Paradoks Pariwisata Medis Indonesia
Dukungan pemerintah diperlukan dalam hal pembentukan wadah koordinasi dan pengatur wisata medis nasional, misalnya Indonesia Health Tourism Board yang menjadi tempat bersatunya para pemangku kepentingan wisata medis.

Malaysia Healthcare saat ini membuka gerai di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), KLIA2 dan Penang International Airport. Salah satu layanan adalah, mendampingi turis pada jalur cepat Imigrasi, dan Bea Cukai serta bantuan pengambilan bagasi hingga diantar ke rumah sakit yang dituju, seperti pada Rabu (30/10/2019).
Memang agak ganjil apabila layanan wisata medis bagi negara sebesar Indonesia seolah-olah diurus oleh berbagai rumah sakit di negeri jiran. Hingga kini, selama bertahun-tahun Indonesia hanya “pemasok” pasien wisata medis ke luar negeri. Apa yang dapat dilakukan?
Saat Presiden Joko Widodomeresmikan Mayapada HospitalBandung (MHB) pada 6 Maret 2023, beliau menyatakan bahwa kehadiran rumah sakit berkelas internasional seperti MHB dapat mengurangi keinginan masyarakat untuk berobat ke luar negeri.
Presiden mengeluhkan, devisa yang hilang diperkirakan Rp 165 triliun karena sekitar dua juta orang Indonesia setiap tahun memilih berobat ke luar negeri. Sekitar satu juta orang di antaranya berobat ke Malaysia, 750 ribu orang ke Singapura, dan sisanya berobat ke Jepang, Amerika Serikat, Jerman, serta negara-negara lain.
Upaya mengurangi orang Indonesia berobat ke luar negeri sudah mulai dilakukan, paling tidak oleh pemodal besar. Liberalisasi pemerintah terhadap industri kesehatan sejalan dengan kebangkitan konglomerasi kesehatan domestik seperti grup Lippo Siloam Hospitals, EMC Healthcare, dan pemodal kuat lainnya.

Meningkatnya permintaan untuk perawatan kesehatan menciptakan peluang investasi bagi sektor swasta, yang berperan penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Selama 2014-2018, jumlah rumah sakit swasta di Indonesia bertambah 24 persen dari 1.476 menjadi 1.830 unit, menyusul kenaikan investasi asing perusahaan termasuk dari Singapura.
Saat ini, salah satu kendala terbesar terkait layanan kesehatan di Indonesia adalah keberadaan dokter spesialis dan sub spesialis yang masih sangat kurang, jika dibandingkan populasi penduduk di Indonesia. Presiden berharap, dengan adanya peningkatan dalam sektor kesehatan, pelayanan rumah sakit kepada masyarakat menjadi semakin baik. Selain itu, pendidikan dokter spesialis juga harus diperbanyak dan dipermudah.
Kesehatan adalah salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia. Pengeluaran kesehatan saat ini di Indonesia telah tumbuh dari 1,8 persen dari PDB pada tahun 2000, menjadi 2,9 persen pada tahun 2019. Pengeluaran perawatan kesehatannya diharapkan menunjukkan pertumbuhan tahunan sebesar 14,3 persen antara 2022-2025. Kesehatan Indonesia menawarkan investasi yang signifikan dan potensi pertumbuhan diantaranya karena kesenjangan dalam penyediaan layanan dan fasilitas kesehatan.
Dibandingkan terhadap Malaysia dengan 1,9 tempat tidur per seribu penduduk, Thailand 2,1 tempat tidur per seribu penduduk, dan Vietnam 2,6 tempat tidur per seribu penduduk, Indonesia saat ini memiliki rasio tempat tidur rumah sakit terhadap populasi yang rendah yaitu 1,4 tempat tidur per seribu penduduk. Selain itu, rasio dokter-pasien di Indonesia juga rendah, sekitar 4 dokter dan 15 perawat untuk setiap 10.000 orang.

Presiden Joko Widodo menandatangani piagam peresmian Mayapada Hospital, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (6/3/2023). Peresmian ini didampingi oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri), Pendiri Mayapada Group Dato Sri Tahir (dua dari kanan), dan Group CEO Mayapada Healthcare Jonathan Tahir (kanan).
Pada tahun 2020, jumlah fasilitas kesehatan milik swasta bertambah menjadi sekitar 60 persen. Karena faktor geografi Indonesia, akses ke layanan kesehatan bervariasi dari daerah ke daerah. Namun, sebagian besar fasilitas masih di kota-kota besar di pulau Jawa terutama Jakarta. Meski sda potensi investasi yang besar dalam penyediaan aksesibilitas kesehatan di seluruh nusantara, khususnya di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Makassar, dan lain-lain.
Layanan Wisata Medis
Menurut bidang studi manajemen strategis, strategi paradoks pada dasarnya terkait dengan kontradiksi atau pertentangan yang memerlukan penyelesaian yang diarahkan kepada manfaat, peluang, nilai, atau inovasi baru. Dalam konteks industri rumah sakit, pertentangan ini meliputi perspektif fenomenologi berupa tekanan yang dihadapi rumah sakit antara kebutuhan hari ini dan esok (paradoks kurun waktu), antara integrasi global dan kepentingan lokal (paradoks cakupan), serta antara misi sosial dan tekanan komersial (paradoks kewajiban).
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penyusunan strategi transformasi bisnis rumah sakit dalam pengembangan layanan wisata medis perlu dialihkan dari strategi tradisional. Strategi yang tadinya fokus pada konsistensi, linearitas, dan kesederhanaan dalam lingkungan yang stabil serta dapat diprediksi. Menuju pada prinsip-prinsip seperti perubahan terus menerus, inkonsistensi, non-linearitas, dan kompleksitas. Hal ini terjadi karena perubahan lingkungan eksternal yang disruptif, berlangsung begitu cepat, dan sulit diprediksi.
Oleh sebab itu, wajar kiranya rumah sakit juga mengalami pertentangan dalam hal fokus pada kegiatan internal dan eksternal; kerjasama dengan berjejaring dan otonomi melalui pengembangan mandiri; masa lalu, masa kini, dan masa depan; pengutamaan laba dan kesadaran etis, serta kompetisi sekaligus kolaborasi.

Tenaga kesehatan melakukan tindakan medis terhadap pasien di salah satu ruangan Mayapada Hospital, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (6/3/2023). Rumah Sakit keenam dari Mayapada Healthcare ini memiliki kapasitas hingga 200 tempat tidur.
Penelitian doktoral tentang wisata medis yang dilakukan oleh Ediansyah (2023) terhadap 241 rumah sakit kelas A dan kelas B menghasilkan temuan paradoks persepsi pasien terhadap layanan rumah sakit di Indonesia (push factors) dan alasan pasien Indonesia berobat ke luar negeri (pull factors).
Dari sisi faktor-faktor yang mendorong pasien Indonesia berobat ke luar negeri adalah komunikasi dokter kurang berempati (70,5 persen), waktu konsultasi dengan dokter lebih singkat (61,4 persen), dan rumah sakit kurang didukung oleh teknologi informasi (56,0 persen). Sedangkan dari perspektif faktor-faktor yang menarik pasien Indonesia berobat ke luar negeri adalah kualitas pelayanan rumah sakit dalam negeri kurang memuaskan (88,4 persen), teknologi medis rumah sakit luar negeri yang modern (68,9 persen), dan layanan medis di luar negeri lebih lengkap (67,6 persen).
Kita pahami bahwa kegiatan rumah sakit sangat diatur (highly regulated) serta penanganan pasien selalu mengikuti tata cara kerja baku (SOP) yang berlaku. Hal ini boleh jadi mempengaruhi pola pikir pengembangan rumah sakit saat ini.
Bila rumah sakit di Indonesia memutuskan berkecimpung di layanan wisata medis, maka pemilik dan pimpinan perlu beralih dari pola pikir “salah satu/atau” ke pola pikir “keduanya/dan” setelah melihat dinamika lingkungan, memahami bahwa sumber daya selalu terbatas, serta melakukan perubahan ketimbang mempertahankan stabilitas. Secara praktis, ini berarti rumah sakit perlu memelihara aspek unik dari bersaing dan strategi untuk menemukan cara dalam memadukan berbagai paradoks yang dihadapi.

