Mengawasi Pengelolaan Keuangan Negara
Jaminan hak atas informasi belum jadi kesadaran kolektif. Pejabat publik belum terbiasa dengan keterbukaan informasi dan cenderung merahasiakannya dengan alasan rahasia negara dan rahasia jabatan. Butuh komitmen.
Terungkapnya kasus harta kekayaan yang dinilai tak wajar milik Rafael Alun Trisambodo, pegawai di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, mengejutkan banyak pihak.
Harta Rafael Alun Trisambodo (RAT) mencapai Rp 56 miliar, jumlah yang teramat fantastis untuk seorang pejabat eselon III. Kasus ini menjadi pukulan telak bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sekaligus mengingatkan kita perlunya pengawasan berlapis terhadap pengelolaan keuangan negara.
Ibarat kotak pandora, penyelidikan terhadap kasus RAT menyingkap aneka kebobrokan lain di lembaga ini. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi transaksi tak wajar RAT dengan nominal mencapai Rp 500 miliar. PPATK kemudian memblokir 40 rekening milik RAT dan keluarganya.
Persoalan bertambah masif dengan tersingkapnya kasus pamer harta oleh Kepala Bea dan Cukai DI Yogyakarta Eko Darmanto, parade kemewahan oleh geng motor gede para pejabat, banyaknya pejabat yang rangkap jabatan sebagai komisaris di sejumlah BUMN, dan tidak transparannya pejabat dalam memberikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN juga mencopot jabatan Kepala BPN Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra, menyusul pamer kemewahan yang dilakukan istrinya. Sorotan publik juga diarahkan pada seorang pegawai Sekretariat Negara, Kepala Bea Cukai Makassar, dan Sekda Riau karena istri dan/atau anak mereka kerap pamer harta dan gaya hidup mewah.
Baca juga : Fantasi Kekuasaan dalam ”Flexing”
Terkini, Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan indikasi transaksi tak wajar yang diduga terkait pencucian uang senilai Rp 349 triliun di Kemenkeu. Tindakan tegas dan cepat Sri Mulyani memberhentikan RAT dari jabatannya patut diapresiasi. Begitu pula tampilan publiknya yang berusaha menjelaskan berbagai persoalan dan upaya pembenahan internal, tentu amat positif.
Sri Mulyani juga sudah menggandeng KPK dan PPATK untuk memastikan pembenahan di Kemenkeu berjalan optimal agar lebih baik di masa depan. Namun, itu semua dirasakan jauh dari cukup karena tidak menyentuh akar persoalan, yakni lemahnya budaya keterbukaan informasi dalam pengelolaan keuangan negara.
Sulit dihindari bahwa semua langkah Sri Mulyani sifatnya reaktif belaka, bahkan terkesan sekadar membangun citra baik akibat gempuran badai kritik publik yang begitu kecewa terhadap kasus ini. Wajar pula kalau muncul pertanyaan liar soal kepatuhan membayar pajak kalau toh akhirnya disalahgunakan. Reputasi Kemenkeu sebagai bendahara negara dihadapkan pada ujian teramat berat.
Keterbukaan informasi
James Madison, salah satu perumus konstitusi AS, mengatakan bahwa pemerintahan bentukan rakyat tanpa informasi untuk rakyat atau cara untuk mendapatkannya tidak lain dari pembukaan untuk sebuah lelucon atau sebuah tragedi, atau kedua-duanya (Pope, 2002: 428). Itu berarti informasi menjadi oksigen bagi pemerintahan dalam mewujudkan pelayanan publik yang mudah, murah, dan berkualitas.
Merebaknya kasus-kasus korupsi menjustifikasi apa yang diingatkan Madison. Lelucon dan tragedi yang berakar pada tertutupnya birokrasi kerap berulang. Lelucon karena di mimbar publik para elite menggaungkan antikorupsi, tetapi di balik layar berbagai kreasi curang terus bermunculan. Ujungnya adalah narasi tentang nestapa negeri karena begitu banyak aset negara dikonversi menjadi harta pribadi.
Dihadapkan pada situasi ini, Madison mengingatkan untuk terus membudayakan keterbukaan informasi. Baginya, pengetahuan akan menindas ketidaktahuan. Agar rakyat tetap menjadi kekuatan kontrol, hak untuk memperoleh informasi (the right to know) wajib dijamin negara. Rakyat yang terinformasi secara baik akan jadi kekuatan kritis sehingga mampu mencegah berbagai potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Pentingnya keterbukaan informasi sudah menjadi kesadaran global. Laporan Sekjen PBB tahun 2017 menyebutkan ada 109 negara yang mengatur soal hak atas informasi dalam bentuk UU. Di Tanah Air, kesadaran serupa tecermin dari Pasal 28F UUD 1945 yang secara tegas mengatur pentingnya hak atas informasi sebagai hak asasi yang amat berperan untuk pengembangan diri dan lingkungan sosial. Pengaturan lebih komprehensif terdapat dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dihadapkan pada situasi ini, Madison mengingatkan untuk terus membudayakan keterbukaan informasi. Baginya, pengetahuan akan menindas ketidaktahuan.
Kehadiran UU ini membuat pelayanan informasi tidak lagi bersifat sukarela (voluntary) sebab bersifat subyektif dan terbukti kurang efektif. Sebaliknya, UU ini menetapkan standar dan praktik-praktik yang harus ditaati lembaga negara dan BUMN/BUMD demi menggaransi realisasi hak publik atas informasi.
Secara reguler lembaga negara dan BUMN/BUMD telah berjuang untuk mewujudkan budaya keterbukaan informasi. Setiap lembaga berjuang mencapai Predikat Informatif dalam proses pemonitoran dan evaluasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat. Informatif berarti pelayanan informasi oleh lembaga publik sudah berjalan baik sehingga berbagai program, aktivitas, dan hasil-hasilnya, termasuk LHKPN, sudah bisa diakses publik.
Meski demikian, budaya keterbukaan informasi masih jauh dari harapan. Riset Mazhar Siraj (2010) menyebutkan, sebanyak 43 persen dari negara-negara yang telah memiliki UU keterbukaan informasi tak cukup menyediakan akses informasi bagi publik. Lembaga-lembaga itu juga belum memiliki konsep dan definisi tepat tentang hak informasi publik yang justru merapuhkan manfaat dan tujuan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
Kondisi yang sama terjadi di Tanah Air. Jaminan hak atas informasi belum jadi kesadaran kolektif. Pejabat publik belum terbiasa dengan keterbukaan informasi dan cenderung merahasiakannya dengan alasan rahasia negara dan rahasia jabatan. Padahal, UU keterbukaan informasi tegas melarang penutupan informasi tanpa alasan jelas.
Lemahnya pelayanan informasi ini menjerumuskan banyak pejabat dalam praktik-praktik yang melawan asas kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Apa yang terjadi di Kemenkeu merupakan implikasi dari belum kuatnya budaya keterbukaan informasi. Kondisi lebih runyam terjadi di daerah. Riset Indonesia Corruption Watch 2019 menyebutkan, 294 kepala daerah tersandung kasus korupsi. Ini tentu puncak gunung es. Kondisi riil kasus-kasus pencurian uang negara tentu lebih mengerikan.
Komitmen pimpinan
Mengawasi pengelolaan keuangan negara dalam kondisi korupsi yang seakan kian menggurita tentu membutuhkan komitmen (pimpinan) yang kuat dan total. Setidaknya itu yang diakui Sri Mulyani. Jumlah staf Kemenkeu yang 79.000 orang jelas bukan perkara mudah. Angka ini akan bertambah besar jika ditambah staf di tingkat daerah.
Meski demikian, serumit apa pun, kasus ini baiknya dijadikan momentum untuk berbenah. Pelayanan informasi di lembaga-lembaga publik sudah saatnya diperbaiki. Ruang-ruang pengambilan keputusan yang selama ini tertutup rapat mesti dibuka lebar. Ini cara efektif untuk memperkuat budaya keterbukaan informasi sekaligus memastikan kebocoran keuangan negara bisa ditekan seminimal mungkin.
Romanus NdauKomisioner Komisi Informasi Pusat 2017-2021, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Tarakanita, Jakarta