Penyelamatan Bank Bermasalah di Amerika, Cegah Krisis Global
Penanganan cepat dan tepat oleh otoritas keuangan dan moneter-perbankan terhadap Silicon Valley Bank dan Signature Bank akan menghambat perkembangan kasus ”bank run” menjadi seperti krisis finansial global tahun 2008.

Ilustrasi
Penanganan cepat dalam rangka penyelamatan dua bank yang cukup besar di Amerika Serikat, yaitu Silicon Valley Bank dan Signature Bank, dilakukan oleh otoritas keuangan dan moneter-perbankan AS. Kedua bank terancam kolaps akibat penarikan dana nasabah secara masif (bank run).
Penanganan dilakukan oleh trio otoritas, Menteri Keuangan Janet Yellen, Ketua Bank Sentral AS (Federal Reserve) Jerome Powell, dan Presiden Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Martin Gruenberg.
Penanganan cepat dan tepat oleh otoritas keuangan dan moneter-perbankan terhadap kedua bank tersebut membuat saya meyakini kasus ini tidak akan berkembang dengan dampak penularan ke bank-bank lain. Dengan kata lain, kepanikan yang terjadi akan berhenti dan kondisi akan kembali stabil, tidak akan berkembang menjadi seperti krisis finansial global (global financial crisis/GFC) tahun 2008.
Baca juga : Pelajaran dari Kerapuhan SVB
Baca juga : BI: Jatuhnya Tiga Bank AS Tak Berdampak Besar pada Indonesia
Silicon Valley Bank (SVB) yang memegang deposito nasabah senilai 120 miliar dollar AS dalam dua hari kehilangan 45 miliar dollar AS karena terkena rush. Sementara Signature Bank kebanyakan nasabahnya adalah perusahaan yang bergerak dalam perdagangan kripto (crypto currencies), yang akhir-akhir ini sedang kedodoran. Karena itu, keduanya mengalami masalah dan membutuhkan penanganan cepat dan tepat oleh otoritas keuangan dan moneter-perbankan.
Sebelumnya, pada 8 Maret 2023, Silvergate Capital Corporation (SCC), perusahaan holding Silvergate Bank, juga memutuskan menutup operasionalisasi dan melikuidasi secara sukarela Silvergate Bank. Keputusan menghentikan operasionalisasi dan melikuidasi Silvergate Bank diambil menyusul aksi penarikan dana secara masif oleh nasabah selama triwulan IV-2022 hingga lebih dari 8 miliar dollar AS.
Silvergate Bank, yang juga salah satu bank besar di industri kripto dengan aset 11 miliar dollar AS, berjuang berbulan-bulan untuk keluar dari krisis sebelum akhirnya diputuskan ditutup dan dilikuidasi oleh perusahaan induknya. Untuk memenuhi penarikan dana oleh nasabah tersebut, Silvergate Bank terpaksa menjual surat-surat berharga yang dimiliki dengan harga diskon sehingga mengalami kerugian sangat besar, mencapai 1,05 miliar dollar AS.

Otoritas Jasa Keuangan memastikan penutupan Silicon Valley Bank di Amerika Serikat tak berdampak langsung ke Indonesia.
Tak separah 2008 dan 1997
Penanganan cepat dan tepat oleh otoritas keuangan dan moneter-perbankan AS terhadap SVB dan Signature Bank membuat saya berpendapat bahwa kasus ini tidak akan berkembang menjadi seperti krisis finansial 2008 dengan dampak penularan ke bank-bank lain dan akan berhenti stabil.
Krisis finansial AS tahun 2008 yang kemudian berdampak global itu terjadi menyusul musibah pinjaman hipotik bawah standar (subprime mortgage loans) yang menjalar sampai ke megabank Wallstreet, Lehman Brothers, dan akhirnya jadi krisis finansial global.
Menurut saya, apa yang terjadi pada perbankan AS saat ini juga tak separah apa yang kita alami pada 1997 saat berkecamuknya krisis keuangan Asia.
Mungkin bisa dikatakan terjadi sedikit penularan terhadap perbankan di Swiss, seperti dialami Credit Suisse. Barangkali karena keterpaparan (exposure)-nya terhadap SVB dan Signature Bank, harga saham di pasar modal dari bank kedua terbesar di Swiss itu anjlok hingga 24 persen.