Murid SD mendapat layanan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Soelastri, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (20/3/2023).
Rumah sakit wisata medis yang kompetitif selain melakukan pengembangan bisnis secara mandiri, juga akan menawarkan layanan unggulan tertentu dengan mengembangkan kemampuan berjejaring dan diperkuat oleh ekosistem wisata medis.
Ekosistem ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu tingkat pertama adalah penyedia layanan kesehatan (healthcare provider), tingkat kedua adalah operator perjalanan dan pengelola obyek pariwisata (travel and tourism providers), dan tingkat ketiga berupa lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah (public and government institutions) sebagai penentu dan pembuat kebijakan serta aturan yang mendukung kegiatan wisata medis.
Dukungan pemerintah
Saat semua orang dilarang keluar rumah dan bepergian, terutama pada saat puncak krisis pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, sebenarnya Indonesia memiliki momentum untuk mengembangkan rumah sakit wisata medis yang berkelas. Namun rumah sakit di Indonesia mempunyai hambatan dalam mengembangkan layanan wisata medis, walaupun memiliki potensi dan peluang pasar yang besar.
Permasalahan utama yang menjadi kendala dalam pengembangan wisata medis adalah kebanyakan rumah sakit, bahkan kelas A dan kelas B sekalipun, masih “main sendiri-sendiri,” dengan berkompetisi dan belum beranjak ke arah kolaborasi.
Beberapa masalah lain yang menjadi kendala menurut Ediansyah (2023) adalah adanya ketidakpercayaan terhadap layanan rumah sakit di Indonesia, layanan wisata medis yang dibutuhkan tidak semua tersedia di Indonesia, informasi layanan unggulan rumah sakit di Indonesia belum tersebar luas, kebanyakan rumah sakit di Indonesia belum didukung oleh teknologi digital, serta Indonesia tidak termasuk negara destinasi wisata medis dunia walaupun memiliki rumah sakit yang sudah terakreditasi internasional dan memiliki beragam destinasi wisata kelas dunia.

Presiden Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking Rumah Sakit (RS) Internasional Bali yang terletak di Kawasan Wisata Sanur, Kota Denpasar, Provinsi Bali, pada Senin, 27 Desember 2021.
Para pemangku kepentingan yang terlibat langsung dalam pengembangan wisata medis ke depan, terutama rumah sakit dan pemerintah, diharapkan melakukan strategi berikut ini.
Pengelola rumah sakit pertama-tama perlu meningkatkan orientasi pasar, sehingga mampu mengidentifikasi kebutuhan layanan yang akan menjadi dasar dalam memilih dan mengembangkan layanan unggulan. Kemudian, meningkatkan integrasi sumber daya, baik dokter spesialis serta sarana dan prasarana kesehatan di rumah sakit dengan kemampuan komunikasi yang lebih baik.
Ketiga, meningkatkan kemampuan berjejaring dengan melakukan transformasi digital dan terlibat dalam pengembangan ekosistem wisata medis. Terakhir, membangun jejaring dengan para pemangku kepentinganwisata medis lainnya, seperti tempat wisata, pemandu wisata, transportasi, akomodasi, kuliner, dan sebagainya.
Dukungan pemerintah diperlukan dalam hal pembentukan wadah koordinasi dan pengatur wisata medis nasional, misalnya Indonesia Health Tourism Board yang menjadi tempat bersatunya para pemangku kepentingan wisata medis.
Kemudian, mendukung promosi dan sosialisasi layanan unggulan yang dimiliki oleh rumah sakit di Indonesia. Terakhir, memberikan insentif pajak terhadap teknologi dan peralatan kesehatan mutakhir, sehingga biaya investasi dapat ditekan serta merumuskan kebijakan lain yang pro pengembangan wisata medis.
Mohammad Hamsal adalah Guru Besar Program Doktor Manajemen Binus Business School dan pengurus Indonesia Strategic Management Society.
E-mail: mhamsal@yahoo.com.

Mohammad Hamsal