Hubungan manusia-sungai yang harmoni di sebagian besar tempat mengalami disintegrasi. Inti upaya untuk mengembalikan keharmonian dengan sungai adalah dengan menghormati fitur alami sungai dan layanan ekosistemnya.
Oleh
ISMUNANDAR
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Harian Kompas pada 23 dan 24 Februari 2023 menurunkan laporan mendalam kecenderungan peningkatan indeks risiko, frekuensi, dan korban terdampak akibat pelanggaran tata ruang di daerah aliran sebagian besar sungai kita. Hal ini dipertegas dengan catatan IB Putera Parthama di kolom opini Kompas 2 Maret 2023 yang berjudul ”Darurat DAS, Tata Ruang dan Pembangunan Sektoral”.
Sementara itu, UNESCO baru saja menerbitkan buku bebas akses di unesdoc.unesco.org berjudul River Culture: Life as a dance to the rhythm of the waters. Belajar dari 29 riwayat sungai-sungai besar dunia jelas bahwa manusia dan sungai pernah dan masih di beberapa tempat, hidup dalam harmoni. Tulisan ini menggunakan kacamata buku ini untuk merangkum makna sungai bagi kehidupan, tantangan terkini yang umum dihadapi sungai, dan upaya untuk kembali harmoni hakiki dengan sungai.
Banyak karya besar seniman bercerita, mengabadikan, atau merefleksikan hubungan manusia dengan sungai. Misalnya ”Bengawan Solo” karya almarhum Gesang, ”Sebiduk di Sungai Musi”, hingga foto atau lukisan yang memperlihatkan refleksi pemandangan di air. Di berbagai tempat, sungai telah dan masih dianggap simbol perubahan, penyucian, kesuburan. Sungai juga mendukung kehidupan dan kebudayaan.
Berbagai aspek ekonomi dan material dari peradaban berkait erat dengan sungai, dan karena itu mencerminkan perubahan tata nilai manusia dari waktu ke waktu. Banyak peradaban dunia tumbuh dan berkembang di tepian sungai. Di Tanah Air, misalnya, seminar DAS Brantas pada 2008 menunjukkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas menjadi saksi berkembangnya kebudayaan sejak Homo wajakensis hingga jatuhnya Kerajaan Kediri. Sungai memang erat kaitannya dengan kehidupan manusia.
Berbagai aspek ekonomi dan material dari peradaban berkait erat dengan sungai, dan karena itu mencerminkan perubahan tata nilai manusia dari waktu ke waktu.
Kaitan erat terjadi karena bentang sungai (riverscape), sebagai lawan dengan lanskap (bentang daratan, landscape), memiliki kekayaan dan warisan biologis, geofisika, dan budaya yang luar biasa. Daya yang dimiliki oleh aliran air dan daya larut air memberikan berbagai peluang pemanfaatan bagi manusia dan biota lain walau pada saat yang sama juga berisiko.
Dipadu dengan saling ketergantungan sistem sosial-ekologis dan lingkaran umpan baliknya, sungai memicu adaptasi dan membentuk keanekaragaman budaya (termasuk bahasa) manusia dan keanekaragaman hayati spesies hewan dan tumbuhan. Seiring waktu, beragam budaya berinteraksi (dan berevolusi bersama) dalam cara yang kompleks dan saling bergantung dengan ekosistem bentang sungai.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Sungai Brantas membelah Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (2/11/2021).
Revitalisasi budaya sungai yang pudar
Walau di beberapa tempat masih ada hubungan manusia-sungai yang harmoni, di sebagian besar tempat hubungan ini mengalami disintegrasi. Pola umumnya sama, budaya sungai menghadapi ancaman, dengan tiga ciri utama, yaitu (1) budaya sungai dianggap usang sehingga dilupakan, (2) homogenisasi struktur dan keragaman biokultur, serta (3) perubahan iklim dan meningkatnya kerawanan air. Keharmonisan manusia dan sungai hasil evolusi berabad-abad dianggap usang dan dilupakan, antara lain, karena perkembangan zaman memungkinkan pilihan-pilihan baru serta budaya lama tidak terdokumentasikan/terwariskan.
Sungai-sungai di berbagai belahan dunia strukturnya menjadi homogen, direkayasa agar sesuai untuk navigasi, tepiannya diperbaiki, jeramnya dibendung, dengan akibat biotanya menjadi didominasi oleh spesies yang kuat dan invasif saja. Di berbagai tempat, kerawanan air dan konflik penggunaan air terus meningkat, dan perubahan iklim disinyalir meningkatkan frekuensi dan magnitudo kerawanan ini.
Sungai-sungai di berbagai belahan dunia strukturnya menjadi homogen, direkayasa agar sesuai untuk navigasi, tepiannya diperbaiki, jeramnya dibendung.
Pudarnya budaya sungai atau peralihan dari kehidupan manusia yang awalnya didikte oleh sungai menjadi budaya dengan kontrol nyata atas dinamika alam dapat divisualisasikan dalam lima fase perkembangan manusia. Fase-fase ini tidak terjadi serentak di semua tempat dunia pada satu kerangka waktu sejarah, melainkan terjadi di semua ruang budaya dalam periode sejarah yang berbeda.
Tahap I, pada awal peradaban, sungai mengendalikan semua pilihan manusia, kemudian berkembang ke tahap II, di mana manusia mulai membuat tanggul dan bendungan lokal serta mulainya penggunaan sumber daya sungai secara intensif. Di tahap III, pada peradaban industri, terjadilah penurunan keanekaragaman biokultur sungai akibat berbagai pemicu stres (rekayasa sungai, polusi air).
Selanjutnya tahap IV, masa pascaindustri, pemerintah dan berbagai pihak berpartisipasi dalam kolaborasi untuk memulihkan kualitas lingkungan, dan ujungnya tahap V, masa depan yang ideal, di mana harmoni kembali terjadi antara manusia dan sungai. Dari tahapan ini, mungkin sebagian besar DAS kita kini di tahap II dan III. Bagaimana mempercepat ke tahap V?
JUMARTO YULIANUS
Para pedagang berkumpul untuk mengikuti Festival Pesona Pasar Terapung Lok Baintan 2019 di Sungai Martapura, sekitar Dermaga Bawah Jembatan Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Minggu (17/11/2019). Festival tahunan ini kembali digelar untuk melestarikan sekaligus mempromosikan wisata budaya Pasar Terapung Lok Baintan yang dikenal masih asli.
Inti upaya untuk mengembalikan keharmonian dengan sungai, seperti zaman nenek moyang kita walaupun mereka belum mengerti pembangunan berkelanjutan, adalah dengan menghormati fitur alami sungai dan layanan ekosistemnya. Ini berarti bahwa bentuk, budaya, dan tata guna lahan harus menghormati pola hidrologi alami (dalam bahasa teknisnya flood pulse, environmental flows). Tidak kalah penting adalah perhatian pada keterkaitan fisik-psikologis-spiritual masyarakat dengan sungai (misalnya ibadah, kesejahteraan, dan inspirasi).
Dengan belajar dari alam, pengetahuan tradisional, seni, dan pendekatan yang benar-benar inovatif, termasuk penggunaan ilmu dan rekayasa terbaru, kita dapat menemukan kembali keselarasan antara manusia dan sungai. Memahami unsur-unsur berkelanjutan dalam budaya masa lalu tetapi juga penyebab mengapa kita melupakan budaya sungai merupakan langkah penting untuk memilih, mengubah, dan mengintegrasikan kembali unsur-unsur tersebut ke dalam pengelolaan sungai yang ’bijak’.
Semua kita punya peran, tidak hanya ahli tata ruang, bahkan seniman. Seniman mungkin dapat menggugah dan mengubah keakraban kita dan sungai dengan cara-cara baru, karena kampanye sungai bersih kita selama ini belum efektif. Agar, seperti pesan almarhum Gesang, riwayat sungai-sungai kita mengalir sampai jauh.
Ismunandar, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO; Anggota AIPI