Ada gejala pemusatan konsentrasi penguasaan aset nasional dan manfaat pembangunan pada sekelompok orang yang punya akses dan kedekatan pada kekuasaan. Kelompok-kelompok marhaen di era kemerdekaan hanya dapat remah-remah.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Linus Suryadi AG pernah menulis novel dengan judul di atas. Novel fiksi itu populer pada tahun 1978-1980. Judul novel saya kutip lagi setelah membaca feature yang ditulis Nino Citra Anugrahanto dan Regina Rukmorini di harian Kompas, 13 Maret 2023. Tulisan itu mengisahkan buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, salah satunya adalah Pariyem.
”Ya, sehari-harinya memang tidur begini di emperan toko seperti ini. Dibilang dingin, ya, memang dingin. Tetapi, bagaimana lagi. Ini biar tetap bisa pulang bawa uang,” ucap Pariyem kepada wartawan Kompas. Di halaman dalam, ada foto ukuran besar perjuangan Pariyem memindahkan sayuran dari satu tempat ke tempat lain di kawasan pasar. Di halaman lain, ada foto berukuran besar buruh gendong, Maming (67), yang sedang memanggul karung di Pasar Induk Cipinang, Jakarta.
Kisah itu menyentak perasaan di tengah parade pameran kemewahan di media sosial. Bagaimana anak-anak pejabat atau pejabat itu sendiri memamerkan kemewahan. Menggunakan tas merek tertentu dengan harga ratusan juta rupiah. Ada pula cerita pejabat menyembunyikan kekayaan di safe deposit box—yang katanya—mencapai Rp 37 miliar. Pariyem bukanlah sedang melakukan flexing. Namun, itulah realitas keseharian yang ada.
Pariyem adalah buruh gendong. Usianya 67 tahun. Asalnya Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia bekerja sejak dini hari untuk mengangkut sayuran naik turun tangga pasar. Sehari ia memperoleh Rp 35.000 sampai Rp 50.000. Seharga kopi orang Jakarta yang hobi ngopi di mal-mal ternama. Pariyem memilih tidak pulang ke Kulon Progo karena khawatir pendapatan hariannya akan habis buat ongkos. Jadilah, Pariyem tidur di emperan pasar berselimutkan dingin.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh gendong Pariyem (67) bekerja memindahkan barang milik pedagang di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Selasa (7/3/2023) dini hari. Buruh gendong di pasar tersebut masing-masing mendapat penghasilan sekitar Rp 50.000 per hari dari pekerjaan membantu memindahkan barang milik pedagang atau pembeli. Saat ini terdapat 210 perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo.
Kisah Pariyem adalah salah satu kisah kemiskinan ”ekstrem” yang masih ada dan nyata. Perjuangan buruh gendong di Beringharjo dan mungkin juga tempat lain terasa begitu berat. Namun, harapannya sangat sederhana. Mengutip Direktur Yasanti, Nadlrotussariroh, masih ada aspirasi buruh yang belum terwujud. Salah satunya adalah penyediaan toilet gratis di pasar untuk mereka. ”Kalau sekali ke kamar mandi, bayar Rp 2.000, dihitung berapa banyak yang harus mereka bayar,” ujarnya, seperti dikutip Kompas, 13 Maret 2023, halaman 9. Sederhana aspirasinya: toilet gratis untuk buruh gendong.
Pertengahan pekan ini, Sukidi, penulis analisis politik di Kompas, mengirimkan tautan berita dari Kompas.com. Judulnya: ”Kisah Wagiyem Jadi Kuli Panggul di Solo”. Angkat barang 80 kg dapat upah Rp 10.000. Wagiyem adalah kuli panggul di Pasar Gede, Solo. Dalam berita itu harapan Wagiyem adalah bisa mendapatkan asuransi kesehatan. ”Merinding baca ini, sampai enggak bisa bayar premi asuransi kesehatan,” tulis Sukidi.
Sukidi terbiasa berpikir dalam tataran ideal. Namun, ia tersentuh dengan realitas kemiskinan yang kerap ditemukannya di desa asalnya di Tanon, Sragen, Jawa Tengah, dan perjalanannya di Tanah Air. Ia selalu mengutip pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, ”Tidak ada kemiskinan di alam kemerdekaan.”
Memang faktanya selalu ada kesenjangan antara das sein dan das sollen. Antara impian dan kenyataan. Antara cita-cita dan realitas. Antara yang dikatakan dan yang dilakukan. Seorang anggota DPR dalam acara obrolan di kanal Youtube ”backtobdm” pernah mengatakan, ”Bangsa ini terjebak dalam kepura-puraan yang dilembagakan.”
Mengutip Mahatma Gandhi, poverty is the worst form of violence atau kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan.
Bicara soal kemiskinan, saya teringat pada diskusi panel di harian Kompas tahun 2011. Kumpulan makalah dijadikan buku dengan judul Korupsi yang Memiskinkan. Selain problem strukturalis, kemiskinan memang diperparah oleh maraknya korupsi dan kapitalisasi kemiskinan itu sendiri. Salah seorang pembicara mengutip Mahatma Gandhi, poverty is the worst form of violence atau kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian semipermanen berlatar belakang apartemen di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Selasa (16/11/2021). Menurunnya kemampuan ekonomi rumah tangga akibat dampak Covid-19 telah menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk, terutama kelompok rentan atau miskin yang kurang beruntung dalam memenuhi kecukupan pangan.
Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo dalam surat gembala Prapaskah 2023 menyebut, pemerintah sudah bekerja keras menanggulangi pandemi Covid-19. Namun, Uskup Agung dalam surat gembalanya mengingatkan, keadaan masyarakat tidak sedang baik-baik saja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak September 2019 hingga September 2022, jumlah orang miskin naik dari 24,78 juta menjadi 26,36 juta orang.
Dalam periode Agustus 2019 hingga Agustus 2022, pengangguran di Indonesia naik dari 7,05 juta jadi 8,42 juta. Kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja ini berdampak pada kesehatan masyarakat yang daya belinya menurun.
Dan berdasarkan kajian harian Kompas, 9 Desember 2022, diperkirakan 68 persen penduduk Indonesia (183,7 juta jiwa) tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Ini berdampak, antara lain, pada tingginya prevalensi tengkes anak-anak Indonesia.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia, angka prevalensi tengkes anak-anak balita pada tahun 2022 sebesar 21,6 persen. Sementara itu, angka kasus tengkes pada anak usia 12-13 bulan pada tahun 2022 meningkat dari 565.479 menjadi 978.930 anak (Kompas, 28/1/2023). Kesehatan mental masyarakat juga terdampak.
Data itu bukan sekadar angka statistik belaka, melainkan manusia. Kemiskinan akut dan tengkes telah menjadi perhatian pemerintah. Dana dan anggaran telah dialokasikan. Namun, entah kenapa anggaran yang sudah dikeluarkan tak berbanding lurus dengan perbaikan. Seperti pernah dikatakan seorang menteri yang kemudian diklarifikasi, anggaran untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan terlalu banyak digunakan untuk seminar, lokakarya, studi banding, sementara dana untuk si miskin berkurang.
Langkah terobosan perlu dipikirkan untuk membantu mengatasi kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang diambil dari keuntungan perusahaan bisa saja dikelola dalam kolaborasi sosial berskala besar untuk mengatasi satu per satu masalah bangsa dengan memotong sebisa mungkin rantai birokrasi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pemulung menggunakan pelampung mencari barang yang tercecer di Sungai Ciliwung di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (7/2/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta mencatat posisi kemiskinan ekstrem di Jakarta per Maret 2022 mencapai 0,89 persen atau sejumlah 95.668 jiwa. Kenaikan harga bahan bakar minyak mendongkrak harga pangan dan nonpangan penyumbang garis kemiskinan.
Seperti kisah Pariyem di Yogyakarta yang membutuhkan toilet gratis dan Wagiyem di Pasar Gede Solo yang membutuhkan asuransi kesehatan, apa tak mungkin premi asuransi ditanggung pihak ketiga?
Pariyem dan Wagiyem adalah ”marhaen-marhaen” baru yang butuh diangkat derajat hidupnya. Butuh terobosan berani untuk mengentaskan mereka dari kesulitan hidup. Ada gejala pemusatan konsentrasi penguasaan aset nasional dan manfaat pembangunan pada sekelompok orang yang punya akses dan kedekatan pada kekuasaan. Kelompok-kelompok marhaen di era kemerdekaan hanya mendapat remah-remah kemerdekaan.
Apakah tidak mungkin, misalnya, harta sitaan korupsi yang dilakukan Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) langsung diarahkan untuk membantu mereka yang selama ini hanya mendapatkan remah-remah kemerdekaan, misalnya membayar premi BPJS pekerja informal, menyediakan toilet gratis bagi buruh gendong, menyiapkan panel surya untuk daerah yang kekurangan listrik.
Sebab, senyatanya, korupsi itu mencuri akses para warga lanjut usia untuk mendapatkan layanan kesehatan dan mengosongkan piring orang yang kelaparan, tetapi masih membayar pajak demi layanan sosial yang mereka harapkan manfaatnya.