Bolehlah kalian bosan menghadiri acara-acara yang pengantar protokolernya kerap membosankan itu, tetapi ingatlah fungsinya: menggapai totalitas ideal. Bukankah ini sesuatu yang elok pada Indonesia?
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
HERYUNANTO
Jean Couteau, Penulis Udar Rasa
Saya yakin bahwa Anda, pembaca setia saya ini, sudah biasa menghadiri acara resmi kecil-besar negeri ini, artinya sudah biasa dengan ”tata cara protokoler” pembukaan acara. Bahkan, saking sering diulang-ulang, bisa jadi tidak diperhatikan lagi oleh kalian.
Menjadi bagian dari perilaku yang ada begitu saja, tanpa terpikirkan lagi. Kecuali apabila diajak, atau diwajibkan berbicara pada salah satu acara itu…. Ketika itu, tak boleh keliru dalam meruntut kalimat-kalimat protokoler pidato Anda, kecuali apabila status sosial Anda memberikan Anda keleluasaan untuk melanggar aturan. Sedikit saja sambil bercanda, ha-ha-ha....
Apa arti terselubung dari tata cara itu? Mari kita menyelisiknya. Siapa tahu kita bisa mengungkap sesuatu yang menarik.
Awal acara selalu sama: pengucapan salam sesuai dengan agama para hadirin. Kalau hadirin Islam, pembukaan adalah assalamualaikum…. Kalau hadirin Hindu, om swastiastu.... Kalau Kristen shalom, dan lain-lain. Kalau agama para hadirin beraneka ragam, semua rumus agama diucapkan secara berturut-turut. Maka, sejauh ini kita mencatat apa? Bahwa acara harus berlangsung di bawah naungan agama, tetapi bukan agama sebagai pernyataan perbedaan identiter, melainkan sebagai pernyataan persamaan di bawah naungan-Nya.
Habis seruan agama di atas, datanglah penghormatan. Kepada siapa? Gubernur, raja, camat, lurah, kepala LPD. Rumusnya cukup kaku, misalnya, ”Bapak Camat yang terhormat….” Tak boleh meleset. Maklum dia penguasa negeri. Habis penguasa negeri, datang giliran siapa? Orang-orang kuat (politikus beken, aristokrat setempat, orang superkaya). Contohnya, ”Bapak Suprapto yang saya hormati….”
Lalu menyusul mereka yang berembel-embel, dari atas ke bawah, rektor, profesor doktor, SH, drs, dan lain-lain. Di sini kita harus hati-hati. Boleh keliru kalau menambah gelar pada orang yang disebut dan dihormati itu, tetapi jangan gelar lengkap tak disebut pada rektor. Bisa berabe.
Namun bagaimanapun, embel-embel akademis adalah pertanda demokratisasi: prestise para profesor doktor itu mulai menandingi prestise para penguasa negeri dan juragan tembakau. Maklum, siapa tidak senang ketika disebut namanya dibumbui gelar. Cukup melihat bagaimana wajah saya berbinar setiap kali saya disebut sebagai Dr Jean Couteau, ”budayawan yang di tengah kita” itu.
Belumlah selesai. Seusai daftar orang terhormat, datanglah giliran orang lain: wong cilik, atau siswa-siswa. Penerima perintah. Mereka ini sering kali tidak dialamatkan rasa hormat, tetapi rasa cinta. Menarik, kan? ”Dilindungi”.
Lebih menarik lagi jika ditilik dari sedikitnya dua sudut yang berlawanan: sudut sosiologis ”Barat” dan sudut spiritual Indonesia.
Dari sudut pertama, tata protokoler acara di atas tampil sebagai upaya untuk membekukan stratifikasi sosial. Saking sering urutan pernyataan kehormatan diulang-ulang, dari acara satu ke acara lain, stratifikasi sosial terkait tampak sebagai keniscayaan yang tak terbantahkan. Apalagi ditopang oleh agama, yang seolah-olah berfungsi mengesahkan perbedaan status. Bukankah hal ini memperlemah kritik sosial dan menguntungkan lapisan atas.
Namun, apabila dipandang dari sudut hakikat kultur Indonesia, tafsirnya sama sekali lain. Yang pokok dan yang ditekankan di dalam tata acara di atas adalah menisbikan dan melampaui segala perbedaan yang ada: perbedaan agama, suku, dan kelas, dan dengan demikian menghasilkan bukan sekadar persatuan sosial, melainkan, lebih jauh, penunggalan masyarakat dengan Ilahi.
Kecenderungan orang Indonesia dan khususnya masyarakat Jawa untuk mengedepankan Ilahi dengan menisbikan kelas sosial dan menyakralkan kekuasaan adalah sesuatu yang berakar dalam. Sedari zaman Airlangga, titisan Wisnu itu. Di Jawa, manunggalnya Kawula-Gusti selalu diseru-serukan. Yaitu yang penting bukanlah perbedaan kelas, agama, suku, dan lain-lain, melainkan totalitas masyarakat dan bangsa. Bukankah Pancasila juga menyublimkan status quo sosial politik dalam seruan kepada Tuhan.
Maka, teman-teman, bolehlah kalian bosan menghadiri acara-acara yang pengantar protokolernya kerap membosankan itu, tetapi ingatlah fungsinya: menggapai totalitas ideal. Bukankah ini sesuatu yang elok pada Indonesia?
Sangat elok, memang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Indonesia harus abai terhadap keperluan keadilan sosial, yang ditekankan oleh sosiologi Barat di atas. Kalau abai, totalitas ideal bisa pecah berkeping-keping. Maka waspadalah di dalam mengejar totalitas, teman-teman.