Jalan Tengah Islam di Indonesia
Para tokoh NU dan Muhammadiyah tak kurang-kurang dalam memberi teladan bagi umat dan bangsa Indonesia yang majemuk. Keteladanan itu tampak masih sangat kuat bertahan pada elite-elite Muhammadiyah dan NU hingga saat ini.
Pada Februari 2023, Nahdlatul Ulama berusia seabad, menyusul Muhammadiyah yang juga berusia seabad pada November 2012.
Dua organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) Islam arus utama di Indonesia tersebut, tek terelakkan, sangat fenomenal dalam membentuk wajah Islam di Indonesia yang berkarakter moderat dan toleran.
Mereka meneguhkan suatu jalan tengah (wasathiyah) keislaman dan keindonesiaan yang seimbang melalui kontribusi historisnya yang panjang dan mengakar (Azra, 2020).
Dua organisasi ini sesungguhnya tak sekadar fenomena Indonesia, tetapi juga fenomena global. Karena itu, tak berlebihan, dunia Muslim perlu menengok peran keduanya dalam berkontribusi bagi perkembangan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, tetapi demokratis.
Demokratisasi Indonesia dewasa ini tak dapat dilepaskan dari peran kedua ormas itu. Partisipasi kalangan Muslim dalam berdemokrasi dalam bingkai karakter Muslim-demokrat tak dapat dilepaskan dari pencerahan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Baca juga : Meneguhkan Kembali Islam ”Wasathiyah”
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kedua organisasi ini tak diragukan komitmennya dalam memperkokoh Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan, secara historis para elite kedua organisasi, mewakili golongan Muslim, berkontribusi dalam kelahiran Pancasila sebagaimana kita kenal sekarang ini.
Dua ormas ini lebih merupakan preferensi sosiokultural ketimbang politik kendati massa keduanya memiliki kecenderungan politik masing-masing. Preferensi politik mereka sudah jauh berbeda dengan ketika era Demokrasi Parlementer dan Terpimpin di masa lalu, tahun 1950-an.
Memang ada kesinambungan dan perubahan dalam perilaku pemilih Muslim era Reformasi pasca-1998, tapi perubahan-lah yang cenderung lebih mengemuka. Pertimbangan praktis bahkan pragmatis telah menjadi lazim ketimbang ”ideologis”. Kerja sama dan dialog merupakan jalan yang tak bisa dihindari sehingga konflik yang tidak perlu dapat dicegah.
Dalam dinamika sosial politik, kader-kader keduanya juga tercatat tersebar dan mewarnai berbagai partai politik, termasuk di sayap-sayap keagamaan partai-partai politik terbuka.
Para peneliti lazim mencatat fenomena sedemikian sebagai akomodasi golongan santri di ranah kepartaian di Indonesia.
Di luar politik, dua organisasi itu jelas adalah agen strategis pemberdayaan masyarakat melalui ragam jalur sosial kemasyarakatan. Jauh dari itu, para tokoh yang menyembul dari keduanya merupakan rujukan moral politik kebangsaan.
Muktamar-muktamar yang diselenggarakan keduanya bagaimanapun merupakan laboratorium demokrasi yang relatif sejuk dan dinamis. Moto atau jargon utama organisasi masing-masing saling melengkapi.
Muhammadiyah mengedepankan jargon utama ”Islam berkemajuan”, sedangkan NU ”Islam Nusantara”. Dalam implementasinya, keduanya memberikan pencerahan dan pemberdayaan umat dalam bingkai kemajuan bangsa. Aneka potensi konflik yang remeh semakin tak punya peluang untuk membesar. Pengalaman sejarah yang panjang telah membuat kedua elite ormas tersebut terdewasakan dan semakin bijak.
Pengalaman sejarah yang panjang telah membuat kedua elite ormas tersebut terdewasakan dan semakin bijak.
Lebih dari satu abad lalu, ketika Indonesia masih berada di alam penjajahan Belanda, para ulama telah turut merintis kehadiran nasionalisme ke arah kemerdekaan bangsa.
