Menyikapi harga beras yang terus naik, Badan Pangan Nasional dan otoritas yang lain perlu memastikan produksi padi usai panen raya. Badan Pangan Nasional mesti merekonstruksi kebijakan perberasan yang compang-camping.
Oleh
KHUDORI
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Ramadhan telah tiba. ”Rutinitas” yang selalu berulang pun kembali datang: kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, salah satunya beras. Merujuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga beras medium pada 21 Maret 2023 bergerak Rp 13.150-Rp 13.300 per kilogram (kg).
Selain lebih tinggi dari Januari (Rp 12.600-Rp 12.800 per kg) dan Februari 2023 (Rp 12.950-Rp 13.100 per kg), harga ini juga melampaui harga eceran tertinggi (HET) baru beras: Rp 10.900-Rp 11.800 per kg (tergantung wilayah). Apa penyebab harga beras terus naik?
Bukankah saat ini masa panen, bahkan menurut Kementerian Pertanian, sudah panen raya? Dari pengalaman berpuluh-puluh tahun diketahui titik kritis cadangan beras terjadi tiap 31 Desember.
Cadangan beras pemerintah (CBP) minimal harus cukup untuk memenuhi tiga bulan (Desember-Februari) penyaluran, baik langsung maupun tidak langsung. Ini terkait dengan irama tanam serentak yang menghasilkan panen yang ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).
Masalahnya, cadangan beras pada 31 Desember 2022 amat rendah, yaitu 326.643 ton. Jumlah ini jauh dari ideal yang sebesar 1,2 juta ton beras. Jumlah ini juga amat kecil dibandingkan stok awal satu dekade terakhir yang berkisar 1,3 juta-1,5 juta ton.
Stok yang amat kecil ini membuat pasar beras mudah sekali memanas. Bukan saja pemerintah tidak memiliki instrumen memadai, melainkan jumlah beras juga tak cukup untuk mengoreksi kegagalan pasar. Pelaku pasar dominan tiap saat bisa berspekulasi untuk mendapatkan keuntungan besar.
Impor beras 500.000 ton yang seharusnya tiba akhir 2022 baru rampung Februari 2023. Impor yang diharapkan mendinginkan pasar beras akhirnya tak terjadi. Pasar beras tetap ”panas”, yang tampak dari realisasi operasi pasar lewat beleid Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang mencapai 540.150 ton beras per 21 Maret 2023.
Dihitung dari Agustus 2022 hingga 21 Maret 2023, pasar sudah disuntik beras operasi pasar 1.544.657 ton. Jumlah yang amat besar. Periode 2014-2016, rerata operasi pasar hanya 177.823 ton beras per tahun. Akan tetapi, tanda-tanda harga beras turun belum tampak.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Daftar harga beras di salah satu toko beras di kawasan Kemandoran, Jakarta Selatan, Kamis (16/3/2023). Pemerintah memperbarui kebijakan tentang harga eceran tertinggi atau HET beras. Selain HET, pemerintah juga merevisi harga pembelian pemerintah atau HPP gabah dan beras. Melalui revisi ini, pemerintah berharap harga gabah di petani serta harga beras di pedagang dan konsumen berada di tingkat yang wajar.
”Obat kuat”
Satu-satunya ”obat kuat” tersisa buat meredam pasar beras yang memanas adalah panen raya pada Februari-Mei. Pada periode panen raya, produksi beras biasanya melimpah. Produksi serentak, kemampuan menyimpan gabah yang rendah, dan kebutuhan likuiditas petani yang tinggi sering kali harga gabah/beras jatuh saat panen raya.
Apalagi, periode itu biasanya berbarengan dengan musim hujan yang membuat petani sulit mengeringkan gabah. Harga gabah jatuh karena kualitasnya rendah. Akan tetapi, hingga minggu ketiga Maret 2023 harga gabah/beras terus meroket. Bagaimana anomali ini bisa dijelaskan?
Merujuk data BPS (Maret 2023), produksi Januari 2023 masih minus 1,2 juta ton untuk mencukupi konsumsi bulanan 2,53 juta ton beras. Surplus terjadi mulai Februari (0,32 juta ton beras) dan potensi surplus besar di Maret (2,84 juta ton) dan April (1,26 juta ton). Semula, dari hasil amatan Januari 2023, BPS memproyeksikan surplus Februari mencapai 1,17 juta ton, Maret 2,76 juta ton, dan April 1,0 juta ton.
