Meletakkan Konteks Normalisasi Saudi-Iran
Normalisasi Saudi dan Iran bergerak dengan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, pilihan opsi kebijakan Indonesia dapat menjadi lebih tepat dengan mendasarkan diri pada kepentingan apa yang dimiliki Indonesia.
Kabar mengenai normalisasi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran yang dijembatani China memberikan harapan bagi banyak pihak akan meningkatnya stabilitas di kawasan Timur Tengah.
Rivalitas Saudi dan Iran menjadi tema dominan dalam berbagai kajian mengenai masalah-masalah di Timur Tengah sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979. Rivalitas itu juga dikaitkan dengan semakin hangatnya hubungan antara Saudi dan Israel yang sama-sama memiliki masalah dengan Iran.
Bahkan, Saudi pernah sepaham dengan Israel dalam masalah penanganan krisis nuklir Iran dengan menolak penandatanganan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) dan menyepakati opsi operasi militer terbatas untuk memastikan bahwa Iran tidak akan go nuclear.
Baca juga : Kisah Peran China di Balik Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran
Konvergensi kepentingan
Rivalitas Saudi dan Iran juga menjadi variabel penting dalam melihat berbagai konflik di Timur Tengah. Penyelesaian masalah Irak, Suriah, Lebanon, ataupun Yaman, semua berpangkal pada perbedaan posisi antara Saudi dan Iran.
Hal yang kemudian menjadi pertanyaan ialah apakah normalisasi hubungan diplomatik kedua negara akan diikuti dengan konvergensi kepentingan keduanya dalam konflik-konflik di kawasan Timur Tengah yang kemudian bermuara pada kestabilan kawasan. Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dilihat dengan memahami logika normalisasi dari dua dimensi.
Pertama, pemutusan hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran terjadi tahun 2016 akibat krisis diplomatik pascaeksekusi ulama Syiah Saudi yang menimbulkan protes di Teheran dan menyasar Kedutaan Besar Saudi. Meski demikian, perbedaan posisi politik kedua negara di kawasan Timur Tengah sudah berlangsung sejak era 1980-an. Bahkan, saat itu, Saudi sampai pada taraf memberikan bantuan logistik perang kepada Irak dalam perang Irak-Iran untuk mencegah apa yang disebut sebagai ”ekspansi Syiah”.
Kemudian, selama Musim Semi Arab, hubungan kedua negara bertambah renggang sebagai akibat perbedaan posisi mereka dalam menyikapi gelombang perubahan. Keduanya berseteru di Bahrain dan juga Suriah, hingga pada titik keduanya menggerakkan proksi mereka untuk bertarung di lapangan. Artinya, ada atau tidaknya hubungan diplomatik tak menunjukkan bahwa permusuhan kedua negara itu menghilang atau berkurang.
Kedua, keberadaan China dalam normalisasi tersebut merupakan hal yang penting. Namun, hal tersebut tidak dengan serta-merta dapat dibaca sebagai menguatnya peran China di Timur Tengah dan menggantikan Amerika Serikat (AS).
Dalam dimensi ini, ada dua hal yang harus dilihat. Hal pertama adalah dinamika dalam hubungan China dan Saudi. Untuk memahami hubungan keduanya, kita perlu melihat pada aspek ekonomi dalam hubungan keduanya. Dalam berbagai pertemuan, pejabat tinggi kedua negara tampak bahwa agenda ekonomi merupakan agenda yang menjadi prioritas utama.
Fokus utama mereka ada pada isu perdagangan dan energi. Saudi yang sedang mengalami stagnasi ekonomi membutuhkan China untuk mendorong kembali perekonomiannya.
Saudi yang sedang mengalami stagnasi ekonomi membutuhkan China untuk mendorong kembali perekonomiannya.
Yang menarik, China mampu melakukan hal tersebut, mengembangkan hubungan ekonomi secara maksimal, tanpa melibatkan diri dalam berbagai konflik yang dilakukan Saudi. Artinya, pendekatan China dalam hubungan dengan Saudi, dan dengan kawasan Timur Tengah secara lebih luas, adalah yes to economic cooperation, but no to politics.
Catatan untuk memahami perilaku Saudi, hubungan yang mereka bangun dengan China tak dilakukan dengan mengorbankan hubungan dengan AS.
