
Setelah reformasi, pemilihan presiden langsung mulai dilaksanakan pada 2004. Saat itu diikuti lima pasang calon presiden-wakil presiden: Hamzah Haz-Agum Gumelar; Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi; Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla; Amien Rais-Siswono Yudo Husodo; dan Wiranto-Salahuddin Wahid.
Pemilihan Presiden 2009 hanya ada tiga pasang calon: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono; Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto; dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Pemilihan Presiden 2004 dan 2009 dimenangi Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Saat itu nyaris tidak ada isu SARA dan situasi politik kondusif. Para calon presiden pun tidak terlihat saling menyerang, begitu pula sikap pendukungnya, saat pemilu dan pascapemilu.
Namun, Pemilihan Presiden 2014 yang hanya diikuti dua pasang calon: Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, berjalan sengit.
Isu SARA mulai muncul dan terjadi polarisasi rakyat Indonesia. Banyak pihak tidak menginginkan Joko Widodo terpilih sehingga berbagai cara dilakukan untuk menjegal Jokowi.
Etika berpolitik tidak dijunjung sama sekali. Bahkan, kemenangan tipis Joko Widodo, 53,15 persen, berbanding Prabowo Subianto, 46,85 persen, membuat Komisi Pemilihan Umum digugat ke Mahkamah Konstitusi. Terjadi permusuhan kelompok yang terus berlanjut hingga Pemilu 2019 bahkan sampai sekarang.
Pemilu 2019 pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memenangi kompetisi: 55,50 persen : 44,50 persen. Pemilihan Presiden 2019 dicatat sejarah sebagai pemilihan paling berdarah karena timbul banyak kerusuhan, memakan korban jiwa dan harta. Politik identitas dan isu agama menjadi penyebab utama. Rakyat terbelah. Inilah imbas Pemilihan Gubernur DKI tahun 2017, di mana isu agama makin dikedepankan.
Mencermati peta politik sekarang, bisa ada empat calon pasangan yang maju. Sangat disayangkan beberapa partai besar yang tidak punya calon berdaya jual kuat tidak berani mengajukan calon dari kader sendiri. Mereka pilih bermain aman, menggunakan jalan pintas mendekati calon-calon potensial dari luar partai.
Selama partai-partai masih terus berpikir seperti pedagang karena takut rugi apabila calon presiden dari kader sendiri kalah. Jadi, demokrasi di Indonesia masih jalan di tempat. Tidak pernah dewasa.
Sudah hampir 78 tahun Indonesia merdeka, kenapa partai-partai belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat, pemilik kedaulatan tertinggi?
Samesto NitisastroPraktisi SDM, Perumahan Pesona Khayangan, Jalan Margonda Raya, Depok 16411
Kebijakan Masuk Sekolah
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) membuat kebijakan mulai belajar pukul 05.00 Wita untuk beberapa SMA dan SMK di Kupang serta akan dilanjutkan ke SMA dan SMK lain di NTT.
Kebijakan tersebut menuai banyak kritik dari pelbagai pihak. Gubernur NTT tetap bergeming atas kritikan itu, hanya memundurkan sedikit menjadi pukul 05.30.
Terkait SMA dan SMK, sebelum ditetapkannya UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pendidikan dasar (SD dan SMP).
Wali Kota Surabaya, waktu itu, Tri Rismaharini, mengajukan uji materi ke MK agar kewenangan SMA dan SMK tetap jadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah lama.
UU No 23/ 2014 merupakan revisi atau perubahan beberapa pasal dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU Pemerintahan Daerah yang lama, SMA dan SMK merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Uji materi ditolak oleh MK.
Menurut saya, SMA dan SMK seharusnya tetap jadi kewenangan kabupaten/kota karena otonomi daerah berada di kabupaten/kota.
Otonomi daerah yang luas saat ini merupakan output dari reformasi tahun 1998 setelah bertahun-tahun sistem pemerintahan terpusat. Lebih dari dua dekade pelaksanaan otonomi daerah yang luas ini perlu dievaluasi dampak positif dan negatifnya.
Demikian saya sampaikan. Semoga harian Kompas berkenan untuk memuat tulisan saya ini sehingga bisa menjadi bahan evaluasi bersama.
AlamsyahJalan Lebak Rejo Sekip, RT 015 RW 005, Kelurahan Sekip Jaya, Kecamatan Kemuning, Palembang