Stabilitas politik dan kepemimpinan jadi tolok ukur kemajuan negara. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang bisa membawa bangsanya maju. Hal ini relevan dengan Indonesia yang tengah menyiapkan Pemilu 2024.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
ILHAM KHOIRI
Budiman Tanuredjo
Hari Kamis 30 Maret 2022 saya menghadiri undangan buka puasa founder Triputra Grup, Theodore Permadi (TP) Rachmat. Hujan lebat mengguyur Jakarta. Air hujan yang menitik seakan menyambut air mata pemain Tim Nasional U-20 yang gagal bermain di Piala Dunia U-20 dan pencinta sepak bola Indonesia yang gagal menyaksikan Piala Dunia secara langsung. FIFA akhirnya membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 dengan mempertimbangkan perkembangan situasi terkini.
Buka puasa Triputra Grup dengan pemimpin redaksi dan wartawan senior absen empat tahun setelah pandemi menerpa dunia. Lalu lintas di jalanan Jakarta macet. Mungkin sama macetnya dengan komunikasi di antara elite bangsa ini. Buka puasa tidak membicarakan batalnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia. Buka puasa, ya, buka puasa sebagaimana silaturahmi dunia usaha dan wartawan.
TP Rachmat adalah sosok pengusaha yang selalu optimistis dengan perkembangan bangsa ini. Usianya sudah 80-an tahun. Mantan CEO Astra International itu sebenarnya sudah memberikan mandat kepada putranya, Arif Patrick Rachmat, untuk memberikan sambutan dalam acara buka puasa tersebut. Namun ketika sejumlah wartawan mendaulatnya untuk berbicara, TP Rachmat pun angkat bicara.
Ia mengawali pandangannya dengan memberikan ilustrasi kondisi dua negara, Korea Selatan dan Korea Utara. Pakistan dan Bangladesh. India dan Sri Lanka. ”Mengapa kondisi dua negara bertetangga itu bisa jauh berbeda,” kata TP Rachmat. Ia pun menjawabnya sendiri: stabilitas politik dan pemimpin! Ia pun mendorong wartawan untuk menemukan pemimpin yang bisa membawa bangsanya maju.
Singkat. Padat. Stabilitas politik dan kepemimpinan. Pandangan TP Rachmat relevan dengan kondisi kekinian, menjelang Pemilu 2024, yang goro-goronya sudah dimulai sekarang ini. Situasi bangsa sedang tidak baik-baik saja. Seperti sedang terjadi pengeroposan terhadap institusi negara. Survei Litbang Kompas menggambarkan tingkat kepercayaan pada lembaga produk reformasi, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Dewan Perwakilan Daerah, menurun. Transaksi janggal ratusan triliun rupiah terjadi. Kewenangan disalahgunakan. Keadilan diperjualbelikan. Vonis bisa diperdagangkan.
Rangkaian foto lukisan para presiden Republik Indonesia tergambar di sebuah tembok di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, Rabu (18/8/2021). Survei Litbang Kompas pada April 2021 menunjukkan, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihan calon presiden (capres). Hingga tiga tahun menjelang pemilu, sekitar 21 persen responden menyatakan belum menentukan pilihan capres. Angka pemilih yang belum menentukan pilihan itu tergolong tinggi karena lebih besar dari tingkat elektabilitas sejumlah tokoh yang masuk dalam bursa kepemimpinan mendatang.
Di level akar rumput, polarisasi sedang terjadi menyusul pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Ada yang menolak kedatangan Israel ke Indonesia, ada yang mengatakan tidak masalah Israel bermain di Piala Dunia. Karena faktanya, sudah ada beberapa delegasi Israel datang ke Indonesia dan tidak masalah. Presiden Jokowi sudah menyatakan kesiapannya menyelenggarakan Piala Dunia U-20 dan menjamin keamanan. Namun, ada kepala daerah yang bersuara berbeda. Akhirnya, FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Apakah ada sosok yang lebih berkuasa selain Presiden Jokowi? Saya tidak menelusurinya lebih jauh.
