Mahkamah Konstitusi, Puasa, dan Kemuliaan
Public distrust terhadap MK bagian integral dari kondisi yang dialami semua orang dan lembaga negara. Negara hukum Pancasila ini dalam kondisi tidak baik-baik saja. Berbahaya jika MK dikendalikan lembaga negara lainnya.

Harian Kompas edisi 23 Maret lalu menyoroti tajam Mahkamah Konstitusi atau MK.
Dalam Tajuk berjudul ”Mempertaruhkan Mahkamah” antara lain dinyatakan, ”Tugas berat bagi MK adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik ketika di dalam MK terdapat orang-orang yang pernah melanggar integritas dan kemandiriannya diragukan”.
Pekerjaan menjadi lebih berat. Sembilan hakim konstitusi yang dikonstruksikan undang- undang dasar (UUD) sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi” dan putusannya disebut ahli sosiologi hukum Satjipto Rahardjo sebagai ”ludah api”.
Tidak baik-baik saja
Pada hemat saya, public distrust terhadap MK merupakan bagian integral dari kondisi yang dialami semua orang dan lembaga negara. Negara hukum Pancasila ini dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Pada semua aspek kehidupan, dan pada semua lembaga negara, dijumpai masalah-masalah akut. Masalah itu serupa dengan penyakit kanker. Akibatnya, semua organ tubuh tidak mampu lagi bekerja normal. Dalam konteks demikian, layak dinyatakan negara dalam keadaan sakit.
Dalam kerangka negara sedang sakit itulah, sehebat apa pun MK (sebagai lembaga negara), pasti terimbas juga, ikut sakit. Kinerjanya rendah. Kualitas putusannya dipertanyakan. Berlanjut, publik tidak lagi memercayainya. Sungguh celaka jika kondisi buruk ini terus berlangsung.
Agar martabat dan kemuliaan MK dapat dipulihkan, semua pihak perlu cancut tali wanda, saiyeg saiko proyo, bersama-sama membenahinya. Semua pihak yang dimaksud di sini adalah, pertama, keluarga besar MK, khususnya para hakim konstitusi.
Mereka mesti memiliki integritas. Integritas senantiasa berbicara tentang jati diri, mencakup kebeningan kalbu, kecerdasan akal, dan keterampilan perbuatan, sehingga dalam setiap saat terlihat konsistensinya antara pemikiran, sikap, ucapan, dan perilaku.
Baca juga : Mempertaruhkan Mahkamah
Predikat sebagai ”negarawan” dan panggilan ”Yang Mulia” yang dilekatkan pada hakim konstitusi mestinya disadari sebagai amanah. Artinya, segala energinya diorientasikan demi terjuwudnya cita-cita bernegara sebagaimana termaktub dalam alinea keempat UUD 1945.
Para hakim konstitusi mesti introspeksi ketika perihal integritas ini publik mempertanyakannya.
Kedua, pihak-pihak di luar MK, baik masyarakat (publik) maupun lembaga negara lain. Dapat dipastikan, MK senantiasa bersinggungan dengan opini publik, dan kekuatan politik. Tanpa harus tersandera, opini publik tidak boleh dianggap remeh, bahkan wajib diperhatikan oleh MK. Opini publik ini perlu disaring untuk peningkatan akuntabilitas sosial atas kinerja dan persepsi positif atas putusan-putusan MK.
Adapun perihal kekuatan politik, sejak bergulirnya era Reformasi, seakan negara ini berubah, bukan lagi negara hukum, melainkan negara politik.
Kekuatan politik sedemikian besar, mengungguli kekuatan hukum. Kasus diberhentikannya Hakim Konstitusi Aswanto dan penunjukan penggantinya, Guntur Hamzah, jelas melanggar hukum, yakni Pasal 23 UU MK No 7/2020. Pelanggaran ini menjadi bukti nyata betapa kekuatan politik berpengaruh besar terhadap MK. MK tak berdaya menolaknya.
Sungguh, amat berbahaya jika MK dikendalikan lembaga negara lain (DPR dan Presiden, Mahkamah Agung) atas dasar kepentingan politiknya. MK hanya akan bermartabat, berwibawa, dan mampu berkontribusi demi perwujudan cita-cita negara jika lembaga negara lain bersedia menjaga independensi MK. MK mestinya tak diintervensi oleh siapa pun.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F13%2Fda657f26-22f7-4133-ab65-f6b16defca9c_jpg.jpg)
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (13/3/32023).
Kembalikan martabat MK
Untuk mengembalikan martabat MK, hemat saya, penting direalisasikan pemikiran Satjipto Rahardjo (Kompas, 3/5/1995) bahwa dalam doktrin negara hukum itu tercakup doktrin rule of moral, rule of justice, dan rule of Pancasila.
Maknanya dalam bernegara hukum itu, siapa pun—warga negara ataupun penyelenggara negara, termasuk MK—senantiasa mengunggulkan ”olah hati nurani” daripada memaksakan ”olah otak”. Dengan kata lain, lebih memujikan komitmen moral daripada perundang-undangan.
Konser besar pembenahan
Jika pemikiran tersebut dapat (wajib) direalisasikan, pembenahan terhadap MK menjadi konser besar karena memang banyak pihak dan lembaga yang terlibat. Pertama, lembaga negara pengusul hakim konstitusi wajib menyeleksi calon hakim konstitusi secara transparan dan akuntabel.
Sampai di situ saja tugas dan wewenangnya. Setelah calon menjadi hakim konstitusi definitif, jangan pernah diganggu, dikendalikan, atau diintervensi. Aturan demikian perlu ditegaskan dalam UU MK.
Kedua, pembenahan struktur di MK. Dari putusan Mahkamah Kehormatan MK perihal pengubahan frasa dengan demikian menjadi ke depan”, terungkap betapa kedudukan para hakim konstitusi, panitera, dan ke-sekjen-an masih tumpang tindih, simpang siur.
Pun belum ada prosedur operasional standar (SOP) dalam hal hakim konstitusi mengusulkan perubahan frasa dalam putusan yang sedang dibacakan. Kapan dan bagaimana panitera ataupun pegawai ke-sekjen-an mesti terlibat.
Apalah artinya dipanggil ”Yang Mulia” jika di mata publik perilakunya tercela?
Ketiga, last but not least, demi kemuliaan MK sebagai lembaga, dan kemuliaan para hakim konstitusi sebagai individu, kiranya kemampuan pengendalian diri dari nafsu kekuasaan, nafsu materi, nafsu politik, dan nafsu-nafsu serakah lain amat penting ditingkatkan.
Bulan Ramadhan adalah bulan pengendalian diri. Apalah artinya menahan makan, minum, dan syahwat di siang hari apabila etika dan perilakunya tidak dibenahi? Apalah artinya dipanggil ”Yang Mulia” jika di mata publik perilakunya tercela? Demi kemuliaan MK dan para hakim konstitusi, semoga bulan Ramadhan dapat dijadikan momen pembenahan MK seluruhnya. Selamat berpuasa.
Sudjito Atmoredjo Guru Besar Ilmu Hukum UGM