Ketika Aspek Ilmiah dalam Perencanaan Ruang Dikesampingkan
Penataan ruang yang baik dan berdasarkan kajian ilmiah akan mampu mengurangi risiko bencana. Namun, dalam praktiknya, penataan ruang minim basis kajian ilmiah dan dikerjakan secara sektoral.
Oleh
MUSNANDA SATAR
·3 menit baca
Tata ruang kembali disorot terkait dengan beberapa peristiwa belakangan ini, seperti banjir di Bekasi, kebakaran Depo Pertamina di Plumpang, serta bencana ekologi lainnya, seperti longsor, di banyak lokasi di Indonesia. Dalam beberapa kejadian, misalnya, dipertanyakan soal pelanggaran tata ruang dalam konteks wilayah daerah aliran sungai atau DAS.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah permukiman penduduk (UN Habitat), misalnya, menyebutkan bahwa spatial planning merupakan alat yang dapat digunakan untuk mendorong secara proaktif serta menyusun tindakan preventif pada wilayah permukiman dari kejadian bencana alam serta kejadian bencana akibat perubahan iklim. Penataan ruang yang baik akan mampu mengurangi risiko bencana dengan membantu memberikan arahan mengenai pola penggunaan ruang, struktur permukiman, jaringan transportasi, penyediaan lahan terbuka hijau, akses ke layanan publik, dan pelindungan lingkungan hidup.
Sebenarnya ada dua tingkatan permasalahan dalam tata ruang. Pertama, terkait pelaksanaan perencanaan ruang yang tidak sejalan. Ini akan terkait dengan gagalnya pemonitoran dan evaluasi pelaksanaan tata ruang dan tidak dilakukannya penindakan atas pelanggaran tata ruang dalam praktik pembangunan. Kedua, pertanyaan mengenai kualitas perencanaan tata ruang itu sendiri yang sebagian mengabaikan aspek-aspek ilmiah dalam pelaksanaannya.
Tata ruang Indonesia sebenarnya sudah sangat detail diatur melalui regulasi mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, bahkan sampai peraturan dirjen dengan detail petunjuk teknisnya. Banjir di Bekasi, misalnya, selain karena limpasan Ciherang, juga karena terputusnya drainase permukiman ke saluran air dan sungai serta pelanggaran ketinggian lantai bangunan. Padahal, jika bicara sistem drainase, seharusnya sudah diatur secara detail dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Sistem Drainase Perkotaan dengan empat lampirannya sampai ke pemonitoran dan evaluasi.
Membaca dokumen-dokumen perencanaan ruang yang ada, kita cenderung mendapatkan dokumen seperti template yang hampir mirip untuk semua wilayah dengan minimnya basis kajian ilmiah dalam penentuan-penentuan rekomendasi ruang yang ada. Misalnya, pada dokumen perencanaan ruang provinsi atau kabupaten, penentuan pola ruang tidak disampaikan dengan dasar-dasar kajian ilmiah yang memperhatikan keseluruhan aspek, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, hingga lingkungan hidup.
Atau, pada penentuan struktur ruang yang kemudian tidak lebih dari mengakomodasi struktur yang sudah ada tanpa memberikan solusi kepada struktur yang lebih baik. Padahal, dokumen tata ruang yang berlaku 20 tahun seharusnya mampu merombak pola dan struktur ruang terkini menuju pembangunan wilayah yang lebih baik.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi perumahan warga di Kampung Bekasi Bulak, Duren Jaya, Bekasi Timur, Kota Bekasi, yang masih terendam banjir, Rabu (8/3/2023) siang. Perumahan warga sebagian sudah ditinggalkan akibat banjir yang tak juga surut selama dua tahun.
Sektoral
Basis kajian ilmiah dalam kegiatan penyusunan tata ruang merupakan salah satu yang perlu dipromosikan secara lebih luas. Kajian-kajian ini sebenarnya sudah banyak dilakukan, tetapi sayangnya tidak banyak digunakan dalam penyusunan tata ruang. Kajian-kajian berbasis ilmiah yang seharusnya masuk dalam tata ruang banyak dikerjakan secara sektoral.
Misalnya, kajian transportasi yang dilakukan kementerian atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Perhubungan tidak menjadi dasar dalam membangun struktur ruang dalam perencanaan transportasi. Kajian bencana alam banyak dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), kemudian hanya muncul satu peta dalam tata ruang berupa wilayah rawan bencana tanpa penjelasan detail bagaimana ini dapat diimplementasikan dalam kurun 20 tahun perencanaan ruang.
Kajian berbasis ilmiah secara antarsektor atau dalam konteks kelembagaan berupa koordinasi sektoral bukan merupakan hal baru. Ambil contoh kajian tata guna lahan (land use) dan transportasi sudah sejak lama dilakukan di Eropa oleh Jerman, Perancis, dan Belanda. Kajian ilmiah yang dilakukan adalah mengkaji bagaimana flow manusia dan barang dengan tetap menjaga kawasan pertanian dan kawasan dengan nilai lingkungan penting.
Basis kajian ilmiah dalam kegiatan penyusunan tata ruang merupakan salah satu yang perlu dipromosikan secara lebih luas.
Dalam konteks ini peran sentral pemerintah menjadi sangat penting dan dapat diterima banyak pihak karena memberikan dampak yang positif secara ekonomi dan lingkungan. Peran pemerintah salah satunya adalah dalam kaitan regulasi dan intervensi dalam mengatur pasar lahan. Pada perkembangannya, peran sentral pemerintah baik pusat maupun daerah kemudian juga memasukkan peran swasta dan masukan-masukan dari masyarakat.
Kajian yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan yang disampaikan dalam laporan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek, misalnya, sudah dilakukan dengan beberapa kajian ilmiah menyangkut demand-forecast dengan mempertimbangkan faktor, seperti bangkitan perjalanan, sebaran perjalanan, pilihan moda, dan pembebanan lalu lintas. Metode ini merupakan hasil kajian transportasi yang sudah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, di mana dalam konteks Jabodetabek misalnya merekomendasikan 60 persen tranportasi disediakan oleh transportasi umum. Sayangnya, konsep ini kemudian tidak terealisasikan dalam penataan ruang secara jelas dengan target-target capaian sesuai pendekatan ilmiah yang digunakan.
HUMAS BADAN PENGELOLA TRANSPORTASI JABODETABEK
Delapan target penyelenggaraan transportasi Jabodetabek yang ditargetkan hingga 2029. Target itu tertulis dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
Perencanaan kota (urban planning) banyak menjadi sorotan saat ini. Kejadian kemacetan yang tidak kunjung tuntas, banjir, dan kebakaran menjadi pemicu sorotan atas lemahnya perencanaan kota di Indonesia.
Perencanaan kota mencakup aspek mulai dari lahan, penggunaan lahan, morfologi ruang, distribusi sumber data, dan interaksi sosial yang direncanakan dan dikelola dengan baik. Salah satu sorotan dalam perencanaan kota misalnya terbatasnya produk perencanaan detail kawasan perkotaan berupa rencana detail tata ruang (RDTR). RDTR itu yang memberikan arahan bagaimana desain kota terbangun. Perencanaan kota menjadi produk yang terbatas karena memang membutuhkan data dasar dan kajian detail, baik dua dimensi maupun tiga dimensi karena perencanaan bangunan yang sifatnya tiga dimensi juga memerlukan perencanaan yang baik.
Sementara itu, perencanaan wilayah nonperkotaan banyak disorot terkait dengan kejadian bencana ekologis. Beberapa kajian ilmiah sudah dilakukan untuk me-mainstreaming aspek ekologis dalam perencanaan wilayah. Salah satunya kajian Allister Scott, dkk pada 2018 yang merekomendasikan adanya mainstreaming ilmu pengetahuan ekosistem ke dalam praktik perencanaan. Ini dapat sukses dilakukan dengan adanya prasyarat antara lain dukungan politik, kepemimpinan yang efektif, proses pembelajaran sosial, dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman perencanaan yang ada.
Kajian berbasis ekologis akan sangat kental dengan kajian-kajian ilmiah. Misalnya saja kita melihat saat ini Kudus sedang dilanda banjir, kajian-kajian ekologis dengan pendekatan geohidrologis dapat dilakukan untuk memberikan rekomendasi penataan ruang yang baik. Beberapa alat kajian modelling geohidrologis dengan soil water assessment tool (SWAT) dapat memberikan gambaran limpasan permukaan serta wilayah-wilayah mana yang memerlukan perlakuan khusus untuk mereduksi kejadian bencana banjir.
Ketika aspek ilmiah dalam perencanaan ruang diabaikan, dokumen perencanaan yang ada tidak mampu memberikan solusi atas kebutuhan jangka panjang perencanaan. Ketidakhadiran kajian ilmiah dalam perencanaan akan memberikan dampak negatif, baik berupa bencana alam atau permasalahan ekonomi dan sosial yang menghambat perkembangan wilayah dan kota itu sendiri.
Musnanda Satar, Conservation Planning Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara