Dilema Moral Pendidik di Indonesia
Para pendidik kerap mengalami dilema moral, yakni menjalankan tugas sebaik-baiknya atau sekadarnya saja, karena harus membagi waktu dan perhatian dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup. Tak ada jaminan kesejahteraan.

Ilustrasi
Pendidikan, sebagai sebuah aktivitas sosial, tak bisa dipisahkan dari hal-hal lain di luar ranah pendidikan itu sendiri, mulai dari soal budaya, ekonomi, hingga politik.
Oleh karena itu, pembicaraan tentang pendidikan akan selalu melibatkan pembicaraan tentang konteks budaya, ekonomi, dan politik sebagai faktor eksternal yang memiliki pengaruh, entah secara langsung atau tidak, terhadap proses pendidikan itu sendiri. Relasi guru-murid, misalnya, sedikit banyak akan dipengaruhi oleh konteks budaya tempat pendidikan itu berlangsung.
Faktor ekonomi, umpamanya, akan menentukan kondisi infrastruktur fisik yang secara langsung menunjang bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Demikian juga halnya dengan politik. Pendidikan nasional, baik yang diselenggarakan oleh sekolah/kampus negeri maupun swasta, diatur oleh undang-undang yang perumusannya tidak dapat dilepaskan oleh konteks politik.
Oleh karena itu, membicarakan pendidikan juga mesti melibatkan pembicaraan tentang politik pendidikan. Politik pendidikan ini mencakup banyak isu dalam pendidikan, mulai dari pengaruh ideologi terhadap kurikulum hingga kebijakan politik terkait pengangkatan dan penggajian guru/dosen (pendidik).
Oleh karena itu, membicarakan pendidikan juga mesti melibatkan pembicaraan tentang politik pendidikan.
Saya akan menyoroti bagaimana kebijakan politik terkait kesejahteraan pendidik memunculkan satu dilema moral bagi mereka sehingga kita perlu mendesak pihak pembuat kebijakan agar memiliki kehendak politik (political will) yang kuat untuk lebih menjamin kesejahteraan para pendidik.
Celah kebijakan
Pendidik merupakan salah satu aspek pendidikan paling penting. Tanpa pendidik yang kompeten dan memadai, meskipun infrastruktur dan fasilitas lengkap tersedia, pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, memperhatikan pendidikan pertama-tama harus memperhatikan kualitas pendidik.
Hal itulah yang dilakukan Kaisar Hirohito di Jepang ketika Nagasaki-Hiroshima hancur karena serangan bom atom. Ia memperhatikan berapa banyak pendidik yang tersisa dan dengan modal itu ia yakin Nagasaki-Hiroshima bisa kembali bangkit dan berjaya.
Namun, sayangnya, hal itu tampaknya tidak pernah menjadi perhatian utama para pemimpin politik di Indonesia.
Sudah rahasia umum bahwa gaji pendidik, baik guru maupun dosen, jauh di bawah gaji para pegawai profesional yang bekerja di sektor non-pendidikan. Ini menyebabkan banyak SDM berkualitas enggan jadi pendidik di negeri ini. Jika bukan karena panggilan jiwa para guru/dosen yang sangat kuat untuk jadi seorang pendidik, mungkin jumlah pendidik di negeri ini tak akan bisa memenuhi rasio jumlah peserta didik.

