Kebajikan Demokrasi
Sikap kritis Mahfud MD terhadap beberapa peristiwa yang melukai nurani publik bisa dibaca sebagai praksis membangun demokrasi. Meski bagian penguasa, dirinya juga bagian dari rakyat. Wajar jika ia berjuang untuk rakyat.
Suara kritis Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD terhadap beberapa peristiwa yang melukai nurani publik adalah anomali. Sebab, biasanya pengkritik muncul dari luar kekuasaan. Kekritisannya ibarat oase di gurun demokrasi. Menyegarkan dan menghidupkan praksis politik di negeri ini.
Autoimunitas demokrasi
Demokrasi memiliki keterbatasan inheren. Kebebasan dan kesetaraan yang diusungnya mengeliminasi satu sama lain. Jika tiap orang bebas melakukan segalanya, kesetaraan adalah utopia. Sebab, tiap orang punya aspirasi berbeda-beda. Bisa terjadi, perbedaan aspirasi saling mengeradikasi.
Filsuf Perancis, Jacques Derrida, menyebut kondisi tersebut sebagai autoimunitas demokrasi. Ada unsur dalam demokrasi yang bisa melumpuhkan dan mematikan unsur lain dalam demokrasi.
Baca Juga: Menjaga Demokrasi
Para pembajak demokrasi memanfaatkan autoimunitas tersebut untuk melegitimasi syahwat politik. Mereka melakukan segala cara untuk berkuasa. Para musuh demokrasi melihat keterbatasan tersebut sebagai alasan untuk mengusung ideologi alternatif. Para pemburu rente memanfaatkan limitasi demokrasi sebagai alibi untuk pemiskinan yang telah mereka lakukan.
Kebebasan dalam demokrasi juga membawa masyarakat dalam dilema. Jika kebebasan diberi ruang luas, kebencian, hoaks, dan permusuhan bisa menghancurkan demokrasi. Di ujung sebelahnya, untuk mewujudkan masyarakat yang minim konflik, pemerintah perlu menyeragamkan kepelbagaian dan merepresi kebebasan.
Itulah esensi demokrasi. Ia tidak sempurna. Karena itu, Derrida memandang demokrasi sebagai mungkin yang serba tidak mungkin (possible only as impossibility). Menurut dia, demokrasi adalah demokrasi yang akan datang (democracy to come).
Demokrasi yang digagas dan diwujudkan sekarang adalah demokrasi yang senantiasa belum selesai. Demokrasi yang serba tidak pasti. Selalu dalam proses menjadi. Pada satu sisi, demokrasi sudah ada, sebagaimana dibicarakan dan dipraktikkan kini. Namun, di sisi lain, ia senantiasa akan menjadi. Karena itu, demokrasi terbuka untuk resistensi, destruksi, juga transformasi.
Dimengerti seperti itu, gagasan Derrida tentang demokrasi yang akan datang memberi ruang kepada agency. Habitus demokratis bukan hanya ditentukan oleh sistem dan stuktur demokrasi yang sudah ada, tetapi juga dibangun oleh individu-individu di dalamnya.
Maka, agency untuk mengkritik demokrasi bukan hanya kewajiban, tetapi hak inheren yang ada di tiap orang. Demokrasi menganugerahi setiap orang dengan hak untuk mendekonstruksi dalam rangka terus mengonstruksi demokrasi. Tentang hal ini, Derrida berkata, ”tidak ada dekonstruksi tanpa demokrasi dan tidak ada demokrasi tanpa dekonstruksi” (Evans, 2016).
Demokrasi menganugerahi setiap orang dengan hak untuk mendekonstruksi dalam rangka terus mengonstruksi demokrasi.
Sikap kritis Mahfud MD bisa dibaca sebagai praksis membangun demokrasi. Sebagai bagian penguasa, dirinya juga bagian dari rakyat Indonesia. Kekuasaan yang dimilikinya berasal dari rakyat. Ia juga dibayar oleh rakyat. Maka, wajar jika ia berjuang untuk rakyat. Kekuasaannya adalah instrumen untuk menyejahterakan rakyat.
Dalam kasus Sambo, Mahfud MD mengritik DPR yang tidak banyak bersuara. Dia juga melucuti kekuasaan Sambo sebagai jenderal ”Bintang Lima” sehingga penyelidikan terhadap kasus Sambo dapat transparan dan obyektif.
Terkait kasus Indosurya, Mahfud MD menyampaikan kekecewaan terhadap keputusan hakim yang membebaskan pendirinya, Henry Surya. Ia mendorong Kejaksaan Agung untuk melakukan banding. Menurut dia: ”Kita tidak boleh kalah untuk menegakkan hukum dan kebenaran. Kita tidak boleh kalah untuk mendidik bangsa berpikir secara jernih dalam penegakan hukum (Kompas.com, 27 Januari 2023). Publik bisa melihat sendiri, Henry Surya kembali jadi tersangka. Kini, asetnya diburu oleh negara (Kompas, 17/3/2023).
Baca Juga: Pendirian KSP Indosurya Diduga Bermasalah, Polisi Kembali Tersangkakan Henry Surya
Mahfud MD membuka di depan publik transaksi janggal sebesar Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan. Dia mendekonstruksi praktik demokrasi yang tidak berjalan semestinya: KPK belum menindaklanjuti laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejak 2013, tentang Rafael Alun. Jumlah hartanya yang tidak wajar baru terbongkar karena Mario Dandy, anaknya, melakukan kekerasan terhadap David.
Kebajikan demokrasi
”Demokrasi yang selalu menjadi” mengurangi pesimisme publik terhadapnya. Demokrasi memang belum sempurna. Dia masih bertransformasi dan mengundang partisipasi tiap orang untuk menyempurnakannya. Caranya, dengan berbicara secara terbuka tanpa rasa takut dan mendengar secara sungguh.
Berbicara yang dimaksud bukan sekadar menyampaikan sinisme, provokasi, ketidaksukaan subyektif, melainkan juga menyampaikan kebenaran yang berisiko. Tujuannya agar demokrasi imun dan bermutu. Mendengar secara sungguh bukan hanya mendengar apa yang enak dan menyenangkan, melainkan juga terbuka mendengar kritik dan masukan. Kedua hal ini adalah kebajikan demokrasi.
Praktik berdemokrasi kita hipokrit karena mereka yang berada dalam gerbong atau pendukung kekuasaan hanya menyampaikan apa yang enak di telinga penguasa.
Dalam demokrasi Athena, ada terminologi parrhesia yang bisa menjelaskan kebajikan tersebut. Parrhesia adalah berbicara bebas. Kebebasan tersebut didasari kebenaran karena orang yang berbicara (parrhesiastes) menjadikan dirinya sendiri sebagai acuan untuk berbicara.
Dia tidak berbicara karena pesanan orang, ikut-ikutan, benci, sinis. Ia juga tidak sekadar berbicara manis tanpa ada dasarnya. Ia berbicara berdasarkan kebebasan, yang bersumber dari kebenaran yang dihidupi. Ada standar moral yang telah dipraktikkan. Itu yang membuat parrhesiastes berani berbeda dalam menyampaikan kebenaran, termasuk jika harus mengritik kekuasaan.
Ruang publik kita gaduh karena mereka yang tidak menyukai penguasa atau di luar kekuasaan merasa bebas berbicara tanpa dasar dan etika. Praktik berdemokrasi kita hipokrit karena mereka yang berada dalam gerbong atau pendukung kekuasaan hanya menyampaikan apa yang enak di telinga penguasa.
Baca Juga: Citra Demokrasi
Demokrasi kita semu sebab sebagian penguasa tidak terbuka mendengar aspirasi dan kritik rakyat. Demokrasi kita kurang bermutu karena banyak orang berharap banyak pada demokrasi, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan kualitasnya.
Jika tidak menghendak demokrasi mati, kita perlu memberi kepercayaan kepada sebanyak mungkin parrhesiastes berkuasa di negeri ini. Lalu, jika merindukan demokrasi yang bermutu, kita perlu membayar harga: menjadi parrhesiastes di konteks kita.
Darwin Darmawan, Pendeta Gereja Kristen Indonesia; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia