Di saat kita hendak menjadi tuan rumah perhelatan berlevel dunia, kematangan Indonesia sebagai bangsa diuji. Ini karena setiap tuan rumah agenda olahraga dunia selalu ada konsekuensinya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
Maskot resmi Piala Dunia U-20, Bacuya, diperkenalkan di kawasan Bundaran Hotel Indonesia dan Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (18/9/2022).
Posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 terancam. Ini dicatat sebagai pelajaran penting. Jangan mimpi menjadi tuan rumah eventolahraga dunia.
Oleh sebab, setiap tuan rumah agenda olahraga dunia selalu ada konsekuensinya. Sedari dulu, olahraga dan politik sejatinya ihwal yang berbeda. Namun, berbagai pihak sering mengaitkan olahraga dengan politik, demi maksud tertentu yang kerap di luar urusan olahraga.
Olahraga memiliki berbagai kelengkapan, demi kejelasan aturan di berbagai tingkatan. Kelengkapan itu mulai dari organisasi level multicabang hingga cabang tunggal, dari internasional, regional, hingga nasional negara masing-masing.
Kelengkapan itu membuat dunia olahraga relatif mampu mengatur berbagai perhelatan berskala dunia, baik dari sisi jadwal, kualifikasi kontingen, sertifikasi, serta pendaftaran pelatih, atlet dan ofisial, hingga aspek detail lainnya. Jika tanpa kejelasan aturan, tentu rumit menggelar kegiatan internasional yang menghadirkan puluhan ribu atlet semacam Olimpiade.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) jadi induk olahraga dunia yang mengorganisasikan berbagai ihwal terkait olahraga. Di level cabang, induk organisasi menjadi penanggung jawab. Sebutlah Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA), dan banyak lagi lainnya.
Indonesia yang lolos sebagai tuan rumah Kejuaraan Dunia Sepak Bola U-20 tentu tidak bisa lepas dari supervisi FIFA, baik menjelang maupun saat pelaksanaan kegiatan nanti. Tak heran, sudah ditetapkan enam provinsi penyelenggara, yakni DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Tim teknis FIFA telah mengecek kesiapan infrastruktur di keenam stadion arena Piala Dunia U-20.
PEMERINTAH KOTA SURABAYA
FIFA saat pengecekan kesiapan Stadion Gelora Bung Tomo di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (25/2/2023), untuk penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Surabaya termasuk dalam enam kota penyelenggara turnamen bersama Palembang, Jakarta, Bandung, Solo, dan Bali.
Masalah muncul seiring kehadiran kesebelasan Israel sebagai salah satu kontestan Piala Dunia U-20. Gubernur Bali I Wayan Koster dan sejumlah pihak lain menolak kehadiran tim Israel dengan alasan politis. FIFA pun membatalkan pengundian grup yang direncanakan berlangsung di Bali.
Lolosnya Israel sudah dipastikan mengikuti standar FIFA. Tim U-20 Israel tentu menjalani babak kualifikasi sehingga berhak lolos ke putaran final yang direncanakan di Indonesia, bersama 23 tim lainnya dari berbagai benua. Andai sebuah tim sudah lolos secara kompetitif dan dianulir karena urusan politis, siapa yang sejatinya menodai sportivitas?
Di olahraga juga ada sanksi dan apresiasi, reward and punishment. Saat pebalap sepeda Lance Armstrong diketahui menggunakan doping, tujuh gelar juaranya di Tour de France dicabut. Ketika komunitas atletik Rusia kedapatan doping, mereka juga tak bisa tampil dengan bendera negaranya di Olimpiade. Kita juga pernah dikenai sanksi sehingga saat tim bulu tangkis kita menjuarai Piala Thomas 2020, bendera Merah Putih tak bisa berkibar.
Di saat kita hendak menjadi tuan rumah perhelatan berlevel dunia, kematangan Indonesia sebagai bangsa diuji. Nila setitik bisa menodai citra bangsa ini hingga bertahun-tahun.