Di era marak polarisasi, hadirnya ”ruang bersama” lewat buka puasa bersama ataupun sahur bersama yang melibatkan masyarakat dari beragam agama perlu terus didorong. Tak hanya menjaga kerukunan, tetapi juga demokrasi.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·2 menit baca
PANDU LAZUARDY PATRIARI
Ulil Abshar Abdalla, Penulis Analisis Politik
Hari ini, umat Islam memulai sebuah ritual suci yang berlangsung setahun sekali, yakni puasa. Meski ritual ini dapat kita jumpai dalam hampir setiap agama dunia, tetapi setiap agama memiliki tradisi yang khas dalam mempraktikkannya. Bukan hanya itu. Setiap komunitas Muslim di sejumlah negara memiliki cara yang khas untuk melaksanakan ibadah ini. Tata cara pokok dalam berpuasa memang sama dan seragam di mana-mana, tetapi ritual ini dipraktikkan dalam konteks budaya yang beragam. Umat Islam dari pelbagai penjuru dunia memberikan warna yang khas dan warna-warni pada ritual ini.
Dengan kata lain, dalam ritual puasa ini kita melihat wujud konkret dari unen-unen atau jargon yang terkenal itu: unity in diversity, diversity in unity—satu tapi beragam; beragam tapi satu. Puasa pun dipraktikkan di Indonesia dengan warna budaya yang khas. Salah satunya adalah tradisi buka bersama atau bukber.
Tradisi ini memang dapat kita jumpai di banyak negara. Di negeri-negeri Barat, misalnya, mulai dikenal apa yang disebut tradisi iftar (buka bersama). Karena makin besarnya jumlah umat Islam yang tinggal di negeri-negeri Barat, tradisi iftar ini bahkan mulai diadopsi secara resmi oleh pemerintah di sana. Iftar, misalnya, mulai diadakan di Gedung Putih di Amerika Serikat. Ini semua dilakukan sebagai bagian dari politik multikulturalisme yang berkembang di Barat. Bukan hanya itu, pelaksanaan iftar dipandang sebagai bagian dari politik inklusi yang akhir-akhir ini dipromosikan di Barat.
Di Indonesia, peristiwa bukber kerap kali bukan sekadar momen yang dikhususkan bagi umat Islam, tetapi juga melibatkan umat lain di luar Islam. Saya masih ingat, pada tahun 1990-an, ada sebuah inisiatif bukber yang diadakan oleh Majelis Reboan—sebuah forum diskusi yang dirintis oleh sejumlah tokoh, seperti Utomo Danandjaja, Usep Fathuddin, dan Amidhan. Bukber yang diadakan oleh majelis ini amat unik karena dihadiri oleh tokoh-tokoh non-Muslim. Setelah Tarawih, bukber akan diteruskan dengan diskusi yang mengundang para intelektual dari pelbagai agama, antara lain Romo Franz Magnis-Suseno, Romo Mudji Sutrisno, dan alm Victor Tanja.
Umat Kelenteng Kim Tek Ie dan Muslim Tionghoa Indonesia bergotong royong membagikan hidangan takjil dan makanan untuk buka puasa di halaman Kelenteng Kim Tek Ie, Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Sabtu (12/5/2019). Takjil dan makanan buka puasa yang dibagikan kepada umat Muslim berlatar aneka ragam etnis di sekitar menjadi potret indahnya toleransi dan kebinekaan bagi Indonesia.
Bagi mahasiswa yang tumbuh sebagai aktivis pada tahun 1990-an, momen bukber seperti yang diselenggarakan oleh Majelis Reboan itu amat besar perannya dalam menumbuhkan apa yang ingin saya sebut sebagai ”ruang bersama”. Dalam ruang ini, umat dari berbagai agama dan latar belakang tradisi bisa bertemu. Dalam ruang seperti ini, umat dari agama lain bisa merasakan suasana keagamaan yang berlangsung dalam komunitas Islam. Dalam ruang ini, kita bisa berharap terjadinya proses pemerkayaan antar-tradisi.
Di era yang ditandai dengan maraknya polarisasi, cancel culture, dan fenomenaecho chamber atau ruang-gaung, kita amat memerlukan ruang-ruang bersama ini agar orang-orang dari tradisi, paham, pemikiran, dan mazhab yang berbeda dapat bertemu, dan dengan demikian tidak terjerembab kian jauh dalam ruang-gaung; sesuatu yang jelas berbahaya.
Sudah bertahun-tahun (dan akan berlanjut tahun ini), Ibu Sinta Nuriyah Wahid (istri dari mendiang Gus Dur) merintis sebuah inisiatif yang amat penting: tidak membuat buka bersama, melainkan sahur bersama yang diadakan di sejumlah kota di seluruh Indonesia. Ada yang unik pada kegiatan ini. Sahur ini diselenggarakan dengan melibatkan banyak pihak di luar Islam. Dengan kata lain: sahur dengan perspektif antar-agama.
Inisiatif-inisiatif ke arah pembentukan ”ruang bersama” ini perlu terus didorong. Kita amat memerlukan aksi-aksi semacam ini di tengah-tengah tren sosial pos-modern yang mengarah kepada gejala ”narsisme sosial”: yaitu gejala melihat segala hal sebagai berpusat pada golongan sendiri, seraya mengabaikan golongan lain. Kehidupan publik tidak bisa dibangun dalam cara yang sehat jika narsisme semacam ini kian menguat dalam masyarakat. Kita membutuhkan langkah-langkah untuk menerobos gelembung sempit dan eksklusif serta membangun jembatan yang bisa menghubungkan semua golongan dalam ”ruang bersama.”
Biarawati menyerahkan makanan berbuka puasa bagi warga sekitar di Gereja Theresia Bongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/4/2022). Pembagian makanan gratis ini merupakan kegiatan rutin gereja yang dilakukan setiap bulan Ramadhan sebagai wujud kebersamaan dan toleransi.
Jelas, demokrasi di negeri kita akan kian kokoh akar-akarnya jika ruang bersama semacam ini kian tumbuh dalam masyarakat.
Sementara itu, ancaman atas demokrasi bisa datang dari tren sosial yang cenderung mengotak-ngotakkan kehidupan masyarakat dalam ruang sempit yang hanya menampung secara eksklusif golongan tertentu. Ruang seperti ini memang memberikan rasa aman, tetapi rasa aman yang bisa menipu. Sebab, dalam jangka panjang, ini bisa berbahaya bagi imperatif membangun ruang bersama.