Nyepi di Tengah Kekerasan
Di saat kekerasan, terutama terhadap perempuan, terus-menerus menghantui hidup, sudah pada tempatnya kita bertanya: hendak ke mana engkau pergi, Nyepi? Sebaiknya perayaan tak cuma berhenti sebagai ritus ”an sich”.

Ilustrasi
Peringatan hari suci Nyepi 1945 Saka yang jatuh pada Rabu, 22 Maret 2023, mengundang beberapa pertanyaan hakikat dan mendasar.
Pertama, bagaimana umat Hindu melipatgandakan toleransi dan mulatsarira (introspeksi) untuk merengkuh kesejatian dalam kedamaian. Bagaimana Nyepi membuka ruang yang lebih lebar untuk memikirkan solusi dari rentetan kekerasan yang menimpa kaum perempuan dan anak-anak?
Secara lebih tegas, barangkali pertanyaan berikut menjadi penting: hendak ke mana engkau pergi, Nyepi? Sejak era Raja Kaniskha I di India, Nyepi diperingati sebagai perayaan Tahun Baru Saka, bertepatan dengan tahun 78 Masehi. Sesungguhnya, hari itu jatuh tepat pada tanggal 1 (sehari sesudah Tilem Kesanga—bulan mati kesembilan); bulan 1 (Caitramasa); tahun 01 Saka.
Pada saat itulah suku Saka menobatkan Kaniskha I sebagai raja yang menjadi simbol perdamaian antarsuku di India, yang sebelumnya berperang seolah tanpa henti. Dengan demikian, pertama-tama, Nyepi adalah peringatan atas penobatan Raja Kaniskha I di India. Kedua, ia juga representasi tercapainya perdamaian di seluruh tanah India. Ketiga, Nyepi menjadi penanda awal dimulainya perhitungan tahun Saka.
Pada tahun 456 Masehi atau 378 Saka, seorang pendeta Hindu bernama Aji Saka mendarat di Rembang, Jawa Tengah. Ia mengembangkan ajaran Hindu, sampai kemudian dianut sebagai agama kerajaan di era Majapahit (1293-1527). Kerajaan besar inilah yang kemudian meninggalkan warisan perhitungan kalender Saka ke seluruh Nusantara, termasuk kemudian disempurnakan di Bali, terutama saat pemerintahan dinasti Kerajaan Gelgel (1502-1686).
Baca juga : Sambut Nyepi dengan Pawai Ogoh-Ogoh
Baca juga : Ogoh-ogoh Kembali Warnai Nyepi di Bali
”Tapa bratha”
Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1287 Saka atau 1356 Masehi menyebut tentang perayaan Tahun Baru Saka oleh para raja Majapahit beserta keturunannya. Meski tak ada penyebutan tentang hari raya Nyepi, perayaan pada masa itu telah diperingati dengan menggelar ritual tawur, sebagai upaya penyeimbangan alam semesta beserta semua makhluk di dalamnya.
Acuan tentang ritual saat perayaan Tahun Baru Saka justru terdapat dalam kitab suci Yayur Weda XIX.30 yang berbunyi: Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Dalam terjemahan bebas seloka ini berarti ’Saat seseorang menjalankan bratha (laku asketisme), maka ia bisa mencapai diksa, yakni penyucian diri. Sementara lewat diksa, seseorang akan mencapai daksina, yaitu kehormatan; dengan daksina, seseorang akan memiliki sraddha, yaitu keyakinan; seterusnya ia akan mencapai kebenaran sejati’.
Kebenaran dalam seloka Yayur Weda inilah yang kemudian diturunkan ke dalam laku suci yang disebut Catur Bratha Penyepian, empat laku yang wajib dilakukan umat Hindu pada saat hari raya Nyepi. Pertama, amati gni (tak menyalakan api); kedua, amati karya (tidak bekerja); ketiga, amati lelungan (tak bepergian); dan keempat, amati lelanguan (berpuasa).

Keempat laku ini dalam kalender Saka susunan I Kt Bangbang Gde Rawi secara populer disebut juga dengan meditasi.
Sejak pagi hari pukul 06.00, 22 Maret 2023, umat Hindu mulai menjalankan meditasi sebagai pengejawantahan ritus diri dan ritus alam semesta. Laku meditasi baru berakhir keesokan harinya, tepat pukul 06.00, tanggal 23 Maret 2023.
Dalam durasi 24 jam, umat Hindu mematikan lampu di seluruh area rumah dan tempat- tempat lain sebagai simbolisasi terhadap pemadaman ”api” (amarah) di dalam diri; berdiam diri dengan cara memasuki alam sunya, keheningan yang memberinya kesempatan untuk mulatsarira; serta menahan diri untuk tak mengonsumsi hiburan dan makanan.
Pengendalian diri
Pentingnya ”api” di dalam diri harus dikendalikan perlu ditekankan karena di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat merugikan, yang dirumuskan dengan sebutan Sad Ripu, enam sifat buruk yang harus dikendalikan. Enam sifat buruk yang harus dikendalikan itu adalah kama (hawa nafsu), lobha (serakah), krodha (amarah), moha (kebingungan), mada (mabuk), dan matsarya (iri hati).
Pengendalian hawa nafsu dan keserakahan dengan berpuasa diharapkan membangkitkan kesadaran tentang rasa berbagi; penghormatan kepada makanan sebagai sumber energi kehidupan; yang pada akhirnya memberi kekayaan batin kepada manusia. Menekankan pentingnya mengendalikan perilaku yang merugikan keberadaan umat manusia di dunia.
Di saat kekerasan, terutama terhadap perempuan, terus-menerus menghantui hidup manusia, sudah pada tempatnya kita bertanya: hendak ke mana engkau pergi, Nyepi?
Banyaknya kasus kriminal yang tergolong sadis akhir-akhir ini, yang celakanya selalu menempatkan perempuan sebagai korban, tak bisa kita pahami lewat logika biasa. Di saat kekerasan, terutama terhadap perempuan, terus-menerus menghantui hidup manusia, sudah pada tempatnya kita bertanya: hendak ke mana engkau pergi, Nyepi? Bersama seluruh ajaran mulia di dalamnya, sebaiknya perayaan tak cuma berhenti sebagai ritus an sich.
Implementasi ajaran sebagaimana yang digaungkan oleh tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, ahimsa (tidak membunuh), harus menjadi pendorong utama pelaksanaan Catur Bratha Penyepian. Jika ajaran dalam Nyepi dianggap terlampau merujuk pada sesuatu yang meditatif, maka ahimsa bisa menjadi seruan pertama-tama atas nama cinta kasih, persaudaraan, dan humanisme.
Ajaran Gandhi yang begitu populer pada masa kolonialisme Inggris di India ini sebenarnya bersumber dari ajaran Hindu: Panca Yama Bratha.
Di dalamnya terdapat ajaran tentang ahimsa (tidak membunuh), brahmacari (tekun menuntut ilmu), satya (berlaku jujur), awyawahara (tidak terikat pada hal-hal duniawi), dan asteya (tidak mencuri atau memerkosa). Kelimanya sebenarnya merupakan ajaran hidup, yang menjadi pegangan manusia dalam membangun kehidupan yang bermartabat.
Jika ajaran dalam Nyepi dianggap terlampau merujuk pada sesuatu yang meditatif, maka ahimsa bisa menjadi seruan pertama-tama atas nama cinta kasih, persaudaraan, dan humanisme.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pula arak-arakan ogoh-ogoh yang dilakukan pada saat pengrupukan, petang hari sehari sebelum Nyepi, dikupas sebagai pembawa pesan tentang mulatsarira. Ajaran introspeksi ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengaca diri: sudahkah aku berlaku patut di hadapan Sang Pencipta dan orang-orang yang telah memberiku kehidupan nyata?
Bahwa lewat Nyepi, manusia diharapkan ”terlahir kembali” menjadi ”manusia baru”, yang dipenuhi cahaya belas kasih dan rasa persaudaraan yang subtil, yang pada akhirnya melahirkan manusia berakhlak mulia.
Putu Fajar Arcana, Sastrawan dan Wartawan Senior

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas