Kemampuan menahan diri untuk tidak bermewah-mewah boleh jadi memang perlu terus diingatkan dan diajarkan di negeri ini, termasuk di sekolah-sekolah.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Imbauan tidak bermewah-mewah, bahkan larangan bagi pejabat atau aparatur sipil negara, terus disuarakan. Namun, banyak yang tidak kuasa melakukannya.
Hidup berkelebihan, tetapi sederhana, memang tidak mudah melakukannya. Filsuf Thomas Hobbes melihat manusia pada dasarnya makhluk rakus. Tak aneh jika hidup serba berlimpah, serba lebih, serba indah menjadi hasrat manusia. Setelah mendapatkannya pun sangat terikat padanya.
Mulai dari terbangun di pagi hingga tertidur di malam hari, berbagai kemewahan menggoda. Kasur, bantal, kamar mandi, baju, gaun, kosmetik, perhiasan, jam tangan, tas, telepon genggam, kendaraan, dan perlengkapan kantor tempat bekerja, hingga akhirnya pulang ke rumah idaman. Inginnya semua serba wah. Sinetron, film, atau iklan yang menggambarkan kemewahan pun selalu menarik perhatian.
Kemewahan juga mengandung kualitas. Sebab itu, tak ada yang salah menikmati kemewahan. Bagi sebagian orang, mendapatkan barang mewah malah memotivasi bekerja lebih keras. ”Saya membeli tas branded ini untuk menghargai kerja keras saya,” cerita seorang perempuan eksekutif. Sejumlah ahli perilaku meyakini, manusia memang sulit memotivasi diri sendiri. Insentif bisa memacu manusia menjadi lebih produktif, selain sanksi.
Kemewahan menjadi masalah saat didapatkan dengan cara-cara koruptif. Melekat di ingatan, pernah ada seorang menteri yang saat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi sepulang dari Honolulu, Amerika Serikat, kedapatan membawa banyak barang mewah. Belanjaan itu ternyata dibeli dari uang suap perizinan benih ekspor lobster. Padahal, jutaan nelayan yang dipimpinnya membeli makan cukup gizi saja masih sulit.
Kasus seperti ini tidak berkurang, malah kian merajalela. Belakangan ini pun banyak pejabat yang disorot warganet. Kemewahan bahkan dipamerkan di media sosial tanpa tedeng aling-aling di tengah kesenjangan ekonomi yang masih menganga. Pamer kemewahan di media sosial bahkan semakin menjalar dan sudah menjadi kebiasaan banyak orang.
Pandangan pakar perilaku lain meyakini, manusia sesungguhnya memiliki kekuatan motivasi intrinsik. Manusia mampu mengendalikan diri. Karena itu, di bulan Ramadhan ini, kita pun kembali diingatkan tentang pentingnya menahan diri. Sebelumnya, umat Hindu pun merayakan Nyepi.
Kemampuan menahan diri untuk tidak bermewah-mewah boleh jadi memang perlu terus diingatkan dan diajarkan di negeri ini, termasuk di sekolah-sekolah. Pendiri negeri ini, Mohammad Hatta, adalah salah satu teladannya.
Teringat juga cerita Ingvar Kamprad, pendiri perusahaan furnitur dunia IKEA. Sebagai miliarder, dia hidup sederhana, masih sering menggunakan kendaraan umum. Saat hendak masuk ke perhelatan eksklusif pemberian penghargaan di hotel mewah di Swedia, dia pun sempat ditolak petugas karena turun dari bus umum. Padahal, dialah yang akan menerima penghargaan bergengsi itu. Mereka yang sungguh hebat justru menunjukkan kesederhanaan.