Politik dan Politisasi Ajang Olahraga
Perhelatan olahraga skala dunia tak pernah lepas dari politisasi ataupun politik di setiap penyelenggaraannya. Menjadikan suatu perhelatan olahraga sebagai panggung politik sudah lumrah terjadi pada perhelatan besar.
Apa boleh buat. Terkait polemik keikutsertaan tim Israel di Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia, kita memang tidak boleh naif mengatakan bahwa ajang olahraga tidak ada kaitan dengan politik.
Pentas olahraga dunia, seperti Olimpiade dan Piala Dunia, selalu mendapat sorotan dari berbagai sisi, salah satunya politik. Perhelatan (event) olahraga menjadi ruang kontestasi bagi politik dan menjadi arena politisasi yang berdampak sangat besar bagi tuan rumah penyelenggara.
Magnet sebagai tuan rumah ajang olahraga begitu kuat dengan berbagai macam isu serta menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kepentingan.
Kita bisa lihat semua kegiatan olahraga besar selalu memunculkan persoalan yang sifatnya politis. Tulisan ini merefleksikan fenomena, yakni politisasi dan politik perhelatan olahraga. Tujuannya, agar kita menyadari bahwa suatu perhelatan olahraga memiliki makna yang signifikan pada kedua hal itu.
Olimpiade sebagai arena politik
Perhelatan Olimpiade tak pernah lepas dari politisasi ataupun politik di setiap penyelenggaraannya. Selalu saja ada ruang bagi ekspresi politik sesuai dengan konteks yang sedang terjadi pada waktu itu.
Dalam bingkai pemberitaan internasional, hampir di setiap tuan rumah penyelenggara Olimpiade pasti terdapat isu ataupun peristiwa yang erat kaitannya dengan politik dan mendapat sorotan media.
Paling epik adalah foto ketika pelari cepat asal Amerika Serikat, Tommie Smith dan John Carlos, naik ke podium tanpa menggunakan alas kaki dan mengangkat satu tangan dengan sarung warna hitam sambil menundukkan kepala selama menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat.
Kita bisa lihat semua kegiatan olahraga besar selalu memunculkan persoalan yang sifatnya politis.
Mereka memprotes perlakuan diskriminatif terhadap warga kulit hitam di Amerika yang saat itu masih menjadi problematika sangat tinggi. Potret bening ini menjadi ikonik dari politik olahraga Olimpiade.
Peristiwa yang paling mendapat sorotan media di Olimpiade adalah ketika terjadi penyanderaan terhadap atlet asal Israel di Muenchen, Jerman, tahun 1972. Foto salah seorang penyandera dengan tutup kepala tertangkap kamera dari balkon wisma yang kemudian menjadi sampul depan media internasional ketika itu.
Penyanderaan ketika itu dilakukan oleh kelompok teroris yang meminta pembebasan 200 tahanan Palestina. Dalam peristiwa itu, sembilan sandera Israel tewas, begitu pula lima teroris dan satu polisi. Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Avery Arundage ketika itu mengambil keputusan untuk melanjutkan Olimpiade setelah ditunda beberapa jam.
Selama periode tahun 1980-an, Olimpiade juga tidak lepas dari isu politik, berkaitan dengan Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Ini terbukti pada Olimpiade Moskwa 1980, Los Angeles 1984, dan Seoul 1988, yang menunjukkan isu yang berkaitan dengan perang dua negara adidaya itu sangat menjadi sorotan media, terutama saling boikot di antara negara-negara yang terlibat.
Olimpiade 1992 Barcelona mungkin adalah ajang olahraga paling sukses menarik semua lini media massa, yang berlangsung setelah runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin. Barcelona di Spanyol menjadi pesta bagi media massa yang liputannya begitu meriah serta menghibur.
Kehadiran tim bola basket Dream Team yang terdiri atas pemain terbaik NBA saat itu, seperti Michael Jordan, Magic Johnson, dan Charles Barkley, menjadi ikonik media massa saat itu. The Dream Team seperti sebuah jawaban yang menghibur bagi seluruh masyarakat dunia, yakni bahwa Perang Dingin telah usai.
