Tugas berat bagi MK adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik ketika di dalam MK terdapat orang-orang yang pernah melanggar integritas dan kemandiriannya diragukan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Publik berharap pergantian Ketua Mahkamah Konstitusi dan Wakil Ketua MK serta putusan Majelis Kehormatan MK bisa memulihkan marwah lembaga itu.
Harapan publik itu wajar. Marwah Mahkamah Konstitusi (MK) memang sedang tercoreng. Skandal demi skandal terjadi di lembaga yang dihuni para ”negarawan yang menguasai konstitusi”. Lembaga yang dibentuk melalui Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 itu pernah begitu digdaya pada awal reformasi. Over politisasi di MK serta integritas hakim MK membuat lembaga ini seakan tak berdaya melawan tekanan politik dan kepentingan pribadi penghuninya.
Perkembangan terakhir adalah ”pemecatan” Wakil Ketua MK Aswanto oleh DPR. Kemudian, DPR menunjuk Guntur Hamzah, Sekretaris Jenderal MK, sebagai hakim konstitusi. Pemecatan Aswanto dan penunjukan Guntur tidak sesuai dengan UU MK. Namun, atas nama kekuasaan politik, semuanya tetap berjalan. Dan, semuanya tenang-tenang saja kendati pelanggaran itu begitu nyata.
Pemecatan Aswanto dan penunjukan Guntur berlangsung cepat. Bahkan, pelantikan Guntur mendahului pembacaan putusan MK soal uji materi UU MK. Guntur dilantik enam jam lebih dahulu, sebelum MK menyatakan, ”dengan demikian” pemberhentian hakim konstitusi sebelum masa jabatannya hanya bisa dilakukan asal sesuai dengan UU MK. Putusan MK itu final. Putusan MK merupakan sikap politik MK. Jikalau ditafsirkan secara harfiah, penggantian Aswanto itu melanggar UU MK. Namun, dalam perkembangnya, frasa ”dengan demikian” diubah menjadi ”ke depan”. Maknanya sangat berbeda.
Majelis Kehormatan MK menyatakan perubahan frasa putusan itu dilakukan oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah. Majelis Kehormatan MK menyatakan Guntur telah melanggar prinsip integritas. Namun, karena Guntur telah mengakui perbuatannya, Majelis Kehormatan MK menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis.
Guntur menerima dan menghormati putusan Majelis Kehormatan MK. Namun, sejumlah ahli hukum menilai, putusan itu jauh dari harapan dan gagal menjaga marwah MK. Padahal, integritas adalah prinsip penting dari seorang hakim konstitusi. Ketika hakim konstitusi divonis melanggar integritas, apakah dia menjadi beban bagi Mahkamah? Atau, integritas hanyalah kata yang tak bermakna?
Tugas berat bagi MK adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik, ketika di dalam MK terdapat orang-orang yang pernah melanggar integritas dan kemandiriannya diragukan. Pekerjaan menjadi lebih berat. Sembilan hakim konstitusi yang dikonstruksikan UUD sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi” dan putusannya disebut ahli sosiologi hukum Satjipto Rahadjo sebagai ”ludah api”.
Susah membayangkan jika negarawan yang menguasai konstitusi dipertahankan kendati telah melanggar integritas. Semoga saja ada jiwa-jiwa besar dan negarawan sejati yang bersedia mengurangi beban Mahkamah Konstitusi…