Kerja sama otoritas yang sangat rapi perlu dipelajari para pejabat kita jika nanti diperlukan.
Namun, manajemen Credit Suisse langsung melakukan tindakan penyelamatan dengan meminjam melalui fasilitas bank sentralnya, The Swiss National Bank, sebesar 30 miliar dollar AS dan sesudah itu keadaan kembali normal. Otoritas keuangan Swiss bergegas menyelamatkan Credit Suisse mengingat pentingnya posisi bank ini dan untuk menepis efek sistemik ke perbankan internasional.
Tekanan juga dialami First Republic Bank di Louisville, Kentucky, AS, sebagai imbas dari krisis yang dialami SVB. First Republic Bank mendapat suntikan deposit senilai 30 miliar dollar AS (setara sekitar Rp 461 triliun dengan kurs Rp 15.400 per dollar AS) dari beberapa bank sebagai paket penyelamatan. Mereka termasuk JPMorgan Chase & Co (JPM.N), Citigroup Inc (C.N), Bank of America Corp (BAC.N), Wells Fargo & Co (WFC.N), Goldman Sachs Group Inc (GS.N), Morgan Stanley (MS.N), dan bank-bank besar lain.
Saya melihat penanganan dari trio Yellen, Powell, dan Gruenberg sebagai suatu penyelamatan bank yang menggunakan kombinasi penyelamatan bank bermasalah dengan teknik bail-in dan bail-out secara bersamaan. Yang digunakan adalah dana dari asuransi deposito (FDIC), selain juga dana dari pemilik bank dan pemegang saham.
Artinya, tak murni bail-out dengan menggunakan dana anggaran. Pemilik bank dan pemegang saham dibiarkan merugi, tetapi pemegang deposito terselamatkan, bahkan deposan dengan simpanan di atas maksimum penjaminan sebesar 250.000 dollar AS. Kerja sama otoritas yang sangat rapi perlu dipelajari para pejabat kita jika nanti diperlukan.

infografik Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB)
Secara teori ataupun pengalaman sejarah penyelamatan bank, yang terpenting di sini adalah pengembalian kepercayaan nasabah dan masyarakat sehingga mereka berhenti menarik dana mereka dari bank dan tetap menggunakan jasa perbankan dalam kegiatan ekonomi mereka, baik untuk keperluan konsumsi, perdagangan, maupun investasi.
Ini tampaknya tercapai dalam kasus SVB dan Signature Bank. Untuk melengkapi semua ini, bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB), juga mengumumkan siap memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas.
Dari penyelamatan yang sudah dilakukan dan kesiapan bank-bank sentral tersebut, saya tidak melihat akan terjadinya penularan (contagion) seperti yang berkembang pada 2008 di AS atau tahun 1997 di Asia, terutama Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan.
Pengalaman Indonesia
Sebagai orang yang mempunyai pengalaman menangani krisis perbankan dengan segala dramanya, saya ingin sedikit bercerita kembali apa yang terjadi di bulan-bulan menjelang akhir 1997 dan awal 1998 di Indonesia.
Secara khusus, saya ingin kembali ke sejarah cukup hitam perjalanan perbankan kita waktu itu. Pada Juli 1997, berkembang suatu musibah, di mana mata uang Thailand, baht, mengalami tekanan luar biasa. Tekanan itu disebabkan pembelian besar-besaran dollar AS, yang menyebabkan mengeringnya deposito bank-bank untuk membiayai pembelian valas, dan terjun bebasnya kurs baht terhadap dollar AS. Hal ini kemudian menjalar melalui dampak penularan (contagion effect) ke negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.
Kiranya tidak ada alasan lain kecuali bahwa mungkin keluarga Cendana murka terhadap saya karena tiga dari bank yang dilikuidasi adalah milik mereka.
Di Indonesia, serangan seperti terhadap baht Thailand berkembang pada Oktober 1997. Pembelian dollar AS terjadi secara besar-besaran, dibiayai oleh pembeli dengan menarik dana dari deposito mereka di bank-bank. Terjadi bank run terhadap banyak bank swasta, terutama untuk membiayai pembelian dollar AS atau untuk dipindahkan ke deposito dollar AS di bank domestik atau dikirim ke luar, ke Singapura dan Hong Kong.
Dalam khazanah keuangan, pemindahan ke dollar AS ini disebut sebagai flight to quality, sedangkan pengiriman dana ke bank di luar Indonesia dinamakan flight to safety.
Pada waktu itu, penanganan oleh Bank Indonesia (BI), di mana saya menjabat gubernur, adalah, pertama, menghadapi pembelian dollar AS dengan menjual cadangan yang dipegang BI. Dan, sebagai lender of last resort (LoLR), BI memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami pengurasan dana karena penarikan deposito secara ”berjemaah” dan dalam jumlah besar oleh nasabah, yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kemudian, pemerintah memutuskan meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) guna memperkuat rupiah dan menyelamatkan perbankan serta mengembalikan kestabilan secara makro agar perekonomian bisa terus berjalan, tidak hancur.
Dalam kesepakatan dengan IMF untuk memperoleh pinjaman 10 miliar dollar AS, kita diminta menertibkan perbankan, artinya membantu likuiditas yang bisa diselamatkan dan melikuidasi yang tidak sehat (solvent).
BI memutuskan melikuidasi 16 bank yang tidak solvent dan melaksanakan langkah restrukturisasi dengan mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Program tersebut berjalan, tetapi tidak semuanya lancar. Penutupan bank berjalan mulus, tetapi berekor sampai ke situasi yang tidak mengenakkan, termasuk pemberhentian sebelum waktunya terhadap hampir semua direktur BI di bawah saya.
Di tengah kemelut perbankan, di mana BI adalah otoritas moneter yang mempunyai tanggung jawab sebagai LoLR dan pengawas bank-bank (saat itu belum ada Otoritas Jasa Keuangan), ada kejutan pada Desember 1997. Empat dari tujuh direktur BI (deputi gubernur dalam sistem yang sekarang) diganti oleh Presiden Soeharto, tanpa berdiskusi sebelumnya dengan saya.
Kemudian, pada 11 Februari 1998, giliran saya juga diberhentikan sebagai gubernur BI, satu setengah bulan sebelum berakhirnya masa jabatan. Resminya, melalui keputusan presiden (keppres), saya diberhentikan dengan hormat, tetapi bahasa terangnya dipecat karena menurut Undang-Undang BI yang berlaku, masa jabatan saya masih satu setengah bulan lagi. Tiga direktur lain menyusul diganti pada Mei 1998.
Teka-teki yang tidak terjawab sampai sekarang adalah mengapa saya diberhentikan dengan cara demikian? Adakah saya membuat kesalahan? Tentunya tidak karena keppres menyatakan saya diberhentikan dengan hormat.
Empat dari tujuh direktur BI (deputi gubernur dalam sistem yang sekarang) diganti oleh Presiden Soeharto, tanpa berdiskusi sebelumnya dengan saya.
Kiranya tidak ada alasan lain kecuali bahwa mungkin keluarga Cendana murka terhadap saya karena tiga dari bank yang dilikuidasi adalah milik mereka. Jadi, menurut penalaran saya, Presiden Soeharto setuju dengan usul penutupan 16 bank sehingga karena itu keputusan tersebut tidak diubah. Semua dilaksanakan dengan baik.
Akan tetapi, karena buat keluarga apa yang saya lakukan itu membuat malu, maka saya perlu diperingatkan dengan dipecat. Pemberitaan di koran-koran tidak ada yang menggunakan istilah pemecatan, kecuali koran luar negeri, seperti International Herald Tribune, New York Times, dan Washington Post; yang semua menyebutkan bahwa ”BI Governor Djiwandono was fired by President Suharto due to differences in policy”.
Banyak yang bertanya, mengapa saya diam saja. Jawabannya, karena memang tidak ada yang bisa dilakukan. BI waktu itu belum berstatus mandiri. Gubernur diberi posisi sebagai menteri negara, menjadi anggota kabinet. Dalam sistem presidensial, menteri adalah pembantu presiden yang bisa diberhentikan setiap saat. Jadi, saya tak punya senjata hukum untuk menolak keputusan presiden tentang pemecatan tersebut.
J Soedradjad Djiwandono, Guru Besar Ekonomi Emeritus FEB UI; Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), NTU Singapura