Setelah Barcelona, Olimpiade setelahnya masih sangat kuat nuansa politiknya, dan itu berkaitan dengan berbagai persoalan mutakhir saat itu. Namun, menarik untuk dilihat bahwa beberapa dekade terakhir, seperti pada Olimpiade Beijing 2008, Olimpiade London 2012, dan Olimpiade Brasil 2016, isunya tidak lepas dari masalah politik secara internal. Misalnya, diungkitnya masalah hak asasi manusia (HAM) di Beijing, upah pekerja di London, dan adanya peserta dari negara asal pengungsi di Sao Paulo, kesemuanya tidak lepas juga dengan masalah tersebut.
Piala Dunia dan alat politik
Ajang pesta sepak bola dunia juga tidak luput dari politik di setiap perhelatannya, seperti pada penyelenggaraan tahun 1934, 1978, 2018, dan 2022. Piala Dunia 1934 di Italia menjadi alat politik bagi Mussolini, diktator fasis Italia, yang menjadikan perhelatan ini sebagai propaganda politiknya.
Piala Dunia 1978 Argentina menjadi alat politik bagi pemimpin kudeta militer Jorge Rafael Videla untuk membangun citra dirinya pascakudeta. Namun, perlawanan juga berlangsung di luar stadion, dengan adanya aksi protes yang terus terjadi karena Videla dianggap menculik serta memenjarakan banyak aktivis demokrasi dan ini mendapat sorotan dari media internasional.
Niat Rusia untuk memanfaatkan Piala Dunia tersebut sebagai citra reputasi di dunia internasional juga menemukan reaksi balasan yang sangat kuat dari negara-negara Barat.
Piala Dunia 2018 di Rusia juga memiliki nuansa politik yang sangat kental. Niat Rusia untuk memanfaatkan Piala Dunia tersebut sebagai citra reputasi di dunia internasional juga menemukan reaksi balasan yang sangat kuat dari negara-negara Barat.
Terakhir, Piala Dunia 2022 Qatar, politik dengan isu hak asasi berkembang, seperti isu LGBT, minum alkohol, dan pekerja migran, begitu menguat sepanjang penyelenggaraan perhelatan tersebut. Qatar yang berada di kawasan Timur Tengah terkenal dengan budaya dan nilai-nilai keagamaan yang kuat, mendapat tantangan sangat kuat menghadapi persoalan itu.
Meski begitu, Lionel Messi berhasil menghibur serta menghentikan isu-isu politik yang berkembang sepanjang turnamen ini berlangsung. Piala Dunia menjadi bagian terpenting sebagai kejuaraan yang diperebutkan, di mana interpretasi yang berbeda dan berlawanan saling bergulat untuk meraih pengaruh dan kekuasaan. Piala Dunia memiliki dimensi politik yang lebih dalam daripada hampir semua penyelenggaraan kegiatan olahraga lain.
Panggung politik
Dari berbagai peristiwa di atas, kita tidak boleh naif mengatakan perhelatan olahraga tidak ada kaitan dengan politik. Faktanya, secara tidak langsung perhelatan olahraga adalah bagian dari politik karena konsekuensi akan selalu terjadi, kontroversi pasti ada, dan saling memengaruhi kekuatan menjadi dinamika dalam ajang-ajang olahraga seperti itu.
Proses untuk menjadi tuan rumah pada hajatan multievent olahraga, seperti Piala Dunia dan Olimpiade, membutuhkan lobi-lobi politik, baik ke OIC maupun FIFA. Masih ingat pada era Bung Karno ketika mengadakan Ganefo? Sikapnya yang menolak Israel dan Taiwan di Asian Games 1962 membuat IOC kecewa dan hal itu memiliki konsekuensi politik setelahnya.
Baca juga : Jangan Campuradukkan Olahraga dan Politik
Dapat disimpulkan bahwa perhelatan olahraga berimpitan secara politis dari berbagai sisi, tak dapat dipisahkan di antara keduanya. Menjadikan suatu perhelatan olahraga sebagai panggung politik sudah lumrah terjadi pada setiap perhelatan besar, seperti Olimpiade dan Piala Dunia. Fakta sudah menjelaskan itu.
Olahraga penuh dengan aktor, institusi, dan kelompok yang saling berkelindan melalui berbagai bentuk. Penulis jadi teringat ungkapan Dave Zirin (2013): ”Masalahnya setiap orang mencoba memisahkan kedua dunia ini [politik dan olahraga] karena mereka ternyata sedang memperdagangkan mitos.”
Meistra Budiasa, Direktur Pusat Studi Komunikasi Olahraga Bung Karno, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bung Karno, Jakarta