Saudi memang memiliki beberapa reservasi terhadap kebijakan AS, terutama dalam kasus pembunuhan Jamal Khashoggi, di mana AS menuduh keterlibatan Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dalam kasus tersebut. Namun, Saudi tetap memiliki ketergantungan secara keamanan terhadap AS dan tetap membutuhkan finalisasi penjualan senjata-senjata terbaru dari negara tersebut.
Apalagi, berkurangnya fokus AS di Timur Tengah akan memaksa Saudi untuk berperan lebih aktif dalam memastikan keamanan dirinya dan negara-negara satelitnya dan untuk itu keberadaan instrumen perang terbaru menjadi penting.
Hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah hubungan Iran dengan China. China merupakan satu dari sedikit negara yang tetap membangun hubungan ekonomi yang kuat dengan Iran di tengah sanksi yang diberikan kepada negara tersebut. Sejak sebelum penandatanganan JCPOA, yang membuat sanksi perdagangan migas dicabut, China sudah menjadi konsumen utama migas Iran.
Meski demikian, China juga memberikan persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai sanksi yang diterapkan terhadap Iran. Dalam konteks tersebut, tampak bahwa sebenarnya perilaku China dalam hubungan dengan Iran juga didorong oleh logika ekonomi, meski harus diakui bahwa kedua negara tersebut sama-sama tidak nyaman dengan kebijakan-kebijakan AS.
Dengan mempertimbangkan kedua hal ini, tampak bahwa baik China, Iran, maupun Saudi masing-masing bergerak dengan kepentingan mereka sendiri dalam normalisasi tersebut. Mereka mengedepankan keuntungan dari kedekatan hubungan ekonomi yang melebihi biaya normalisasi yang harus dikeluarkan tiap-tiap pihak.
China tetap mendapatkan akses terhadap sumber energi dan melakukan peluasan pasar di kawasan Timur Tengah, sementara Saudi dan Iran mendapatkan keuntungan finansial dari kedekatan ekonomi mereka dengan China.
Dengan mempertimbangkan kedua hal ini, tampak bahwa, baik China, Iran, maupun Saudi masing-masing bergerak dengan kepentingan mereka sendiri dalam normalisasi tersebut.
Iran tak perlu mempertimbangkan faktor AS dan bahkan mendapatkan keuntungan karena mereka dan China sama-sama tak suka dengan kebijakan AS, sedangkan Saudi melakukannya tanpa membakar hubungan politik mereka dengan AS. Namun, keuntungan itu tak membuat Saudi dan Iran memiliki konvergensi kepentingan dalam konflik-konflik di kawasan Timur Tengah.
Di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman, kedua negara tetap terlibat dalam perebutan pengaruh politik untuk memastikan negara-negara berada dalam sphere of influence mereka. Dengan China tidak masuk ke ranah itu, pada dasarnya normalisasi tersebut hanya akan setara fungsinya dengan kondisi pra-2016.
Sikap Indonesia
Dengan meletakkan normalisasi Saudi dan Iran dalam konteks tersebut, pilihan opsi kebijakan Indonesia dapat menjadi lebih tepat dengan mendasarkan diri pada kepentingan apa yang dimiliki Indonesia.
Baca juga : Sukses Damaikan Arab Saudi-Iran, China Tertantang Tengahi Rusia-Ukraina
Setidaknya ada tiga hal yang harus disadari Indonesia, pemerintah, ataupun publik. Pertama, logika diplomatik negara-negara di Timur Tengah dibangun dengan landasan kepentingan yang jelas dan terukur sehingga kita pun harus melakukan hal yang sama.
Kedua, sentimen ideologis ataupun agama harus dilihat sebagai alat politik dan diplomatik semata. Ketika mereka dibutuhkan, mereka akan digunakan, tetapi penggunaannya dilakukan sesuai kepentingan apa yang akan dicapai.
Terakhir, dengan semakin banyaknya negara eksternal yang bermain di Timur Tengah, kawasan tersebut akan menjadi semakin kompleks. Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam memahami fenomena di kawasan itu agar Indonesia tak menerima dampak dari kompleksitas itu dan kehilangan rasionalitas dalam merespons.
Broto WardoyoPengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia