Tutupnya Signature Bank dipandang sebagai tanda resesi valuasi dan kepercayaan publik kepada ekosistem kripto kian menguat. ”Tersandungnya” masyarakat pada aset kripto disumbang besar oleh faktor edukasi aset kripto.
Oleh
KRISTIANUS JIMY PRATAMA
·3 menit baca
”Musim dingin” aset kripto belum tampak akan berakhir dalam waktu dekat. Alih-alih menunjukkan tanda ”musim semi”, aset kripto justru mulai mengalami gejala ”turbulensi”.
Gejala ini di tingkat global, antara lain, ditandai dengan penutupan Signature Bank (SB) oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) dengan skema pengambilalihan per 12 Maret 2023. SB sendiri termasuk kategori bank komersial Amerika Serikat (AS) dengan eksposur tinggi pada ekosistem kripto dan para pelakunya.
Kasus SB ini tidak berselang lama dari jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB), yang selama ini menjadi salah satu pilar penopang pelaku perusahaan rintisan berskala global, pada 10 Maret 2023. Dari kedua keadaan itu, tanda-tanda ”resesi valuasi dan kepercayaan publik” kepada ekosistem kripto semakin menguat.
Tidak hanya pada tingkat global, ekosistem kripto di Tanah Air juga menunjukkan gelagat serupa. Rentetan perkara pidana yang melibatkan oknum pelaku ekosistem kripto, seperti robot trading Auto Trade Gold (ATG), DNA Pro, hingga binary option, tak pelak akan menjadi suatu krisis kepercayaan (trust issue) di tengah masyarakat.
Trust issue ini tentu berpotensi menjelma menjadi public distrust terhadap eksistensi aset kripto yang besar peluangnya bisa menggerus valuasi aset kripto dalam beberapa tahun terakhir yang tumbuh signifikan.
Apabila dicermati lebih saksama, ”tersandungnya” masyarakat pada aset kripto disumbang besar oleh faktor edukasi terkait aset kripto. Hal ini tergambar pada argumentasi masyarakat yang menanggung kerugian dari sederet perkara pidana di ekosistem aset kripto, yang menunjukkan persepsi dasar yang keliru, yaitu bahwa aset kripto merupakan alat investasi yang dapat memberikan keuntungan secara eksponensial dalam waktu relatif singkat.
Apabila merujuk pada satu sampel perkara pidana DNA Pro, masyarakat yang menjadi korban berasal dari berbagai segmen. Indikator lintas segmen ini berpeluang meningkat kompleksitasnya apabila dikaitkan dengan sifat desentralisasi ekosistem aset kripto, terutama pada para pelaku ekosistem aset kripto yang tidak tunduk pada perangkat hukum nasional.
Saat ini, dilihat dari korban para oknum pelaku ekosistem aset kripto dalam negeri saja, jumlah dan segmen yang menanggung kerugian sudah terdiferensiansi begitu tinggi. Bagaimana apabila oknum pelaku ekosistem aset kripto berasal dari luar negeri yang mengedepankan sifat anonimitas?
Pertanyaan ini, apabila dicari jawabannya pada regulasi, jawabannya akan mengambang.
Merujuk ketentuan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Perbappebti) No 8/2021 sebagaimana yang telah diubah dengan Perbappebti No 13/2022, ruang lingkup pedagang fisik aset kripto yang dapat dijangkau oleh perangkat regulasi ini adalah pedagang fisik aset kripto yang telah mendapatkan persetujuan kepala Bappebti.
Hal ini membuat regulasi ini memuat celah bagi oknum pedagang fisik aset kripto tanpa persetujuan Kepala Bappebti, yang tunduk pada hukum asing. Apabila oknum ini kemudian memanfaatkan fenomena dari masyarakat yang belum secara komprehensif memahami sifat dan pemanfaatan aset kripto secara tepat guna, bukan tidak mungkin oknum terkait akan memberikan kesesatan informasi mengenai aset kripto yang ditawarkan kepada publik.
Hal ini menjadi krusial ketika publik kemudian menanggung kerugian seperti perkara pidana dari oknum pelaku aset kripto dalam negeri. Dengan tidak terikatnya oknum tersebut dengan regulasi yang berlaku, besar peluang bagi oknum tersebut untuk dapat dituntut tanggung jawab secara hukum.
Ketentuan UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) juga tak menjelaskan sejauh mana fungsi regulatif dan pengawasan aset kripto yang beralih dari Bappebti ke BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan fokus pelindungan pelanggan aset kripto dari para pedagang aset kripto dalam negeri ataupun luar negeri, termasuk yang tak teregulasi dan bersifat anonim.
Apabila dicermati lebih saksama, ”tersandungnya” masyarakat pada aset kripto disumbang besar oleh faktor edukasi terkait aset kripto.
Dua fokus
Oleh karena itu, setidaknya terdapat dua fokus yang harus dibenahi regulator. Dua fokus itu meliputi reformulasi strategi untuk mengedukasi masyarakat tentang aset kripto secara efisien dan pembenahan terhadap regulasi.
Pada fokus pertama, penting untuk mengubah orientasi, sasaran, dari program edukasi masyarakat tentang aset kripto. Perlu pergeseran orientasi proses ke orientasi hasil dan program edukasi yang lebih segmentatif-diferensiasi dan inklusif.
Pada fokus kedua, pembenahan regulasi harus dimulai dari penguatan perangkat aturan Bappebti sebelum pengalihan ke BI dan OJK, terutama dalam hal sanksi terhadap para pedagang fisik aset kripto yang teregulasi atau tidak. Hal ini perlu diikuti juga dengan upaya untuk mengejawantahkan UU PPSK dalam aturan turunan yang menutup celah bagi oknum tertentu yang dapat merugikan pelanggan aset kripto.
Kedua fokus ini menjadi krusial untuk dijalankan sebelum fenomena tersandungnya masyarakat karena aset kripto semakin membesar dan berdampak sistemik.
Kristianus Jimy Pratama, Peneliti Center for Law, Technology, RegTech & LegalTech Studies UGM