Impor Beras, Stabilisasi Harga, dan Restriksi Pasar Dunia
Pemerintah seharusnya hanya punya misi tunggal terkait impor beras, yaitu untuk menstabilkan harga beras di tingkat konsumen. Karena itu, kebijakan tarif impor lebih bernas dipilih daripada kebijakan kuota impor.

Ilustrasi
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa saat ini sulit memenuhi kebutuhan beras domestik dari impor karena negara-negara eksportir beras membatasi ekspor dalam rangka berjaga-jaga untuk kepentingan domestik mereka (Kompas.tv, 23/2/2023). Mengapa impor beras menjadi sulit bagi negara yang membutuhkan sumber pangan tersebut dari pasar dunia? Berikut ini penjelasannya:
Perang dan konflik Rusia-Ukraina telah melambungkan harga gandum dan biji-bijian di pasar dunia. Dua negara ini merupakan negara eksportir gandum dan serelia yang penting di dunia. Pada musim panen 2021/2022, produksi gandum Rusia diperkirakan mencapai 85 juta ton, rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Kontribusi produksi gandum Rusia pada musim tersebut diperkirakan sekitar 17 persen dari total produksi gandum dunia. Rusia merupakan salah satu eksportir terbesar gandum di dunia dan memiliki pangsa pasar sekitar 15 persen.
Baca juga: Ancaman Krisis Pangan
Baca juga: Implikasi Ekonomi Perang Rusia-Ukraina
Rusia juga dikenal sebagai produsen energi penting dunia. Menurut data International Energy Agency (IEA), pada 2021 posisi Rusia sebagai suplai energi dunia adalah produsen minyak mentah terbesar ke-2 di dunia setelah Arab Saudi, dan pada 2021, produksi minyak mentah Rusia sekitar 10,5 juta barel per hari atau sekitar 11,6 persen dari total produksi minyak mentah dunia.
Rusia juga adalah produsen gas alam terbesar di dunia. Pada 2021, produksi gas alam Rusia sekitar 634 miliar meter kubik atau sekitar 18,4 persen dari total produksi gas alam dunia. Rusia juga merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Pada 2021, produksi batubara Rusia sekitar 439 juta ton. Kontribusi produksi batubara Rusia pada tahun tersebut sekitar 5,9 persen dari total produksi batubara dunia.
Sementara Ukraina, produksi gandum negara ini di musim panen 2021/2022, mencapai 30,5 juta ton atau sekitar 6 persen dari total produksi gandum dunia. Ukraina juga merupakan produsen dan eksportir terbesar biji bunga matahari di dunia, dengan pangsa pasar sekitar 25 persen. Tidak mengherankan jika negara ini menjadi produsen dan eksportir terbesar minyak sayur di dunia, yang dibuat dari bahan baku biji bunga matahari.

Jadi dapat dibayangkan perang Ukraina telah menimbulkan suplai shock pangan dan sekaligus energi dunia yang menyebabkan harga gandum dan harga serealia dunia melambung secara signifikan. Harga gandum yang tinggi membuat lebih banyak konsumen dunia beralih ke beras sebagai substitusi. Oleh karena itu, dampak ikutan penting dari harga gandum yang melambung adalah permintaan beras global meningkat akibat konsumen gandum beralih ke beras dan akan menyebabkan guncangan permintaan beras secara global.
Padahal, pasar beras adalah tipis, hanya 7-10 persen surplus beras dunia yang diperjualbelikan di pasar dunia. Guncangan pasar pangan global yang diikuti dengan guncangan pasar energi telah menyebabkan kelangkaan pangan yang tinggi. Hal inilah yang kemudian menghadirkan restriksi ekspor beras oleh negara-negara eksportir beras dalam rangka menjaga kepentingan suplai pangan domestik mereka.
Untuk setiap kenaikan 1 persentase harga pangan, tambahan 10 juta orang diperkirakan akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, khususnya untuk sebagian besar Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah.
Jauh sebelum Rusia menginvasi Ukraina, kerawanan pangan telah mencapai rekor tertinggi. Karena pandemi, kekeringan, dan konflik regional lainnya, hampir 770 juta orang kelaparan pada tahun 2021—jumlah tertinggi sejak 2006. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO, memperkirakan perang di Ukraina meningkatkan jumlah orang yang kekurangan gizi hingga 13 juta orang pada 2022 dan 17 juta orang lagi pada 2023. Sementara itu, Bank Dunia mengingatkan bahwa untuk setiap kenaikan 1 persentase harga pangan, tambahan 10 juta orang diperkirakan akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, khususnya untuk sebagian besar Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah, di mana konsumsi bahan pokok melebihi produksi.
Dampak negatifnya sangat besar dirasakan oleh negara-negara di Timur Tengah dan Afrika yang bergantung pada impor dari Ukraina dan Rusia. Mesir telah meminta bantuan IMF, inflasi di Turki telah melonjak hampir 80 persen, sementara Bank Dunia menggambarkan krisis di Lebanon sebagai salah satu yang paling parah dalam 100 tahun terakhir.
Baca juga: Instabilitas Harga Pangan Picu Kemiskinan Warga
Harga makanan pokok seperti roti, pasta, dan minyak goreng naik dengan cepat. Sepotong roti di Bulgaria harganya hampir 50 persen lebih mahal di bulan Juni 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Minyak goreng di Spanyol sekarang hampir dua kali lebih mahal di tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya dan harga gula di Polandia telah meningkat 40 persen.
Pengalaman juga menunjukkan bahwa krisis pangan bisa berimbas kepada guncangan politik. Lonjakan harga pangan pada 2007-2008 dan 2010-2011 mengakibatkan kerusuhan di seluruh dunia, dan harga pangan yang melambung tinggi merupakan faktor kunci pemacu kerusuhan melanda Sri Lanka pada Juli 2022.

Stabilisasi harga
Impor beras adalah niscaya sebagai alat untuk menstabilkan harga domestik. Tetapi, di kita, anomali yang muncul karena impor beras yang seharusnya menjadi alat stabilisasi harga ternyata tidak mampu menekan harga beras yang tinggi. Padahal, Januari 2023 dilakukan impor beras dalam jumlah yang tinggi. Volume impor beras Januari 2023 sebesar 243,65 juta kilogram atau naik 550,01 persen year on year jika dibandingkan impor beras Januari tahun 2022 yang sebesar 37,48 juta kilogram.
Impor beras ini sama sekali tidak berdampak terhadap harga beras. Harga beras masih tetap meningkat. Kita ambil contoh di daerah sentra produksi Cirebon, Jawa Barat, harga beras di September 2022 adalah Rp 11.350, pekan pertama Desember Rp 11.650, di akhir Januari 2023 menjadi Rp 11.700, dan di pekan pertama Maret 2023 ini naik lagi menjadi Rp 12.300.
Fenomena yang simetris kita lihat juga di daerah konsumsi penting, bahkan menjadi barometer harga beras nasional, yakni DKI Jakarta. Harga beras di Jakarta di September 2022 adalah Rp 13.550, naik menjadi Rp 14.000 di pekan pertama Desember 2022, naik lagi menjadi Rp 14.300 di akhir Januari 2023, dan naik lagi menjadi Rp 14.400 di awal Maret 2023.
Kebijakan tarif impor lebih bernas dipilih karena akan menghilangkan distorsi yang timbul karena kebijakan kuota impor di atas. Semua importir bisa impor tanpa harus mendapatkan persetujuan kuota dari pengambil kebijakan.
Pemerintah seharusnya hanya punya misi tunggal terkait impor ini bahwa impor beras yang dilakukan adalah untuk menstabilkan harga beras di tingkat konsumen. Agar tujuan ini tercapai, biaya transaksi impor harus ditekan dan pasar impor dijadikan kompetitif tidak distortif seperti saat ini. Untuk menekan biaya transaksi, kebijakan kuota impor seharusnya dihilangkan, karena kebijakan ini berimplikasi menciptakan distorsi pasar impor.
Importir tertentu akan mencoba untuk melobi pemerintah untuk mendapatkan kuota impor yang sebanyak-banyaknya. Lobi ini berimplikasi biaya dalam bentuk fee impor untuk pihak-pihak yang berwenang memberikan izin impor tersebut. Pasar impor pangan menjadi terdistorsi dan harga tidak bisa diturunkan karena biaya transaksi dalam bentuk fee impor dan insentif ilegal lainnya yang diberikan kepada para pengambil kebijakan itu semua akan dibebankan kepada masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan harga menjadi sulit turun di pasar.
Kebijakan tarif impor lebih bernas dipilih karena akan menghilangkan distorsi yang timbul karena kebijakan kuota impor di atas. Semua importir bisa impor tanpa harus mendapatkan persetujuan kuota dari pengambil kebijakan. Kontrol impor dilakukan dari harga domestik yang terjadi dan waktu impor yang rentang waktunya tidak boleh bersamaan dengan waktu panen petani. Jadi, ketika harga domestik telah sesuai dengan yang ditargetkan, impor dihentikan. Begitu juga dari sisi waktu impor, sebulan sebelum panen raya dan sebulan sesudahnya impor ditiadakan.
Baca juga: Basis Ketahanan Pangan Nasional
Satu lagi yang tidak kalah penting adalah monopoli impor. Kebijakan ini juga menyebabkan impor gagal menekan harga beras domestik. Menetapkan importir tunggal dalam impor pangan kepada Bulog menyebabkan timbulnya biaya transaksi implikasi dari terjadinya perburuan rente. Akibatnya, sekali lagi, biaya-biaya itu semua akan dibebankan kepada masyarakat konsumen dan berdampak harga beras domestik gagal atau menjadi sangat lamban untuk turun seperti yang ditargetkan.
Andi Irawan, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu; Ketua Bidang Kebijakan Publik Perhimpunan Akademisi dan Saintis Indonesia (Asasi)

Andi Irawan