Masyarakat kita ditandai oleh kesenjangan kemakmuran dan jenjang-jenjang kelas sosial. Terjadi pertarungan kepentingan antarkelas, masing-masing dengan identitas kelas yang berbeda.
Oleh
Ariel Heryanto
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Ariel Heryanto
Apa yang paling serius, tapi luput disorot dari kontroversi gaya hidup mewah sebagian pejabat? Bukan soal berlimpahnya harta mereka atau sah-tidaknya harta itu. Bukan profesi mereka sebagai aparatur sipil negara (ASN). Tapi ini: apakah pamer kemewahan itu sendiri bisa dihindarkan? Perlukah dicela?
Presiden bersama Menpan dan RB melarang ASN pamer kemewahan. Larangan itu wajar jika ASN pamer kemewahan ketika menjalankan kerja dinas. Tapi ASN punya kehidupan pribadi di luar waktu dan tempat kerja. Juga keluarga mereka. Masa gaya hidup pribadi mereka diatur negara?
Seandainya semua ASN tidak lagi pamer kemewahan, apa masalahnya selesai? Jika ASN sudah pensiun, bebaskah mereka pamer kemewahan? Bagaimana hak bergaya hidup bagi sisa penduduk negeri ini yang non-ASN?
Yang digugat oleh sebagian pihak bukan pamer kekayaan, melainkan keabsahan harta pejabat. Jika soalnya sesederhana itu, masalahnya pudar apabila terbukti tidak ada penyelewengan di balik berlimpahnya harta mereka. Kalaupun ada penyelewengan, apakah semua jadi beres sesudah pelakunya diberi sanksi setimpal? Dalam bahasa Orde Baru, mereka hanya ”oknum”?
Ada dua soal mendasar dan lebih serius ketimbang yang selama ini menonjol dalam debat pamer kemewahan. Pertama, mungkinkah manusia menjadi mahakaya tanpa gairah pamer kemewahan? Apakah pamer gaya hidup itu sendiri hal tercela, terlepas dari soal siapa pelakunya, apa profesi mereka, atau bagaimana harta untuk bergaya itu diperoleh? Kalau tidak, mengapa?
Kedua, peluang hidup bermewah-mewah tidak pernah merata. Sejarah sosial adalah sejarah ketimpangan. Segelintir warga hidup mewah turun-temurun tanpa kerja keras. Yang lain bekerja di berbagai bidang dan lokasi yang dihindari sesama warga karena berbahaya, terhina atau sulit. Mereka tetap saja miskin turun-temurun.
Kedua soal itu perlu disimak lebih jauh satu per satu. Biasanya orang pamer kemewahan untuk dikagumi. Tapi niat itu malah bisa mengundang cemooh publik. Itu risiko yang ditanggung pelaku. Pilihan gaya hidup mereka tetap menjadi hak pribadi mereka. Tak perlu dimusuhi, apalagi dilarang. Bagi yang tidak suka, diabaikan saja.
Pamer kemewahan sangat manusiawi. Setiap orang punya gairah pamer diri atau kehidupan di sekitarnya. Yang dipamerkan tidak selalu kemewahan. Ukuran mewah juga tidak sama untuk kalangan berbeda. Naluri manusiawi untuk pamer diri menjadi salah satu kunci suksesnya industri media sosial.
Banyak orang kecanduan interaksi media sosial. Bukan kecanduan pada teknologi digital itu sendiri, tetapi pada nikmatnya pamer seluk-beluk diri sendiri lewat teknologi itu. Kecanduan ini berjangkit di berbagai kalangan dari latar-belakang ekonomi, etnis, usia, agama, bahasa, dan profesi beraneka.
Dalam masyarakat kapitalis yang sudah mendunia, semua orang didorong kerja keras dan hidup makmur. Masyarakat juga didorong berbelanja sebesar-besarnya agar memacu pertumbuhan ekonomi. Ada yang menyebut kemakmuran sebagai hasil pembangunan. Yang lain mensyukuri sebagai berkat dari Tuhan. Bukannya dilarang, kemewahan malah dirayakan dalam iklan, acara hiburan, upacara resmi keluarga, adat dan lembaga.
Buat apa jadi orang kaya jika tidak boleh hidup mewah? Kira-kira begitu perasaan terdalam kaum hartawan atau yang baru bermimpi jadi superkaya. Masalahnya, tidak semua orang mampu, walau mau. Akibatnya serius. Maka soal mendasar yang kedua, yaitu ketimpangan, perlu disimak lebih jauh.
Tidak ada timbunan harta berlimpah dari upaya individu. Harta yang berlimpah bersumber dari proses berliku dalam sebuah tata sosial. Celakanya, tata sosial kita ini sangat timpang dari tingkat lokal hingga global. Yang kaya semakin kaya. Jumlah mereka mengerucut semakin sedikit. Jika dilacak, kekayaan mereka mengalir deras dari hasil keringat, air mata bahkan nyawa kaum miskin yang jumlahnya semakin membengkak.
Ketimpangan itu tak terelakkan, berkat berfungsinya sebuah tata masyarakat yang tidak adil. Bukan karena oknum pejabat yang korup. Yang mahakorup tata sosialnya. Semakin taat semua warganya mematuhi aturan dan bekerja keras, semakin melebar kesenjangan itu. Sebab aturan dan hukum itu sendiri berpihak pada kaum elite.
Masyarakat kita ditandai oleh kesenjangan kemakmuran dan jenjang-jenjang kelas sosial. Terjadi pertarungan kepentingan antarkelas, masing-masing dengan identitas kelas yang berbeda. Sosok kelas sosial itu sering sulit dikenali karena dibalut atau berkelindan dengan identitas agama, ras, etnisitas, jender atau kebangsaan.
Kejayaan kelas atas hanya dimuliakan jika mereka berhasil menguasai tidak hanya hukum atau ekonomi. Mereka juga harus menguasai selera budaya masyarakat. Itu sebabnya, raja-raja mengangkat pujangga keraton. Kini presiden membina influencer.
Identitas kelas dinyatakan dalam berbagai bentuk, termasuk gaya hidup. Gaya hidup mewah berfungsi mengukuhkan identitas kolektif sesama kelas-atas. Sekaligus menjaga jarak dari kelas bawah dan kelas menengah yang hanya bisa berangan-angan suatu hari bisa naik status ke kelas atas.
Gaduh publik soal pamer kemewahan belakangan ini menunjukkan gagalnya kelas atas menguasai selera, budaya, dan moralitas publik. Terjadi letupan frustrasi kelas menengah yang tidak berdaya diimpit kelas atas dan kelas bawah. Gejala ini terjadi berkali-kali dalam sejarah.
Di masa kolonial, pemerintah berupaya meredam frustrasi masyarakat dengan politik etis. Bukan mengakhiri kolonialisme. Di masa Orde Baru, terjadi ledakan kaum kaya baru dan kaum miskin urban. Panik menghadapi gejala yang disebutnya ”kecemburuan sosial”, pemerintah membuat kebijakan ”pola hidup sederhana” yang sejak awal sudah jelas bakal gagal. Kini untuk meredam keresahan publik, pemerintah memecat ”oknum” pejabat sebagai tumbal.
Tahun 1990-an konglomerat dan pejabat negara Orde Baru berbondong-bondong membaca puisi di ruang publik. Tampil sok berbudaya untuk menarik simpati. Kini tersedia kosmetika baru untuk merias kemakmuran elite jika khawatir disorot publik, yakni tampil bergaya religius. Maka ketimpangan sosial lolos dari perhatian publik.
Ariel Heryanto
Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia