Transformasi Koperasi Nelayan
Terbitnya PP No 11/2023 menjadi babak baru dalam tata kelola koperasi perikanan, nelayan kecil harus berkoperasi untuk mendapat kuota tangkap. Koperasi dapat dibangun dengan budaya yang mengakomodasi nelayan kecil.

Ilustrasi
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, salah satunya mengamanatkan nelayan kecil berkoperasi. Kalau kita sedikit runut ke belakang, saat ini nelayan di Indonesia mencapai 2,3 juta jiwa. Sebanyak 56 persen merupakan nelayan motor tempel dan perahu tanpa motor.
Kelompok ini tergolong ke dalam hampir 70 persen nelayan kecil (small scale fisheries) yang mendominasi usaha penangkapan kita. Selain memiliki kegesitan (agility)tinggi dalam usaha, kelompok ini juga termasuk yang rentan terhadap risiko, termasuk kebijakan yang tidak menguntungkan.
Kehadiran PP No 11/2023 tersebut mengubah tatanan nelayan skala kecil. Peraturan pemerintah tersebut turut memengaruhi keberadaan nelayan kecil dalam memainkan peran strategis dan turut menjamin suplai ikan hasil tangkapan.
Baca Juga: Neoliberalisme Perikanan Terukur
Sejak 2015 pembangunan perikanan termasuk tidak kondusif, dan keberlanjutan pasokan ikan (sustainability fish supply) terdistorsi karena terjadi dekonstruksi armada kapal besar. Selama enam tahun terakhir terjadi penurun 11,1 persen (kata data, 2015-2022).
Dekonstruksi kapal, kenaikan harga solar nelayan, serta harga ikan yang tidak stabil termasuk memengaruhi kesediaan pangan dari ikan. Dalam konteks perikanan usaha perikanan tangkap, terjadi perubahan (shifting) produksi, dari produksi yang dominan kapal besar menjadi kapal kecil.
Namun, sebaliknya, dalam industri pengolahan terjadi shifting dari UMKM menjadi usaha besar dan sedang. Sehingga kemudian hal ini berdampak kepada peningkatan bahan baku. Kelompok usaha masyarakat yang sudah berkembang, yang sebelumnya belum terkelola, kini menghadapi transformasi besar dengan kewajiban berkoperasi.

Pekerja mengisi sejumlah ember besar dengan ikan di salah satu lapak di Pasar Ikan Modern Muara Baru, Jakarta Utara, Kamis (26/8/2021).
Transformasi
Dengan adanya PP No 11/2023 tersebut, kebiasaan menangkap berdasarkan kapasitas personal akan bertransformasi menjadi institusi yang disebut koperasi atau PT (perseroan terbatas). Kenapa koperasi kini muncul, setidaknya ada tiga alasan penting sebelum menerapkan penangkapan ikan terukur pada perikanan skala kecil melalui koperasi nelayan.
Catatan pertama, menyiapkan bentuk sistem koperasi untuk melayani kebutuhan nelayan. Pilihan pertama koperasi dengan sistem usaha sejenis dengan satu aktivitas (SUS-SA), bentuk koperasi perikanan khususnya penangkapan. Koperasi dengan sistem usaha sejenis satu aktivitas hanya mengatur pendataan dan pendistribusian kuota ke nelayan.
Pilihan kedua sistem usaha sejenis dengan multiaktivitas (SUS-BA) bentuknya koperasi perikanan yang melayani juga lelang, dan distribusi bahan baku. Sementara satu jenis dengan multiaktivitas dapat mencakup mengelola kuota dan hasil tangkapan termasuk mengawal mekanisme lelang dan pendistribusi bahan baku industri olahan. Dalam konteks ini perlu pengembangan ruang lingkup koperasi yang lebih besar dengan peran dan tanggung jawab yang juga lebih besar.
Dengan adanya PP No 11/2023 tersebut, kebiasaan menangkap berdasarkan kapasitas personal akan bertransformasi menjadi institusi yang disebut koperasi atau PT (perseroan terbatas).
Pilihan ketiga dengan sistem usaha multijenis dan multiaktivitas (SUM-MA), koperasi umum yang melayani usaha perikanan sampai pendanaan. Koperasi multijenis dan multiaktivitas ini dapat hadir dalam satu lingkungan usaha perikanan dengan holding koperasi besar atau perseroan yang dikelola daerah.
Catatan kedua, menyiapkan mekanisme usaha koperasi yang tepat untuk nelayan. Usaha koperasi dapat hanya yang bergerak di hulu (mendapatkan kuota tangkap dan mendistribusikan ke nelayan). Dapat juga usaha koperasi yang berkolaborasi dalam semua rantai usaha perikanan, serta koperasi yang berkolaborasi dalam penangkapan, pemasaran, sampai integrasi produk olahan.
Catatan ketiga soal perlindungan usaha nelayan kecil dan koperasi nelayan untuk memastikan keberlanjutan usaha, pendapatan, dan keberlanjutan kehidupan nelayan. Dalam hal perlindungan usaha nelayan, koperasi perlu memastikan usaha nelayan berjalan, pendapatan, dan kesejahteraan terukur. Selama ini banyak koperasi dibangun sekedar untuk menerima paket bantuan sehingga selesai program, koperasi juga tidak berkembang.
Baca Juga: Publik Cemaskan Kondisi Nelayan
Dalam urusan perkoperasian, penulis menekankan pentingnya peran daerah memberikan fasilitasi dan dukungan. Keberadaan dan kehadiran pemerintah daerah sebagai bentuk dukungan dalam masyarakat nelayan agar sistem usaha perikanan dapat berkembang dan tumbuh.
Mekanisme koperasi yang harus dibangun adalah yang mampu memberikan kemudahan nelayan dalam akses kuota, menyiapkan operasi penangkapan dan mengelola hasil tangkapan. Jangan sampai kemudian koperasi dibangun malah membuat sistem yang menyulitkan masyarakat atau hanya menguntungkan koperasi. Kehadiran koperasi harus mempermudah bukan mempersulit, siapa yang akan mengawal ini dalam konteks PP No 11/2023 ini.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki (tiga dari kiri) berdialog dengan para nelayan di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Jumat (2/10/2020). Pemerintah mendorong tumbuhnya koperasi di sektor perikanan yang saat ini jumlhanya hanya 7 persen dari total koperasi se Indonesia yang mencapai 123.000 koperasi namun jumlah koperasi di sektor perikanan hanya 7 persen.
Syarat koperasi
Ada empat syarat yang harus dipersiapkan agar dalam transformasi koperasi nelayan. Pertama, koperasi yang dibentuk nelayan atau sudah eksis harus ada dalam lingkungan nelayan setempat. Koperasi pengelola kuota tidak sekadar jadi agen pembagi kuota, tetapi juga pengelola data hasil tangkapan nelayan. Nelayan yang mendapatkan kuota adalah nelayan yang benar terdaftar dalam lingkungan koperasi, dan bukan nelayan afirmasi.
Kedua koperasi yang bangun harus mudah dikelola (manageable), berbasis teknologi informasi, dan terintegrasi pelabuhan. Mekanisme perikanan terukur bisa diakselerasi menjadi lebih bagus menuju perikanan presisi dengan membangun koperasi presisi. Untuk itu, pengelola koperasi perikanan untuk skala kecil juga memiliki kapasitas yang mumpuni dan sistem pendataan perikanan.
Ketiga, koperasi nelayan sebaiknya terintegrasi model tekfin sebagai upaya memperlancar penjualan hasil tangkapan. Karena karakter nelayan yang selalu pendapatan langsung, baik tunaii (cash)maupun nontunai (lesscash), maka peran tekfin dapat dilibatkan. Selain itu memperkuat modal usaha nelayan juga dapat dilakukan secara langsung oleh nelayan. Dengan kehadiran koperasi yang dilayani sistem keuangan yang baik, perlindungan terhadap nelayan juga terakomodasi.
Baca Juga: Tantangan Nelayan Melek Koperasi
Keempat, menyiapkan sistem tata kelola koperasi yang adaptif terhadap teknologi “smart koperasi”. Kemampuan pengelola koperasi harus standar dengan wawasan perikanan yang baik, sistem teknologi yang baik. Selain itu juga harus terintegrasi dengan pelabuhan agar dapat menyiapkan pusat pendaratan ikan yang bersih dan sehat. Jika koperasi tidak mampu beritegrasi dengan pelabuhan, maka akan mengesankan koperasi hanya sebagai agen pembagi kuota.
Dengan empat syarat di atas, maka amanat PP No 11/2023 terkait kuota melalui koperasi adalah bagian dari transformasi menuju sistem usaha perikanan yang lebih baik, bukan sebagai agen baru yang akan turut mengeksploitasi nelayan. Semoga menteri kelautan dan perikanan bisa menbaca ini dengan baik dan menyiapkan skema yang tepat untuk nelayan skala kecil.
Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University; Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University

Yonvitner