalikan hakikat dari keberadaan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang dilandasi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Ini berarti membangun dua bentuk demokrasi secara konsisten. Sebagaimana yang dikatakan Bung Hatta bahwa ”di sebelah demokrasi politik yang telah dicapai musti diadakan demokrasi ekonomi” (1946) agar rakyat dapat menikmati kemerdekaan secara hakiki. Tugas kita adalah melanjutkan cita-cita besar itu, bukan justru membiarkan demokrasi menjadi mati suri dan ketimpangan menjadi merajalela.
Firman Noor,Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)