Seorang guru sedang mengajar di salah satu kelas di SD Negeri 192 Kecamatan Kalidoni, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (21/11/2022). Akibat kekurangan guru, banyak tenaga pengajar yang harus mengajar lebih dari waktunya atau di luar latar belakang keilmuannya.
Hal itu, seperti ditulis Darmaningtyas (Kompas, 21/12/2022), diperparah oleh menurunnya perekrutan guru/dosen PNS. Penurunan itu, menurut Darmaningtyas, merupakan bencana pendidikan, sebab itu membuat semakin sedikit orang yang berminat menjadi pendidik.
Sekarang kebutuhan guru/dosen tak dipenuhi dengan pengangkatan guru/dosen PNS, tetapi melalui skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Secara jaminan kesejahteraan dan status sosial, PPPK ini ada di bawah PNS sehingga banyak SDM berkualitas yang seharusnya mendidik generasi bangsa lebih memilih jadi tenaga profesional di berbagai sektor non-pendidikan yang lebih menjanjikan kesejahteraan.
Problem yang sama terjadi di perguruan tinggi negeri dengan status perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH). Kebijakan menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum sebenarnya kebijakan yang mengarah pada liberalisasi pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, dengan menjadi badan hukum, dilepaskan begitu saja oleh pemerintah ke dalam mekanisme pasar. Ia diberi wewenang untuk mengangkat dosen sendiri yang kemudian berstatus sebagai dosen tetap non-PNS.
Sebagaimana karyawan di lembaga swasta pada umumnya, dosen tetap non-PNS ini juga rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Dengan demikian, banyak SDM berkualitas kemudian membuat pertimbangan: sama-sama rentan terhadap PHK sepihak, lebih baik kerja di sektor non-pendidikan yang gajinya jauh lebih menyejahterakan.
Baca juga : Bencana Pendidikan, Krisis Guru dan Dosen PNS
Dilema moral
Dalam konteks seperti itu, orang-orang yang memilih bekerja sebagai pendidik pada akhirnya hanya ada dua kemungkinan. Pertama, SDM berkualitas yang memiliki panggilan jiwa kuat untuk menjadi pendidik. Atau, kedua, SDM tidak berkualitas yang kalah/tidak mau bersaing mendapatkan kerja di sektor non-pendidikan.
SDM berkualitas yang memiliki panggilan jiwa kuat untuk menjadi pendidik ini jumlahnya tentu tidak banyak.
Sudah jumlahnya tidak banyak, ketika sudah menjadi pendidik dengan gaji pas-pasan, para SDM berkualitas ini akan dihadapkan pada kenyataan bahwa ia memerlukan biaya hidup yang bisa melebihi gajinya sebagai pendidik.
Di titik ini mereka akan dihadapkan pada dilema moral yang bagi sebagian orang akan sangat melelahkan secara mental. Mereka akan ada di titik kebingungan antara menjalankan tugas sebagai pendidik dengan sebaik-baiknya atau menjalankan tugas sebagai pendidik sekadarnya saja dan membagi waktu dan perhatian dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup.
Memilih yang pertama, bagi sebagian besar pendidik, berarti mengabaikan tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada keluarga. Namun, memilih yang kedua berarti mengabaikan tanggung jawab untuk mendidik generasi bangsa dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, ini merupakan dilema moral yang sangat pelik bagi seorang pendidik dengan ekonomi pas-pasan. Tak heran, tak jarang kita melihat beberapa pendidik, entah guru atau dosen, mencari pekerjaan sampingan, entah dengan berbisnis atau bekerja untuk sektor non-pendidikan.

Menurut lembaga riset No Limit Indonesia, seperti dikutip oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2021 guru menjadi kalangan yang paling banyak terjerat praktik pinjaman online (pinjol) ilegal. Sebanyak 42 persen responden korban jeratan pinjaman daring ilegal berprofesi sebagai guru. Data ini diambil dari percakapan media sosial berdasarkan kata kunci pinjol, pinjaman online, pinjaman ilegal, #pinjol, #pinjamanonline, dan #pinjamanilegal selama 11 September 2021-15 November 2021. Lembaga ini mencatat terdapat 135.681 percakapan dari 51.160 akun.
Di perguruan tinggi, misalnya, kita bisa melihat beberapa dosen yang mencari peluang proyek sana-sini, mencari kemungkinan diangkat sebagai komisaris di BUMN atau konsultan perusahaan, sehingga waktunya untuk mengajar dan meneliti menjadi terbagi.
Dengan demikian, kualitas pengajaran dan penelitian beberapa dosen tersebut menjadi kurang baik. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan dosen yang bahan ajarnya tidak pernah diperbarui selama bertahun-tahun.
Lagi-lagi, dalam konteks ini, mahasiswa yang menjadi korban, sebab sudah bayar mahal, tapi mendapatkan kualitas pengajaran yang jauh dari ideal. Sebagian orang mungkin akan melihat rendahnya kualitas pengajaran dan penelitian dosen-dosen di perguruan tinggi itu sebagai masalah personal dosen terkait yang memiliki kompetensi rendah.
Namun, kalau kita cermati, persoalan itu sebenarnya merupakan masalah struktural yang mengondisikan banyak dosen untuk terbagi perhatian dan waktunya. Belum lagi masalah beban kerja dosen yang banyak. Selain kadang diberi tugas untuk mengajar banyak mata kuliah, dosen-dosen di Indonesia juga dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan administratif dan manajerial yang justru menghambat pengembangan diri mereka secara akademik.
Tidak sulit bagi kita untuk menemukan dosen yang bahan ajarnya tidak pernah diperbarui selama bertahun-tahun.
Oleh karena itu, kita sebenarnya tidak bisa menuntut banyak pada dosen-dosen yang kualitas pengajaran dan penelitiannya buruk jika kita belum memastikan mereka sejahtera sehingga mereka tidak perlu lagi membagi waktu dan pikiran dengan soal pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam konteks ini, kita perlu mendesak pemerintah agar menumbuhkan kehendak politik yang kuat untuk memastikan kesejahteraan para pendidik sehingga mereka bisa memfokuskan waktu dan perhatiannya pada upaya mendidik generasi bangsa dengan sebaik-baiknya. Tanpa jaminan kesejahteraan, para pendidik akan selamanya dihadapkan pada dilema moral, yang ujungnya adalah rendahnya kualitas pendidikan.
Memperbaiki kualitas pendidikan pertama-tama harus dimulai dengan menjamin kesejahteraan pendidik. Sebab, di tangan para pendidik inilah, kualitas pendidikan ditentukan.
Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat UGM dan Anggota Dewan Pendidikan DIY

Siti Murtiningsih