Asumsi Vs Kenyataan
Keberhasilan pembangunan fisik, seperti infrastruktur, di ujungnya harus membawa manfaat serta menyejahterakan masyarakat. Tentu dalam hal ini tersirat pula rasa aman pada masyarakat.

Menkeu Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa kebijakannya meningkatkan gaji pegawai di Kementerian Keuangan untuk mengurangi penyalahgunaan jabatan seperti korupsi. Asumsi itu tidak sesuai kenyataan.
Korupsi tetap terjadi bahkan jumlahnya ”astronomik”. Benar sinyalemen Transparancy International bahwa Indonesia dalam kondisi ”Grand Corruption and Lack of Freedoms Holding Back Progress”.
Judul itu diikuti subjudul ”Petty Corruption Down, but Grand Corruption Persists”. Menggambarkan korupsi skala kecil berkurang, tetapi korupsi skala besar berlanjut. Ada penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang seiring dengan penurunan mutu demokrasi atau flawed democracy.
Tanpa sengaja, kasus korupsi skala besar terkuak gara-gara seorang anak pegawai Direktorat Jenderal Pajak menganiaya seorang remaja hingga koma. Korupsi, hedonisme, kriminalitas ternyata saling terkait, melibatkan seluruh keluarga dan lingkungan pergaulan. Kita berharap semua gejala yang mengarah kepada krisis tata nilai serta akhlak masyarakat itu mendapat perhatian pemerintah.
Bivitri Susanti pernah mengemukakan, keberhasilan pembangunan fisik, seperti infrastruktur, di ujungnya harus membawa manfaat serta menyejahterakan masyarakat. Tentu dalam hal ini tersirat pula rasa aman pada masyarakat. Kenyataannya, hampir setiap hari kita disuguhi peristiwa perundungan seksual yang bahkan terjadi di lembaga beratribut keagamaan.
Membina tata nilai serta akhlak mulia masyarakat memerlukan waktu panjang dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah pentingnya menyadari hal ini sebagai bagian utama watak kepemimpinan.
Sebagai ilustrasi, istilah harta karun datang dari kisah dalam Al Quran tentang seorang yang luar biasa kekayaan dan keserakahannya, bernama Qarun. Rasulullah SAW pernah bersabda, dua serigala lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing tidak lebih merusak dibandingkan sifat serakah manusia terhadap harta dan kedudukan.
Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia ingin memiliki dua lembah (emas). Tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta 12970
Membangun Desa

Kepala Tiyuh Pulung Kencana Hendarwan
Membaca rubrik Sosok berjudul ”Hendarwan, Membangun Desa Mandiri Digital” (Kompas, 17/3/2023) membuat saya senang dan bangga.
Disebutkan, Kepala Tiyuh Pulung Kencana, Hendarwan (49), yakin bahwa pemerintahan desa bisa dijalankan secara digital. Hal ini untuk memudahkan pelayanan bagi masyarakat dan segala administrasi pemerintahan. Bahkan sistem digital ini bisa menjadi pintu masuk berbagai program yang lebih besar. Kesuksesan ini menjadikan Desa Pulung Kencana sebagai desa rujukan banyak desa di Indonesia.
Selama ini banyak masalah pelayanan dan administrasi yang tidak maksimal di pelbagai desa. Penyebabnya kurangnya sumber daya manusia dan sumber daya lain.
Oleh karena itu, perlu diadakan kunjungan ke desa yang baik administrasi dan pelayanannya, seperti Desa Pulung Kencana, Lampung.
Pemberitaan di atas membuktikan bahwa di pelosok desa pelayanan bisa berjalan baik dan berbasis digital.
Beberapa waktu lalu di beberapa daerah terjadi kasus-kasus korupsi dana desa, termasuk oleh kepala desa. Dengan sistem pelayanan dan pelaporan keuangan yang terdigitalisasi, penyimpangan dan pelayanan yang buruk bisa diminimalkan.
Semoga kasus-kasus negatif yang dilakukan kepala desa dan para aparatnya tidak terjadi lagi. Kewajiban kepala desa dan aparat adalah melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Semoga semakin banyak Hendarwan baru: memajukan dan mengabdi untuk negeri.
