Kebijakan terkait kualitas pendidikan hendaknya menyasar pada sejauh mana para guru mengoptimalkan perannya sebagai teman seperjalanan bagi para muridnya dalam rangka menumbuhkembangkan potensi, bakat, dan minat murid.
Oleh
THIO HOK LAY
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Maksud baik Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat untuk membentuk generasi muda unggul yang disiplin dan memiliki etos belajar yang tinggi yang selanjutnya mewujud melalui kebijakan mewajibkan siswa SMA masuk sekolah pukul 05.00 Wita menuai aneka komentar di ruang publik. Ada yang pro, tak sedikit pula yang kontra.
Berkaca dari kejadian tersebut, sebagai bagian dari insan pendidik (guru), penulis merasa perlu mengajukan pertanyaan reflektif ke ruang publik tentang ”Sekolah seperti apa yang dibutuhkan masyarakat?” Hanya saja, akan menjadi lebih proporsional dan berimbang apabila secara paralel pertanyaan tersebut dibarengi dengan pertanyaan sepadan, yakni ”Masyarakat seperti apa yang dibutuhkan sekolah.”
Dua pertanyaan yang serupa, tetapi tak sama tersebut berangkat dari perspektif yang berbeda. Pertanyaan pertama lebih menitikberatkan pada harapan masyarakat sebagai pengguna jasa atas layanan prima sekolah. Sementara pertanyaan kedua lebih condong pada idealisme sekolah sebagai institusi pendidikan yang berorientasi pada pembangunan kualitas sumber daya manusia yang unggul (cerdas), berakhlak mulia, serta merdeka secara lahir dan batin sebagaimana konsep pengajaran dan pendidikan nasional yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Biesta (2022) dalam bukunya, World-Centred Education, menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi karya dan pelayanannya, sekolah sebagai institusi pendidikan diperhadapkan pada dua tuan. Pertama, masyarakat sebagai pengguna jasa yang cenderung menuntut. Kedua, kemandirian sekolah menjalankan fungsinya perlu steril, bebas dari intervensi masyarakat.
Sekiranya disikapi dengan arif bijaksana, kedua perspektif tersebut seyogianya tak perlu dipertentangkan sehingga melahirkan ketegangan-ketegangan yang justru kontraproduktif mengingat keduanya sama-sama mengharapkan kebaikan (kemajuan) bagi peningkatan kualitas anak murid sebagai anak-anak bangsa.
KOMPAS
Penerapan jam belajar mulai pukul 05.30 diberlakukan di 10 SMA dan SMK di Kota Kupang sejak Senin 27 Maret 2023. Kebijakan itu merupakan perintah Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat. Viktor berargumen, dengan belajar lebih pagi, prestasi siswa akan lebih baik. Selain itu, etos kerja anak juga semakin meningkat.
Harapan masyarakat
Harapan masyarakat dan kemandirian sekolah berjumpa melalui proses belajar-mengajar (PBM) yang bermutu. Perlu diingat dan disadari bahwa kualitas pendidikan bukanlah sekadar obsesi perihal pencapaian skor tinggi dan prestasi sekolah guna menghantar anak didiknya untuk masuk ke kampus unggulan.
Sebaliknya, apakah para peserta didik telah mendapatkan pelajaran yang bermutu dari guru yang bermutu? Apakah melalui PBM yang dialami, nilai-nilai keutamaan dan karakter unggul pada diri setiap peserta didik turut serta mengalami pertumbuhan dan perkembangan?
Sebaliknya, apakah para peserta didik telah mendapatkan pelajaran yang bermutu dari guru yang bermutu?
Melalui PBM yang bermutu, guru senantiasa mendorong dan membantu anak murid meluaskan wawasan guna mendapatkan perspektif serta membuat koneksi antara bakat, minat, dan potensi personal yang dimiliki oleh anak murid dengan dunia ini. Mengingat anak murid bukanlah obyek yang hanya perlu diperlengkapi dengan ragam kompetensi dan keterampilan (kualifikasi), mereka adalah subyek insan manusia yang membutuhkan orientasi dalam dan dengan dunia ini (Biesta, 2022).
Ringkasnya, bagaimana nanti guru mengajar akan jauh lebih penting daripada apa yang diajarkan. Keterampilan yang dimiliki guru dalam mengajar (teaching) hanyalah akan menjadi bermakna apabila diikuti dengan semakin berkembangnya kapasitas murid dalam belajar (learning).
Untuk itu, sekolah sebagai institusi pengajaran dan pendidikan perlu menciptakan komunitas pembelajar yang sehat, ditandai berdenyut dan berdetaknya aneka aktivitas edukatif di sekolah. Pula, para pengajar dan pendidik (guru) perlu menjadi teladan hidup bagi anak-murid dalam hal mengasah kemampuan dan keterampilan diri. Setiap hal baik yang diharapkan untuk dilakukan oleh anak-murid, terlebih dahulu harus dipraktikkan oleh gurunya mengingat dalam proses tumbuh kembang anak berlaku prinsip anak melihat, anak melakukan (children see, children do).
Sebagai ujung tombak mencerdaskan kehidupan bangsa, kompetensi keilmuan dan keterampilan pedagogik guru perlu senantiasa diasah dan dirawat agar tidak menjadi tumpul dan berkarat. Secara cerdas dan kreatif, guru perlu merancang aneka aktivitas edukatif yang mampu menstimulus dan memberdayakan anak-murid untuk menggali, menemukan, dan menumbuhkembangkan setiap potensi, bakat, minat, dan keotentikan dirinya.
Dengan demikian, menjadi kontekstual dan relevan bagi masyarakat dan bagi sekolah apabila kebijakan terkait kualitas pendidikan menyasar pada sejauh mana para pendidik (guru) mengoptimalkan perannya sebagai teman seperjalanan bagi anak-anak murid dalam rangka menumbuhkembangkan potensi, bakat, dan minat diri murid. Sebab, nanti kesuksesan perjalanan masa depan anak-murid akan ditentukan oleh potensi dan kualitas dirinya dan bukan oleh gurunya.
Hari-hari ini, anak-anak murid dan masyarakat di seluruh pelosok penjuru negeri merindukan dan menantikan kehadiran guru-guru yang berkualitas hadir di ruang-ruang kelas guna menjumpai, menyapa, serta sejenak menenangkan kegelisahan anak-murid dalam menatap dan menyongsong masa depan, lengkap dengan segala problematika dan kompleksitas tantangannya.
Masyarakat membutuhkan sekolah dengan tenaga pengajar dan pendidik (guru) yang mampu dan mau dengan setulus dan sepenuh hati memberikan pikiran, tenaga, dan waktu untuk menuntun anak murid dalam upaya pencarian dan penemuan atas setiap potensi, bakat, minat, serta tumbuhnya karakter unggul dan akhlak mulia. Dalam hal inilah, peran guru sebagai edukator tak akan pernah bisa tergantikan oleh teknologi secanggih dan semodern apa pun.
Thio Hok Lay, Teaching Learning Curriculum Department Sekolah Citra Kasih, Jakarta