Silicon Valley dan Perbankan Kita
Saat ini, kasus SVB tidak akan berdampak pada perbankan nasional karena likuiditas perbankan kokoh. Bank umum dapat dikatakan sehat dengan pertumbuhan kredit di level moderat. Namun, kasus SVB menjadi peringatan dini.

Ilustrasi
Mata bisnis global kini tengah mencermati kejatuhan Silicon Valley Bank yang berkantor pusat di Santa Clara, California, AS.
Silicon Valley Bank (SVB) adalah bank yang fokus memberikan kredit kepada perusahaan rintisan bidang teknologi (start up). Bagaimana menepis implikasi kasus SVB terhadap perbankan nasional?
SVB yang berdiri pada 1983 sebagai bank komersial itu memiliki total aset 212 miliar dollar AS (setara Rp 3.286 triliun, dengan kurs Rp 15.503/dollar AS) per kuartal IV-2022. SVB menerima simpanan dan memberikan kredit serta menyediakan manajemen treasury, perbankan internasional, penasihat kekayaan, perbankan daring, valuta asing, pembiayaan perdagangan, dan layanan lain.
Kejatuhan SVB mendorong kebangkrutan bank spesialis aset kripto, Silvergate Bank. Silvergate dilikuidasi sebagai akibat manajemen risiko yang buruk, disusul oleh rush (penarikan simpanan di bank secara besar-besaran). Bank spesialis kripto lainnya, Signature Bank, juga ditutup oleh otoritas perbankan AS. Hanya dalam seminggu terdapat tiga bank di AS yang kolaps!
Baca juga : Penyelamatan Bank Bermasalah di Amerika, Cegah Krisis Global
Apa yang telah dilakukan otoritas setempat? Bank sentral AS (The Fed), Kementerian Keuangan, dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) —semacam Lembaga Penjamin Simpanan/LPS di sini, yang bertindak sebagai penjamin simpanan nasabah bank—telah memberikan pernyataan bersama. Intinya, nasabah SVB tetap bisa mengakses uang simpanan mereka. Otoritas tak akan memakai uang pembayar pajak untuk mengembalikan uang nasabah.
The Fed telah memperkenalkan Bank Term Funding Program (BTFP). The Fed menyediakan 25 miliar dollar AS atau setara Rp 384,27 triliun untuk program ini. BTFP memungkinkan bank meminjam dana dari bank sentral dengan memakai obligasi pemerintah yang mereka miliki sebagai jaminan dan menghargainya di harga par atau 100. The Fed menyatakan, BTFP bisa menjadi sumber likuiditas tambahan bagi bank yang sedang menghadapi tekanan harga obligasi (bloombergtechnoz.com, 13/3/2023).

OJK Pastikan Penutupan Silicon Valley Bank di AS Tak Berdampak Langsung ke Indonesia
Jurus ampuh
Apa saja implikasi kasus SVB terhadap perbankan nasional di Indonesia? Apa saja jurus ampuh untuk menepis implikasi tersebut? Pertama, mari kita amati dulu kinerja bank umum.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 27 Februari 2023 menunjukkan kredit tumbuh 10,53 persen (yoy) menjadi Rp 6.310,88 triliun per Januari 2023. Pertumbuhan kredit yang turun sedikit dari 11,35 persen per Desember 2022 itu didorong kredit investasi dan modal kerja yang tumbuh masing-masing 12,61 persen dan 10,03 persen.
Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 8,03 persen menjadi Rp 7.953,8 triliun per Januari 2023, turun dari 9,01 persen per Desember 2022. Pertumbuhan DPK itu terutama didorong giro. Alhasil, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) naik jadi 79,34 persen di tengah ambang batas 78-92 persen.
Saat ini, kasus SVB itu tidak akan berdampak pada perbankan nasional karena likuiditas perbankan kokoh. Hal itu tampak pada rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK yang terjaga di angka 137,67 persen dan 31,20 persen. Rasio itu masing-masing di atas ambang batas 50 persen dan 10 persen.
Apa maknanya? Bank umum dapat dikatakan sehat dengan pertumbuhan kredit di level moderat. Pertumbuhan kredit tampak tidak begitu agresif, tetapi juga tidak lambat setelah ditampar pandemi Covid-19 selama dua tahun lebih.
Saat ini, kasus SVB itu tidak akan berdampak pada perbankan nasional karena likuiditas perbankan kokoh.
Kedua, sudah barang tentu kasus SVB menjadi peringatan dini bagi perbankan. Lugasnya, bank wajib mengerek modal lebih tinggi lagi meskipun saat ini posisi modal perbankan semakin kokoh, tecermin dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang menguat menjadi 25,93 persen per Januari 2023 dari 25,63 persen per Desember 2022.
Mengapa bank harus terus menambah modal? Lantaran modal merupakan faktor amat penting bagi bank yang berfungsi untuk menyerap pelbagai potensi risiko kredit, pasar, operasional, dan likuiditas. Bank akan mengalami risiko likuiditas, bahkan pailit, ketika terjadi penarikan simpanan secara besar-besaran oleh nasabah (bank run). Itulah yang dialami SVB, padahal SVB merupakan bank terbesar ke-16 di AS.
Itulah pentingnya modal. Modal minimum merupakan penyangga (buffer) yang dapat ditarik bank sehingga dapat menyerap kerugian. Komite Basel telah setuju untuk melembagakan penyangga di atas minimum. Ada dua jenis penyangga, yakni penyangga konservasi modal (capital conservation buffer) dan penyangga untuk melawan risiko siklikal (counter-cyclical buffer) (Thomas F Huertas dalam bukunya, Crisis: Cause, Containment and Cure, 2011).
Baca juga : KKN, Bahaya Laten Industri Keuangan Amerika Serikat
Penyangga konservasi modal adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi kerugian pada periode krisis. Penyangga untuk melawan risiko siklikal adalah tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Terkait itu, OJK dengan POJK No 12/ POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum telah menaikkan modal inti minimum bank secara bertahap menjadi Rp 1 triliun, Rp 2 triliun, dan Rp 3 triliun masing-masing pada 31 Desember 2020, 2021, dan 2022. Bank pembangunan daerah (BPD) bisa memenuhi kewajiban itu paling lambat 31 Desember 2024.
Modal inti merupakan keseluruhan modal yang dimiliki bank untuk menjalankan kegiatan usaha bank. Modal inti meliputi modal disetor ditambah keuntungan yang diperoleh setelah dipotong pajak. Modal inti sangat menentukan luas dan jangkauan kegiatan usaha bank. Makin perkasa modal inti, makin luas dan jangkauan kegiatan usaha bank. Kian kecil modal akan kian terbatas jangkauan kegiatan usaha bank.

Ketiga, saatnya bagi LPS untuk mempertimbangkan kenaikan jumlah penjaminan simpanan dari Rp 2 miliar menjadi Rp 3 miliar per nasabah per bank. Tujuannya, untuk meningkatkan kepercayaan pasar terhadap perbankan nasional. Inilah upaya resolusi dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Tidak ada kebijakan tentang resolusi yang berhasil tanpa adanya penjaminan simpanan penuh paling tidak pada jumlah tertentu. Tidak ada kebijakan tentang resolusi yang berhasil tanpa adanya penjaminan simpanan penuh paling tidak pada jumlah tertentu.Dengan demikian, penjaminan simpanan yang kokoh—yang mampu membayar simpanan yang diasuransikan segera setelah terjadi kegagalan bank—merupakan hal penting bagi sistem keuangan yang sehat (ibid).
Keempat, saat ini posisi devisa neto (PDN) tercatat 1,5 persen per Januari 2023, naik dari 1,23 persen per Desember 2022 jauh di bawah ambang batas 20 persen. Bank wajib memelihara PDN pada setiap akhir hari kerja setinggi- tingginya 20 persen dari modal.
Menurut Peraturan BI (PBI) No 17/5/PBI/2015 tentang Perubahan Keempat atas PBI No 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum, PDN adalah penjumlahan nilai absolut dari (a) selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap mata uang asing ditambah (b) selisih bersih dari tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontingensi dalam rekening administratif untuk setiap mata uang asing yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
Tidak ada kebijakan tentang resolusi yang berhasil tanpa adanya penjaminan simpanan penuh paling tidak pada jumlah tertentu.
Sekalipun PDN tampak aman sentosa, bank wajib meningkatkan kewaspadaan terhadap transaksi valas. Hal itu bertujuan untuk mitigasi risiko kredit dan pasar. Contohnya, kredit valas, transaksi treasury, dan perdagangan internasional (trade finance), seperti ekspor, impor, bank garansi, dan produk derivatif. Transaksi treasury, seperti placement, foreign exchange, dan money market, sangat erat kaitannya dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang bisa makin fluktuatif sebagai akibat kasus SVB.
Bank pun wajib lebih berhati-hati dalam transaksi trade finance, terutama letter of credit (L/C), supaya tidak terjadi L/C imitasi. Bank perlu meneliti syarat-syarat L/C termasuk tanda titik dan koma dalam persyaratan dokumen. Kesalahan minor itu bisa jadi perbedaan (discrepancies) dalam L/C sehingga dapat melahirkan kasus yang berpotensi kerugian tinggi hingga amat tinggi.
Kelima, dewasa ini beberapa bank papan atas telah mempunyai beberapa unit bisnis. Sebut saja bank digital, perusahaan asuransi, sekuritas, pembiayaan, percetakan, properti, dan jasa pengiriman. Karena itu, bank seperti ini— yang bisa dianggap sebagai konglomerasi bisnis—sudah sepatutnya telah menerapkan sistem manajemen risiko terintegrasi. Tatkala salah satu unit bisnis terpapar risiko kredit, pasar, operasional, atau likuiditas; tak berisiko sistemik bagi unit bisnis lainnya.

Surat pemberitahuan Silicon Valley Bank terpampang di kantor pusat bank tersebut di Santa Clara, California, AS, Jumat (10/3/2023). (Foto by NOAH BERGER / AFP)
Keenam, BI dan OJK hendaknya terus meningkatkan kewaspadaan. BI melakukan stress test kesehatan bank umum secara berkala dan tak berkala. Hal itu bertujuan untuk menakar seberapa jauh tingkat kesehatan bank umum pada periode tertentu.
Untuk individu perbankan, OJK wajib mengukur kecukupan likuiditas sekaligus stamina bank, dengan melihat rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100 persen. LCR adalah perbandingan antara high quality liquid asset (HQLA) dan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 hari ke depan dalam skenario stres.
HQLA adalah kas dan/aset keuangan yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank selama 30 hari ke depan dalam skenario stres. NSFR adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia dan pendanaan stabil yang diperlukan. Itu semua bertujuan untuk mitigasi risiko likuiditas.
Nah, ketika aneka jurus ampuh demikian telah dilaksanakan dengan saksama, perbankan nasional akan tetap sehat di tengah bangkrutnya SVB.
Paul SutaryonoPengamat Perbankan dan Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Paul Sutaryono