Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar dunia. Jangan sampai ketergesaan menghancurkan berkah luar biasa yang menjadi hak anak cucu kita.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Kawanan babirusa berendam di Kubangan Adudu di Hutan Nantu, Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto, Gorontalo, Juni 2019. Babirusa merupakan hewan khas di Sulawesi.
Kata orang bijak, manusia harus menjaga keanekaragaman hayati sebagai warisan masa lampau. Kelak, saat kita telah paham, kehidupan akan mendapat manfaatnya.
Dalam konteks Indonesia, sayangnya kearifan itu lebih banyak sekadar kata-kata, jarang menjadi pertimbangan dalam mengelola sumber daya alam. Khususnya keanekaragaman hayati. Contoh terbaru adalah ancaman deforestasi yang masif di Kepulauan Wallacea, terutama karena kegiatan pertambangan, perkebunan, dan pertanian.
Dalam acara yang diselenggarakan Institute for Sustainable Earth and Resources-Universitas Indonesia (ISER-UI) bekerja sama dengan pelbagai lembaga sains internasional dan nasional, kajian serta laporan terbaru terkait Kepulauan Wallacea menjadi keprihatinan bersama (Kompas, 17/3/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Salah satu jalan kecil atau gang di kawasan Santiong, Ternate, Maluku Utara, yang diperkirakan pernah menjadi tempat tinggal Alfred Russel Wallace selama berada di Ternate. Foto diambil pada Maret 2018.
Yang dimaksud dengan Kepulauan Wallacea adalah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara. Menyebut Kepulauan Wallacea tidak dapat dipisahkan dari Alfred Russel Wallace (1823-1913), seorang naturalis dan biolog.
Penjelajahan Wallace di belantara Amazone dan Sungai Rio Negro menjadi buku Travels on the Amazon and Rio Negro, terbit 1853. Selanjutnya, sepanjang 1854-1862 ia pergi ke Malaysia dan Indonesia, menjadi buku The Malay Archipelago (1859). Perjalanan ini penting karena surat Wallace dari Ternate menginspirasi Charles Darwin memunculkan teori evolusi.
Peninggalan Wallace adalah teori garis zoologi yang dikenal sebagai Garis Wallacea. Garis maya ini merentang dari utara ke selatan di antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Wilayah di sisi timur garis maya itu disebut Kepulauan Wallacea dengan spesies yang spesifik, berbeda dari sebelah barat garis.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Seekor babirusa jantan dirawat di kandang rehabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Juli 2020. Babirusa merupakan hewan khas di Sulawesi.
Kini, kebijakan pemerintah untuk memajukan kawasan Indonesia timur bisa menjadi bencana ekologi jika tidak dikelola dengan hati-hati. Tidak kemudian dalam artian tidak boleh beraktivitas yang memicu ekonomi, karena kita tentu patut berterima kasih kepada pemerintah yang berupaya memajukan masyarakat Indonesia timur. Mereka yang terabaikan hampir sepanjang usia kemerdekaan Indonesia. Namun, lebih kepada bagaimana pemerintah membuat program ekonomi berkelanjutan agar warisan kekayaan alam yang luar biasa itu tidak musnah sia-sia.
Apakah sudah tepat, misalnya, kebijakan untuk mengembangkan kawasan perkebunan dan pertanian—yang berpotensi monokultur—di Kepulauan Wallacea? Apakah euforia penambangan nikel terus dibiarkan atas nama berputarnya roda perekonomian? Tidak bisakah pemerintah membuat cetak biru pembangunan berbasis ekonomi hijau, yang tidak hanya mengakomodasi potensi, tetapi juga kearifan lokal?
Semua gugatan itu tentunya berlaku dalam membangun seluruh wilayah Indonesia. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar dunia. Oleh karena itu, cita-cita memakmurkan bangsa Indonesia perlu dilandasi kajian yang sudah banyak dilakukan ahlinya. Jangan sampai ketergesaan menghancurkan berkah luar biasa yang menjadi hak anak cucu kita.