Saya teringat obrolan saya dengan Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil dalam kanal Youtube backtobdm, beberapa bulan lalu. Saya bertanya kepada Kang Emil apa masalah mendasar yang menghambat bangsa ini maju dengan pesat. Kang Emil menjawab, ”Saya jawab satu ya. Kalau masalah banyak, tapi saya sarikan satu saja. Masalah bangsa kita sampai hari ini adalah kita mudah bertengkar untuk urusan apa pun. Selalu ada bahan bertengkar.”
Di level akar rumput, polarisasi sedang terjadi menyusul pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Kang Emil melanjutkan, ”Beda pilpres bertengkar. Pak Prabowo sudah gabung Pak Jokowi, di bawah tidak move on. Dulu cebong kampret, sekarang cebong kadrun. Beda klub sepak bola, yang mati 40 orang anak muda oleh suporter bola. Perbedaan agama dibesar-besarkan, jadi itu terus bertengkar. Di negara maju, sudah selesai bertengkarnya. China, revolusi kebudayaan tahun 1950-an, jutaan orang mati. Sekarang selesai,” kata Kang Emil.
Obrolan Kang Emil relevan juga dalam situasi kebatinan sekarang. Kini situasinya, semua elite berkomentar untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik atau malah sekadar dukungan elektoral.
Sambutan singkat TP Rachmat dengan pendekatan komparasi dua negara pernah disampaikan pendiri harian Kompas Jakob Oetama. Jakob menyampaikan pandangannya berdasarkan buku Culture Matters yang ditulis Lawrence Harisson dan Samuel Huntington. Buku itu kerap dikutip Jakob Oetama dalam beberapa kali pertemuan.
Sejumlah anak melintasi mural atau lukisan dinding yang menggambarkan kerukunan umat beragama di sepanjang tembok di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (2/9/2018). Kerukunan umat beragama harus terus dijaga karena menjadi modal utama pembangunan bangsa dan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 ini.
Buku itu memberikan contoh yang mirip dengan digambarkan TP Rachmat. Jakob, mengacu pada Harison dan Huntington, mencontohkan negara Korea Selatan dan Ghana. Disebutkan Jakob, Korea Selatan maju pesat—tahun 1960 sama dengan Ghana—dalam segala hal, tetapi 30 tahun kemudian Korsel 10 kali lipat dibandingkan dengan Ghana.
”Itu contoh jelas dan kasatmata,” kata Jakob suatu waktu. Dan dijawab Jakob dengan merujuk pada Culture Matters. Korea Selatan, dengan semangat konfusianisme hidup dalam budaya progresif, maju pesat. Ghana, yang hidup dalam budaya negatif, tertinggal jauh. ”Kalau mau maju, harus menghidupi. Budaya progresif,” tulis Jakob dalam buku Bersyukur dan Menggugat Diri (2009).
Bangsa ini belum sepenuhnya beranjak banyak. Dari sudut Human Development Index (HDI) 2021, Indonesia berada di peringkat ke-114 dari 191 negara. Dari perspektif korupsi, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia anjlok sesuai dengan survei terakhir Transparency International Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara. Indeks Negara Hukum Indonesia 2022 berada di peringkat ke-64 dari 140 negara. Yang membanggakan, menurut World Giving Index Indonesia, adalah negara paling dermawan. Konsisten dalam lima tahun terakhir.
Bangsa ini memang majemuk. Buka hanya dalam suku, melainkan majemuk dalam modal sosial untuk berkembang, dan majemuk pula dalam masalah. Kedermawanan sosial adalah kelebihan, tetapi budaya korup masih menjadi kelemahan besar. Kelemahan lain dari elite bangsa ini yang sudah ditengarai wartawan Mochtar Lubis pada tahun 1970-an adalah kemunafikan. Dan sekarang juga masih ada. Tidak ada satunya kata dan perbuatan, tidak komit pada perjanjian yang ditandatangani. Berubah-ubah sesuai situasi. Satu saat pemimpin setuju jadi tuan rumah, saat lain langsung balik badan, sesuai perintah. Itu tidak berprinsip. Seorang anggota DPR menyebut kemunafikan sekarang lebih parah karena dibiayai oleh anggaran negara.
Hujan mulai reda. Saya meninggalkan lokasi buka puasa. Melalui streaming, saya menyaksikan televisi yang mengisahkan mimpi anak muda pemain Tim Nasional yang terkubur. Galau, tetapi kehidupan harus tetap berjalan.