Pemulihan pasca pandemi Covid-19 tak cukup memulihkan dari trauma tetapi juga “remembrance” (ingatan). Kita harus mengakui kerentanan kita, tidak melupakan masa lampau, dan tidak melupakan para korban.
Oleh
EMANUEL GERRIT SINGGIH
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Ketika Yogyakarta mengalami bencana alam gempa bumi pada 27 Mei 2006, kebanyakan dari warga Yogya dan sekitarnya yang sintas mengalami guncangan batin atau psikologis yang berat. Tampaknya guncangan semacam ini, yang disebut trauma dalam psikologi, dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat negatif, bahwa seseorang tidak kuat menghadapi tantangan di hadapannya.
Kalau trauma ini tidak hanya menimpa diri pribadi melainkan terdeteksi secara luas dalam masyarakat (trauma sosial), muncul kekhawatiran bahwa masyarakat akan putus asa dan menjadi pasif, tidak mau lagi melakukan kegiatan-kegiatan membangun masyarakat. Maka, seingat saya, seluruh tahun 2006 pascagempa bumi digunakan untuk mendorong masyarakat agar bangkit, terutama di bidang sosial ekonomi. Infrastruktur yang rusak diperbaiki, dan memang pada 2007 Yogyakarta sudah pulih, tidak ada lagi petunjuk-petunjuk yang mengingatkan kepada bencana alam ini.
Namun, pertanyaannya adalah bagaimana dengan korban-korban gempa yang sintas? Apakah mereka langsung bisa sembuh dan pulih dari trauma hanya dengan melihat pemulihan infrastruktur? Trauma, apalagi trauma sosial, memerlukan proses dalam upaya penyembuhannya (trauma healing), dan salah satu bagian penting dalam trauma healing ini adalah remembrance yang diterjemahkan sebagai ”ingatan”. Tetapi, bukan sekadar mengingat, melainkan mengingat dalam rangka menerima bahwa kita pernah mengalami masa lampau yang negatif, yaitu bencana alam yang membawa penderitaan dalam hidup kita, bahwa alam (baik berupa manusia maupun bukan manusia) adalah makhluk yang rentan (vulnerable), dan bahwa orang-orang yang kita kasihi direnggut secara paksa dari lingkup dan naungan kita.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Anak-anak pengungsi korban gempa mengikuti aneka permainan yang digelar sukarelawan Pertamina Peduli di lokasi pengungsian di kawasan Bandara Mutiara Sis Aljufri, Palu, Jumat (5/10/2018). Permainan tersebut diharapkan menjadi terapi psikis bagi anak-anak korban gempa tersebut.
Bangkit lagi
Memang, kita tidak mau tenggelam dalam masa lampau, kita mau bangkit lagi, mengisi kembali hidup kita, dan berjalan bersama menuju ke masa depan. Konsentrasi kita adalah kepada yang kedua ini. Jadi, program-program masyarakat yang mendorong semangat bekerja sama dalam mencapai pemulihan adalah bagian dari trauma healing. Tetapi, kita tidak bisa maju kalau tidak menerima dulu masa lampau kita.
Remembrance adalah semacam tindakan simbolis atau ritual dalam rangka kita menerima masa lampau kita. Adakah sesuatu yang dilakukan masyarakat, yang dapat digolongkan ke dalam remembrance? Sejauh saya ingat, hanya beberapa media daring (online), misalnya Kompas.com pada 2022, 16 tahun sesudah gempa Yogyakarta, yang menurunkan refleksi singkat yang bersifat ingatan (remembrance).
Program-program masyarakat yang mendorong semangat bekerja sama dalam mencapai pemulihan adalah bagian dari trauma healing.
Ingatan ke bencana alam gempa bumi Yogyakarta 2006 hanyalah pengantar untuk masuk ke dalam topik yang sama, tetapi dalam konteks nasional, yaitu apakah kita melakukan trauma healing dalam era pascapandemi. Pemerintah mengumumkan berakhirnya masa PPKM pada 30 Desember 2022, dan sejak itu krisis-krisis di berbagai bidang yang merupakan dampak dari pandemi ini tampaknya mulai bisa diatasi.
Kita membaca banyak pujian terhadap keberhasilan pemerintah menjalankan program vaksinasi Covid-19 secara cuma-cuma. Sejak itu, pemerintah mengimbau agar kita tidak terpaku kepada dampak pandemi yang terjadi, dan berusaha bangkit kembali. Masa pascapandemi tampaknya dimulai dengan semboyan ”Indonesia Canggih”. Tidak jarang kita mendengar imbauan-imbauan ”move on”, seperti kalau menyaksikan berita di media sosial.
Tetapi, pertanyaannya adalah bukankah masa pandemi menyebabkan kita mengalami trauma sosial yang dahsyat? Tanda-tandanya terlihat pada pernyataan-pernyataan resmi yang simpang-siur dan sering berlawanan satu dengan yang lain. Kebanyakan dari kita mengalami trauma pribadi akibat pandemi: kita panik kalau kita mencurigai ada orang lain yang terkena Covid-19, sebaliknya kita juga panik kalau orang lain mencurigai kita terkena Covid-19.
Pengisolasian sebagai bagian dari pencegahan penyebaran Covid-19 sudah pasti menyebabkan trauma sosial bagi kita yang berbudaya kerumunan. Siang malam kita mendengar raungan sirene ambulans yang melintasi jalan raya menuju ke rumah sakit atau ke tempat pemakaman; setiap pagi ketika kita bangun tidur, kita mendengar pengumuman dari masjid bahwa tetangga kita si A atau si B telah berpulang; dan segala sesuatu telah dilakukan untuk pemakamannya. Artinya, dia sudah dikubur.
Trauma pribadi ataupun sosial terhebat adalah ketika orangtua kita atau kerabat kita meninggal karena Covid-19 (160.000 orang menurut covid19.go.id). Kita tidak bisa meratapi jenazahnya sebagai tanda bahwa kita mencintainya, dan itu bertentangan dengan tradisi budaya dan religius kita di Indonesia.
Saya mengusulkan agar dalam konteks kita di Indonesia pada masa pascapandemi ini, kita tidak langsung meloncat ke bagian kedua dari proses trauma healing, yaitu ke program-program pemulihan yang bersemangat ”Indonesia Canggih” saja. Kita kembali dulu ke bagian pertama, atau kalau tidak bisa kembali karena sudah telanjur ke bagian kedua, disusulkan dengan upacara remembrance secara publik, baik pada aras nasional maupun pada aras lokal.
Kalau kita mau menjadi bangsa yang besar, yang sehat jiwa raganya, kita tidak perlu menanggapi negatif gejala-gejala trauma sosial. Kita harus bersedia mengakui kerentanan (vulnerability) kita sebagai bagian dari alam, tidak melupakan masa lampau, dan tidak melupakan korban-korban Covid-19.