Demokrasi dan pemilu memang penting. Namun, kita harus keluar dari konstruksi ide yang memandang pemilu dan demokrasi sebagai titik akhir dari proses bernegara. Pengawalan atas nilai dan pemaknaan pemilu lebih penting.
Oleh
FAIZ KASYFILHAM
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Supriyanto
Tulisan ini dipantik oleh pesan yang dikirim oleh seorang teman dalam sebuah grup Whatsapp (WAG). Teman saya, sebut saja Joki, dalam sebuah percakapan menyatakan tidak bisa menghadiri undangan pertemuan alumni dengan mengatakan ”Izin, harus fokus menepis isu penundaan pemilu”.
Meski dalam konteks guyon, pernyataan ini setidaknya menjadi ekspresi yang meresonansi penolakan terhadap penundaan pemilu, sebuah ekspresi yang sudah dilontarkan oleh banyak tokoh publik sebelumnya. Pernyataan ini menggambarkan ekspresi yang melihat pemilu sebagai ”event politik” yang fundamental, yang ”harus” terus dijaga dan dijalankan. Sebuah pernyataan yang secara implisit menjelaskan dominasi pola pikir esensialis yang terus mengagungkan pemilu dan demokrasi sebagai panacea dalam usaha menyejahterakan bangsa ini.
Wacana penundaan pemilu memang telah menyedot atensi publik hari-hari ini. Muncul beragam respons terkait wacana ini, ada yang mendukung, tetapi lebih banyak lagi yang menolak. Penolakan ini didorong oleh ketakutan akan adanya krisis kepercayaan publik atas konstitusi dan demokrasi elektoral. Jika krisis kepercayaan ini berlanjut, wacana penundaan pemilu dikhawatirkan akan berujung kepada deligitimasi atas demokrasi itu sendiri, sebuah payung ideologis yang disepakati bangsa kita.
Ketakutan-ketakutan di atas tidak terlepas dari konstruksi ide yang memandang pemilu dan demokrasi sebagai titik akhir dari proses bernegara. Jika sebuah negara dapat menerapkan pemilu dan demokrasi secara baik (berdasarkan variabel yang tentu bias Barat), negara tersebut dianggap sudah mengalami kemajuan dan secara diskursif telah diterima oleh negara-negara dunia karena ketertundukannya kepada norma-normal global.
Linieritas pola berpikir dalam melihat pemilu dan demokrasi di atas mencerminkan hegemoni perspektif modernisme yang sangat esensialis dan deterministik. Pola pikir ini membayangkan bahwa konsep seperti pemilu dan demokrasi merupakan konsep obyektif yang sudah final, yang jika terimplementasi dengan baik akan menjamin adanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Imajinasi ini dibentuk dengan menutup ruang kritis yang mempertanyakan konsep pemilu dan demokrasi, baik dari sisi ontologis maupun epistemologisnya.
Proses diskursif
Perlu kita pahami bahwa sejatinya konsep seperti pemilu dan demokrasi bukanlah sebuah konsep yang obyektif dan final. Konsep-konsep ini lahir dari pertarungan kepentingan dari aktor-aktor tertentu melalui proses diskursif. Jika merujuk kepada pemikiran post-struktural, konsep seperti demokrasi dan pemilu merupakan sebuah gagasan yang kosong atau mengambang. Hegemoninya terbentuk melalui pertarungan ideologis yang terbentuk dalam ruang-ruang diskursif.
Adapun jika demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang esensial dewasa ini, kondisi ini tidak terlepas dari kemenangan demokrasi dalam ruang diskursif. Sebuah kemenangan yang dibangun berdasarkan ketimpangan kuasa antar aktor dalam ruang politis yang semakin kehilangan sisi antagonismenya, terutama pasca-perang dingin.
Perlu kita pahami bahwa sejatinya konsep seperti pemilu dan demokrasi bukanlah sebuah konsep yang obyektif dan final.
Jika ada yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan jalan satu-satunya dalam menyejahterakan masyarakat, perlu juga jika tekankan bahwa ”kesejahteraan” juga bukan merupakan istilah yang netral. Definisi kesejahteraan sejatinya merupakan sebuah hasil normalisasi diskursus tertentu di periode tertentu, yang merefleksikan kemenangan hegemoni atas kepentingan tertentu.
Maka dari itu, tafsir kesejahteraan tidak terlepas dari kepentingan aktor yang berkuasa yang mendominasi proses pemaknaannya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah bangsa ini, pada masa Orde Lama, wacana kesejahteraan sangat disandarkan pada sektor pertanian dan kepemilikan tanah melalui reforma agraria. Dewasa ini pemaknaan atas kesejahteraan terus bergeser, yakni tanah justru dikuasai elite politik. Kita lihat saja bagaimana kepemilikan lahan di Ibu Kota Negara (IKN).
Oleh sebab itu, tulisan ini ingin mengingatkan bahwa konsep seperti demokrasi, pemilu, atau kesejahteraan sejatinya merupakan gagasan yang tidak terlepas dari adanya proses diskursif. Dominasi konsep ini telah mendislokasi berbagai konsep lainnya dalam pertarungan merebut hegemoni. Dominasi konsep ini merefleksikan kemenangan aktor-aktor tertentu yang secara implisit memiliki kepentingan-kepentingan praktis dalam menafsirkan berbagai kebijakan, event politik, atau hal lainnya yang sangat lekat dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sebagai akhiran, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak berniat untuk menolak atau mendukung wacana penundaan pemilu. Alih-alih, melalui tulisan ini saya mencoba mengkritisi konsep-konsep yang selama ini taken for granted secara epistemologis. Saya mengamini jika dikatakan bahwa demokrasi dan pemilu itu penting, tetapi kita harus keluar dari sudut pandang yang esensialis yang selalu membayangkan penyelenggaraan pemilu penting sebagai obat mujarab dalam usaha membangun bangsa ini.
Jika kita mau fokus berjuang, perjuangan itu bukan untuk pemilu atau demokrasi sebagai event atau ritual politik, melainkan perjuangan atas ruang politis dalam memperjuangkan nilai yang disematkan dalam pemilu dan demokrasi, seperti keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, dan sebagainya. Selain itu, perjuangan juga perlu diarahkan atas ruang politis dalam memaknai nilai-nilai tersebut.
Pengawalan atas ”nilai” dan ”pemaknaannya” jauh lebih penting daripada hanya fokus mengawal ritual politik itu sendiri. Selama dapat mengimplementasi nilai-nilai yang berdasarkan imaji kolektif masyarakat, ritual politik itulah yang dapat kita sepakati untuk dijalankan.
Faiz Kasyfilham, Peneliti di Research Centre for Politics and Government, DPP Fisipol UGM