Rusdi NgarpanJl Nusa Indah, Magersari, Rembang 59214
Baju Bekas Impor

Baju-baju bekas impor milik Roy Tivana (36) di Metro Pasar Baru Lantai 2, Jakarta, Senin (20/3/2023). Ia berharap, kebijakan pemerintah untuk memusnahkan baju-baju bekas diikuti pula dengan solusi bagi para pedagang pakaian impor.
Baju bekas impor menjadi bermasalah karena dilabelkan sebagai barang ilegal. Berbagai media menyiarkan tindakan instansi pemerintah, UMKM pertekstilan, dan pihak swasta lain yang menyoroti perdagangan baju bekas impor.
Berita di Kompas (Jumat, 17/3/2023), ”Lokapasar Diminta Berantas Penjualan Baju Bekas Impor”, dan sebelumnya (Selasa, 14/3/2023), ”Impor Baju Bekas Matikan UMKM”, menyebutkan bahwa UMKM pertekstilan dalam negeri mesti bersaing dengan produk impor baju bekas.
Kementerian Perdagangan telah memusnahkan 750 bal pakaian bekas yang diduga asal impor senilai Rp 8,5 miliar-Rp 9 miliar (Kompas, 12/8/2022). Ada aturan melarang impor pakaian bekas berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 dan direvisi menjadi No 40/2022.
Di sisi lain, seorang konsultan bisnis dan penulis Lynda Ibrahim mengutarakan pandangannya dalam artikel Gaya Hidup (Etalase) di e-Paper Kompas (Minggu, 5/3/2023) berjudul ”Loakan Global Versus Keadilan Sosial”. Artikel itu mengajak kita bersikap, meski penutupnya: ”Bingung? Saya juga”.
Fenomena loakan global itu di Indonesia terbukti hidup.
Masa SD dan SMP saya tahun 1980-an, kami sekeluarga menempati kamar No 1 (2 ruang) di Asrama Pegawai Wanita RSUP di Dok II atas (berupa bukit) Jayapura, Papua.
Ada seorang ibu perantauan yang berjualan jagung rebus dengan baskom di atas kepala dan di gendongan. Ia berjalan kaki mengelilingi kompleks RSUP dok II atas. Anehnya, si ibu menjual jagung rebus untuk dibarter dengan pakaian bekas pakai dan tidak menerima pembelian tunai.
Ternyata, pakaian bekas pakai jauh lebih berharga daripada uang tunai karena ia tidak mampu membeli pakaian baru bagi keluarganya.
Coba kita perhatikan sekeliling kita: para buruh gendong di pasar dan stasiun, para tukang harian lepas, para pemungut sampah, dan semua orang sederhana, apakah untuk kerja sehari-hari perlu pakaian baru bagus dan mahal?
Mereka akan memilih pakaian bekas—impor ataupun lokal—yang masih layak pakai. Inilah fakta bahwa loakan global itu bisa terbukti hidup di Indonesia. Ada ceruk konsumen dan pasokannya.
Kalau baju bekas impor mendapat pasar, bisa jadi karena baju bekas lokal banyak yang tidak layak pakai. Berbeda dengan baju bekas impor yang lebih terawat.
Tahun 1998 ketika saya tinggal di sebuah desa di Jepang, ada banyak imigran seperti saya yang memanfaatkan toko barang-barang bekas.
Begitu juga ketika menemani istri sekolah di Leiden, Belanda, 2003. Ada toko barang bekas yang dikelola oleh pemerintah kota. Ada hiasan, aneka sandang, hingga perkakas dan mebel. Hasil penjualan untuk para pegawai kebersihan di kota tersebut.
Jadi, walau di negara maju sekalipun, jual beli baju dan barang bekas, tetap ada.
Tabloid Nova 29/10/2009 pernah menyajikan artikel bisnis barang bekas di Toko Barkas (Barang Bekas) Yogyakarta. Disebutkan Sultan dan Ratu Hemas bangga dengan toko itu, bahkan menitip sejumlah barang untuk dijual. Kata Sri Sultan, ”Bila barang bisa dijual, kenapa harus dibuang?”