Semua terjadi koreksi. Koreksi surplus terdalam terjadi di Februari, dari 1,17 juta ton jadi 0,32 juta ton (minus 850 ribu ton). Mengacu data ini adalah benar panen mulai Februari. Namun, koreksi produksi padi di Februari itu membuat surplus beras tidak memadai alias tidak nendang.
Gabah/beras hasil panen Februari dan Maret baru mengisi sebagian kecil pipa ( pipeline) distribusi, milik penggilingan dan pedagang beras yang kerontang karena terus terkuras sejak musim paceklik Oktober 2022.
Gabah/beras hasil panen Februari dan Maret baru mengisi sebagian kecil pipa (pipeline) distribusi, milik penggilingan dan pedagang beras yang kerontang karena terus terkuras sejak musim paceklik Oktober 2022. Karena pasar jauh dari jenuh, perebutan gabah/beras oleh pelaku pasar tidak terelakkan. Panen di satu wilayah akan diperebutkan, termasuk oleh pembeli dari luar wilayah, hingga terjadi fenomena ”gabah wisata”. Selain itu, dari panen hingga beras masuk ke pasar setidaknya perlu 3-4 minggu. Ini semua jadi penjelas yang benderang bahwa pasar beras memanas karena suplai (masih) terbatas.
Dalam kondisi demikian adalah sesuatu yang logis apabila kemudian Bulog tidak mampu memperbesar penyerapan produksi gabah/beras petani domestik. Tahun ini Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog menyerap beras domestik 2,4 juta ton, 70 persen di antaranya dilakukan kala panen raya Februari-Mei. Sebanyak 1,2 juta ton dari 2,4 juta ton beras diharapkan jadi stok akhir 2023. Menimbang kondisi saat ini, target itu mustahil digapai. Per 21 Maret 2023, penyerapan Bulog baru 42.180 ton. Karena Mei produksi diperkirakan hanya 2,11 juta ton beras, peluang penyerapan hanya tersisa di April 2023.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Buruh mengangkut beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (22/3/2023). Meski saat ini tengah memasuki musim panen raya pertama, stok beras Bulog per 20 Maret 2023 tinggal 220.000 ton dari jumlah ideal 1,2 juta-1,5 juta ton beras.
Dalam jangka pendek, opsi menggenjot penyerapan gabah/beras Bulog relatif tak tersedia. Langkah Badan Pangan Nasional dan Kemenko Perekonomian yang ”mengikat” penggilingan dan pedagang beras agar menyetor stoknya ke Bulog tak banyak membantu. Selain komitmennya kecil, hanya 60.000 ton beras, cara-cara ini tak ramah pasar. Kalau harga gabah kering panen (GKP) tinggi seperti saat ini, di atas Rp 6.000 per kg, pelaku usaha akan merugi. Mendorong Bulog menyerap beras lewat skema komersial juga hanya akan memperburuk keadaan yang sudah buruk, harga beras akan terkerek ke atas kian tinggi.
Dalam jangka menengah, Badan Pangan Nasional dan otoritas yang lain perlu memastikan produksi padi usai panen raya. Jika situasinya darurat, mau tidak mau harus dibuka opsi impor. Opsi ini selain sensitif dan mudah digoreng, juga tidak mudah untuk mendapatkan barangnya.
Berikutnya, Badan Pangan Nasional mesti merekonstruksi kebijakan perberasan yang compang-camping sejak 2016. Caranya, beleid yang terlalu berpihak ke konsumen dan pengendalian inflasi digeser menyantuni produsen dan stimulasi ekonomi perdesaan. Tujuannya, agar produksi yang terus menurun dan petani emoh tanam padi bisa direm. Lalu, memastikan penyaluran pasti beras Bulog di hilir sebesar kewajiban penyerapan. Kemudian, mengubah sistem penganggaran cadangan beras pemerintah dari pascabayar ke prabayar. Sistem prabayar saat ini hanya menjebak kita (selalu) impor.