Sentraliasi perizinan pemanfaatan ruang laut implementasi UU Cipta Kerja layak direvisi total agar memiliki efek berganda ekonomi kepada masyarakat dan memberi kontribusi signifikan ke PAD.
Oleh
OKI LUKITO
·3 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan sementara seluruh pengoperasian aktivitas wisata bahari, tepatnya resor dan wisata di Pulau Bawah, Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau (Kompas.com, 11/3/2023). Hal itu dilakukan karena perusahaan yang besangkutan tidak memiliki izin pemanfaatan ruang laut, wilayah pesisir, dan pulau kecil. Salah satunya tidak memiliki dokumen persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut atau PKKPRL.
Sebulan sebelumnya, KKP juga menghentikan dua proyek reklamasi di Kepulauan Riau karena tidak memiliki izin reklamasi dan PKKPRL. Izin ini diterbitkan berdasarkan kesesuaian zona pemanfaatan ruang laut yang dipetakan di materi teknis perairan pesisir (Matek PP).
Sebagai catatan, setidaknya sudah 16 provinsi memiliki Matek PP yang telah disetujui Menteri Kelautan dan Perikanan untuk diintegrasikan dengan tata ruang darat menjadi tata ruang wilayah provinsi. Persetujuan menteri tersebut dijadikan rujukan investor mengajukan perizinan berusaha serta menanamkan modalnya di perairan pesisir dan laut. Pilihan usahanya bisa beragam, antara lain wisata bahari atau resor, tambak intensif, budidaya ikan offshore (menggunakan teknologi tinggi, modern, dan berskala besar), pelabuhan, pengeboran minyak dan gas lepas pantai, galangan kapal, serta reklamasi untuk berbagai keperluan lainnya.
Untuk mendapatkan izin PKKPRL reklamasi, misalnya, dibutuhkan waktu hitungan bulan, sarat birokrasi dan terindikasi biaya tinggi walaupun prosedurnya sudah disederhanakan melalui layanan satu pintu, Online Single Submission (OSS) yang difasilitasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Calon investor juga harus melengkapi dokumen amdal yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah, studi batimetri, serta rekomendasi dari salah satu instansi militer terkait keamanan alur pelayaran dan bebas kawasan berbahaya dan terlarang.
KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA
Pelancong di Air Terjun Temburun, Anambas, Kepulauan Riau. Anambas dijuluki sebagai Mutiara Laut China Selatan dan disebut sebagai salah satu tempat wisata bahari terbaik di Bumi. Foto diambil beberapa waktu lalu. Pengelolaan wisata bahari oleh swasta harus ada persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut.
Cenderung pelanggaran
Calon investor juga harus mendapat lampu hijau dari Departemen Perhubungan (Dirjen Hubla), Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), untuk clearance apakah wilayah tersebut masuk atau tidak dalam Rencana Induk Pelabuhan (RIP), Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp), maupun Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Pelabuhan. Peraturan terbaru pengajuan izin reklamasi juga harus dilengkapi studi geoteknik untuk mengukur tingkat kekerasan dasar laut.
Belum selesai sampai di situ, prosedur lainnya investor harus mendapatkan izin reklamasi dari dinas lingkungan hidup dan kehutanan (DLKH) setempat sebelum dapat mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) di pemkab atau pemkot serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendapatkan surat tanah (HGB di atas HPL). Bagi kegiatan usaha yang sudah berlangsung lama sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tetap dapat mengurus perizinan dengan memanfaatkan skema keterlanjuran walaupun tidak jelas dasar hukumnya dan cenderung pelanggaran.
Implementasi UU Cipta Kerja dalam produk PKKPRL ternyata juga belum memberikan banyak manfaat serta kontribusi yang signifikan untuk penerimaan daerah.
Implementasi UU Cipta Kerja dalam produk PKKPRL ternyata juga belum memberikan banyak manfaat serta kontribusi yang signifikan untuk penerimaan daerah (PAD). Termasuk mengesampingkan amanat UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 27 Ayat (3) di mana kewenangan pengelolaan laut daerah provinsi di atur paling jauh 12 mil dari garis pantai. Contoh, untuk pengajuan izin reklamasi, misalnya, dikenai tarif Rp 18 juta per hektar yang disetorkan ke kas negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sebagai referensi, selama puluhan tahun ratusan pelabuhan komersial yang dikelola swasta dan BUMN ataupun semua aktivitas di perairan pesisir, seperti pemanfaatan Alur Pelabuhan Barat Surabaya (APBS) atau tol laut berbayar yang 90 persen sahamnya dikuasai PT Pelindo, selama ini zero kontribusi ke kas daerah Provinsi Jawa Timur. Padahal, APBS berada di bawah 12 mil laut yang kewenangan pengelolaannya oleh Provinsi Jawa Timur.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Perahu nelayan ditambatkan di Pantai Pancer Puger di Puger Kulon, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/12/2021). Matek Perairan Pesisir Jawa Timur mengakomodasi usulan salah satu perusahaan swasta untuk membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke Samudra Hindia yang masuk kawasan budaya maritim.
Hal lain yang sangat ironis, dampak dari implementasi UU Cipta Kerja yang kontroversial tersebut, mengizinkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang ke laut. Matek Perairan Pesisir Jawa Timur yang disetujui Menteri Kelautan dan Perikanan per tanggal 31 Oktober 2022 mengakomodasi usulan salah satu perusahaan yang sarat limbah B3 di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi untuk membuang limbah B3 ke laut lepas (Samudra Hindia).
Limbah disalurkan dari darat melalui pipa raksasa, ditampung di dalam palung atau tempat pembuangan buatan (bunker) dengan kedalaman sekitar 800 meter. Padahal, lokasi yang berdekatan dengan perkampungan nelayan Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran, tersebut masuk dalam kawasan budaya maritim dan menjadi area lalu lintas ikan pelagis besar dan kecil serta jalur imigrasi penyu yang banyak bertelur di Taman Nasional Meru Betiri.
Ketentuannya tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang ke laut. Merunut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021, ketentuan pembuangan limbah diatur. Berdasarkan Pasal 198 Permen LHK ini, limbah yang dapat dibuang ke laut meliputi limbah B3 berupa tailing, salah satunya produk dari kegiatan pengolahan hasil pertambangan. Sentraliasi perizinan Pemanfaatan Ruang Laut implementasi UU Cipta Kerja layak direvisi total agar memiliki efek berganda (multiplier effect) ekonomi kepada masyarakat, memberi kontribusi signifikan ke PAD, serta tidak memicu pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan; Pengurus Kadin Jawa Timur