Spurs adalah paradoks. Meskipun memiliki sejumlah pemain berkelas dunia, seperti Harry Kane, dan diasuh manajer ambisius, Antonio Conte, mereka tak kunjung meraih trofi. Conte pun di ujung tanduk sebagai tumbal.
Oleh
E TARU GURITNA
·4 menit baca
AFP/JUSTIN TALLIS
Ekspresi kekecewaan penyerang Tottenham Hotspur, Richarlison, seusai menghadapi AC Milan pada laga pertemuan kedua babak 16 besar Liga Champions Eropa di Stadion Tottenham Hotspur, London, Inggris, Kamis (9/3/2023) dini hari WIB lalu. Spurs tersingkir dengan agregat 0-1.
Pekan lalu, Manajer Tottenham HotspurAntonio Conte berang bukan kepalang kepada skuadnya. Untuk kesekian kalinya, klub sepak bola Liga Inggris dari London utara itu gagal menang setelah sempat unggul. Terakhir, mereka ditahan 3-3 oleh Southampton yang notabene adalah juru kunci klasemen di liga tersebut.
Meskipun skuadnya tidaklah semewah Spurs, yang memiliki barisan pemain berkelas dunia, Southampton sejatinya kesebelasan die hard. Mentalitas tim dari klub berjuluk ”The Saints” itu dinilai jauh lebih kuat ketimbang para pemain Spurs.
Manajer Southampton Ruben Selles mengatakan, pemainnya bertarung layaknya menghadapi laga final dalam 10 pertandingan terakhir. Tidak ada waktu untuk berleha-leha karena ancamannya degradasi!
Hal itu kontras dengan Spurs yang sering kali gagal menang di laga krusial. Pekan sebelumnya, mereka gagal lolos ke perempat final Liga Champion Eropa karena ditahan AC Milan di London, 0-0, dan kalah agregat gol (0-1). Di ajang lain, Piala FA, kans Spurs untuk juara pun sudah musnah karena dikalahkan Sheffield United, 1-0, di babak kelima. Artinya, mengulang tahun-tahun sebelumnya, ”Si Lili Putih” harus memperpanjang penantian akan trofi juara.
AFP/MARCO BERTORELLO
Ekspresi Manajer Tottenham Hotspur Antonio Conte saat menghadiri konferensi pers di Stadion San Siro, Milan, Italia, 13 Februari 2023, menjelang pertandingan pertama babak 16 besar Liga Champions antara AC Milan dan Tottenham Hotspur. Spurs lantas tersingkir dengan agregat 0-1.
Padahal, skuad Spurs bukanlah kaleng-kaleng. Striker mereka, Harry Kane, misalnya, adalah salah satu yang terbaik di dunia saat ini. Namun, lantaran tak pernah juara, pemilik rekor gol terbanyak tim nasional Inggris dengan 54 gol dari 81 laga itu disindir pundit ternama, Jamie Carragher.
”Mungkin, Kane bisa menjadi legenda dengan menjadi top scorer sepanjang masa tanpa pernah juara Liga Inggris. Kalau mau merasakan arti juara, Kane semestinya pindah,” ujar Carragher suatu ketika.
Selain Kane, Spurs juga diberkahi talenta hebat lain, seperti Son Heung-min yang merupakan bintang Asia. Mereka juga dibela barisan juara dunia, seperti kiper Hugo Lloris dan bek Christian Romero. Tak ketinggalan, mereka dilatih Conte, pengoleksi banyak trofi juara baik di Liga Italia maupun Liga Inggris.
Saya menyaksikan sejumlah pemain egois, tak mau membantu satu sama lain dan tampil sungguh-sungguh. Padahal, selain taktik dan teknik, sepak bola punya aspek penting lain, yaitu gairah.
Maka, Spurs adalah paradoks. Sejarah mencatat, alumni mereka justru sukses ketika pergi. Gareth Bale, misalnya, berjaya bersama Real Madrid dengan raihan lima trofi Liga Champions dan tiga gelar Liga Spanyol. Pelatih ternama, Jose Mourinho, meraih trofi Liga Konferensi Eropa (bersama AS Roma) setelah dibuang Spurs.
Tidak ada respek
Menurut Conte, salah satu masalah di Spurs adalah tidak adanya respek terhadap suporter. ”Saya menyaksikan sejumlah pemain egois, tak mau membantu satu sama lain dan tampil sungguh-sungguh. Padahal, selain taktik dan teknik, sepak bola punya aspek penting lain, yaitu gairah. Itu adalah api yang perlu Anda miliki di mata dan hati,” ujar Conte dikutip Reuters.
Jadi, menurut Conte, para pemainnya seperti tidak punya gairah untuk menang. Situasi itu telah lama dan masih terus terjadi saat ini. Padahal, menurut Profesor Dimyati, pengamat ilmu psikologi olahraga, pemain dan pelatih harus dalam satu frekuensi yang sama untuk bisa sukses. Adapun dalam kasus Spurs, pelatih dan para pemainnya saat ini terlihat tidak lagi dalam satu frekuensi.
Conte tampaknya sudah kehilangan kesabaran. Sebagai orang Italia, bagi Conte, kemenangan dalam sepak bola lebih dari sekadar permainan. Itu bagian dari kehidupan.
Taktik catenaccio, yang khas Italia, misalnya, dilandasi filosofi, ”Jangan sampai kalah, meski kamu dihajar sepanjang laga. Cari satu kesempatan memukul lawanmu dan menangi pertandingan!” Conte memahami filosofi itu, meskipun sebetulnya ia juga menyukai pakem sepak bola ofensif.
AFP/ADRIAN DENNIS
Manajer Tottenham Hotspur Antonio Conte memberikan instruksi kepada para pemain saat menghadapi Southampton pada laga Liga Inggris di Stadion St Mary, Southampton, 18 Maret 2023. Laga itu berakhir imbang, 3-3.
Baginya, semua harus dimulai dari rapatnya pertahanan. Catenaccio itu laksana gerendel. Semua harus bisa dikunci, tak ada celah bagi yang tidak fokus dalam berlaga. Maka, ia sangat kesal jika pemainnya kehilangan fokus dan kebobolan di menit-menit akhir laga. Menurut Conte, dia sudah melakukan segala cara. Namun, ia lelah karena pendekatan yang dilakukannya tidak berhasil mengangkat prestasi Spurs. Padahal, resep serupa berhasil diterapkan di Chelsea, Inter Milan, dan Juventus.
Pengkritiknya mengatakan, Italia bukan Inggris, London bukan Milan! Namun, lihat tetangga sebelah, Arsenal, yang sudah lebih dari 10 tahun tidak pernah meraih gelar juara liga. Mereka kini mantap memuncaki klasemen dengan keunggulan 20 poin dari Spurs. Perbedaan poin itu adalah rekor baru dan mungkin akan menjadi bahan ejekan baru pendukung ”The Gunners” dalam rivalitas derbi London utara.
Lalu, apa yang mesti dilakukan Spurs untuk bisa juara? Tidak ada yang mudah dijalani Spurs jika ingin membangun mental juara. Bisa jadi, masalah saat ini adalah karma dari ulah manajemen klub yang acap kali mengulangi hal yang sama, yaitu memecat pelatih top dan berharap hasil berbeda. Padahal, mengutip Albert Einstein, itu hanya kegilaan!
Sudah saatnya para pemain dan manajemen Spurs melakukan refleksi, melihat kembali makna logo yang tersemat di dada jersei mereka. Kata Hotspurs diambil dari julukan untuk Henry Percy, kesatria abad pertengahan yang lincah dan tangguh. Ia layaknya ayam jago yang bertaji, tiada takut melawan musuh. Kebanggaan itulah yang semestinya dijaga martabatnya oleh pemain saat mengenakan jersei Spurs.
E Taru Guritna, Sekretaris Ikatan Psikologi Olahraga