Saya pernah menyebut, China sudah menjadi negara produsen bagi dunia. Pabrik barang konsumsi dan merek dunia mendirikan pabrik dan membeli barang China karena pertimbangan efisiensi.
Mengambinghitamkan baju bekas impor sebagai barang ilegal bertentangan dengan sila ”Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Rakyat Indonesia berhak memiliki pakaian dengan harga murah dan terjangkau yang saat ini hanya dapat disediakan oleh pasar baju bekas impor.
Djoko Madurianto SunartoJalan Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Cerita Juragan Bus

Calon penumpang berjalan menuju bus jarak jauh yang hendak berangkat dari agen bus antar kota antar provinsi (AKAP) d Bulak Kapal, Bekasi Timur, Jawa Barat, Kamis (30/7/2020). Volume penumpang di sejumlah agen bus AKAP di tempat tersebut naik sekitar 60 persen menjelang hari libur Idul Adha .Kompas/Riza Fathoni (RZF)30-07-2020
Saya mempunyai pengalaman kerja di perusahaan migas asing bagian eksplorasi selama 45 tahun. Pada usia 70 tahun, saya masih mendapat tawaran bekerja sebagai wellsite geologist—geolog jaga sumur—pada pengeboran sumur eksplorasi di Sumatera.
Saya dan teman-teman geolog bekerja profesional penuh kejujuran. Menggunakan kaidah hukum alam dan ilmu geologi, kami bisa menemukan endapan minyak dan gas di kedalaman 3.000 meter dalam perut bumi.
Akhir-akhir ini ketika membaca berita perusahaan BUMN bidang penerbangan rugi dengan utang Rp 70 triliun, kemudian ada berita pejabat aparatur sipil negara mempunyai tabungan amat sangat besar, melampaui kemampuan gaji bulanannya, saya ingat pengalaman 55 tahun silam saat masih siswa sekolah teknik swasta di Klaten.
Sebagai remaja desa, ketika teman di sekolah kota kabupaten mengajak saya main ke rumah orangtuanya di kota kecamatan sebelah timur Wonogiri, saya bersedia.
Saya pun mengayuh sepeda dari desa saya, Kabupaten Klaten bagian timur, menuju rumahnya di Wonogiri.
Tiba di pojok pertigaan kota Wonogiri saya mampir ke warung soto Mbah Karto Londo. Saya dijamu sarapan soto ayam dan teh manis. Tenaga saya pulih. Namun, karena masih jauh, Mbah Karto menitipkan saya ke sopir truk. Sepeda saya dititip di warung.
Di rumah teman, kota kecamatan yang terletak tidak jauh dari perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, saya bertemu Pakde Sastro pemilik beberapa bus yang melayani trayek dari beberapa kota kecil ke kota Solo.
Katanya, ”Nak Sugeng, punya bus, piara kondektur dan sopir itu ibarat piara copet.” Pagi-pagi, Pakde berpamitan. Ia memacu Vespanya menuju pertigaan kota kabupaten.
Pakde duduk di pojok jalan, memantau bus-busnya lewat. Satu per satu dicatatnya: jam berapa lewat, kondisi penumpang, dan kecepatan bus.
Sorenya, ketika bus pulang ke garasi, kondektur dan sopir akan melapor. Di sini Pakde Sastro bertindak sebagai ”raja tega”. Kondektur yang menyetor uang sesuai jumlah penumpang mendapat ucapan terima kasih. Sebaliknya yang menyetor terlalu sedikit, tidak sesuai jumlah penumpang, diberhentikan dengan cara halus. Katanya, ”Mas, bus ini besuk waktunya diservis. Jadi jenengan berdua libur.”
Bagi sopir dan kondektur, keputusan Pakde merupakan vonis kejam: PHK. Bagi Pakde, keputusannya ini juga merugikan karena busnya tidak jalan. Lagi pula Pakde mesti mencari kondektur jujur! Kalimat Pakde kembali terngiang, ”Piara sopir dan kondektur ibarat piara copet.”
Sugeng HartonoAnggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Perumahan Bona Indah, Jakarta Selatan