Melalui implementasi etos Syrat al-Maun yang digali Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 terus konsisten bergerak maju di jalur pendidikan modern dan ragam pelayanan sosial dan kesehatan.
NU yang secara kelembagaan lahir beberapa tahun setelahnya seolah melengkapi hal-hal yang telah dilakukan gerakan-gerakan keislaman lain, termasuk terutama Sarekat Islam.
Dengan adanya Muhammadiyah, Sarekat Islam, NU, dan yang lain, golongan Islam di Hindia Belanda bangkit bahu-membahu dengan berbagai komponen bangsa lain untuk merebut kemerdekaan.
Pada awal kemerdekaan, para elite Muhammadiyah dan NU yang terlibat dalam proses pendirian negara Republik Indonesia juga berkontribusi nyata dalam menghadirkan Pancasila yang sila-silanya kita kenal selama ini. Pada 18 Agustus 1945, mereka sepakat membuang tujuh kata pada sila pertama dalam Pancasila versi Piagam Jakarta menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagaimanapun ini merupakan tonggak sejarah bangsa yang sangat penting, menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Konsep negara Pancasila oleh Muhammadiyah dalam muktamarnya yang ke-47 di Makassar 2015 disebut sebagai Darul Ahdi wal-Syahadah. Makna harfiahnya, negara kesepakatan dan kesaksian (pembuktian).
Keteladanan
Para tokoh NU dan Muhammadiyah tak kurang-kurang dalam memberi teladan bagi umat dan bangsa Indonesia yang majemuk ini. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari masing-masing sebagai pendiri Muhammadiyah dan NU, yang telah diakui jasanya sebagai pahlawan nasional, jelas merupakan suri teladan bersama.
Di masa kemerdekaan, para tokoh keduanya juga tak kurang-kurang memberi teladan bagi bangsa, baik dalam kesederhanaan hidup maupun kebijaksanaannya. Apakah Kiai Ahmad Shiddiq atau Abdurrahman Wahid di NU ataukah AR Fachruddin dan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, mereka semua teladan bersama yang levelnya guru bangsa.
Etos keteladanan itu tampak masih sangat kuat bertahan pada elite-elite Muhammadiyah dan NU hingga dewasa ini, ketika Pimpinan Pusat Muhammadiyah dijabat Haedar Nashir dan PBNU oleh Yahya Cholil Staquf. Keduanya merupakan generasi masa kini, dengan kompleksitas tantangan yang tidak mudah.
Para tokoh NU dan Muhammadiyah tak kurang-kurang dalam memberi teladan bagi umat dan bangsa Indonesia yang majemuk ini.
Mereka telah memiliki referensi sejarah yang kuat di masa lalu hingga dewasa ini, dan karena itu mereka dihadapkan pada sejarah masa depan yang akan terbentuk. Indonesia ke depan tentu juga akan terbentuk oleh bagaimana kiprah kedua warga ormas tersebut berperan dalam mengupayakan hadirnya manusia unggul yang berdaya saing tinggi di era digital yang akan terus berubah ini.
Mereka tentu juga tak sekadar dituntut mampu hadir sebagai referensi moral kebangsaan, tetapi juga dalam berpikir strategis ke depan dalam kebersamaan menggapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Karena ormas bukan partai politik, dan para tokohnya juga bukan tergolong dari golongan politikus yang parsial, maka para elitenya tentu termasuk mereka yang bukan, meminjam Kuntowijoyo, ”berkacamata kuda”. Mereka harus melihat ke segala arah, dan mampu merumuskan sikap dan kebijakan yang melampaui sekadar semata-mata kepentingan warga Muhammadiyah atau warga NU (nahdliyin).
Mereka sudah menjadi milik bersama, bagian penting dari pembentuk sejarah masa depan bangsa. Kepemimpinan yang berkarakter moralitas yang tinggi itulah yang tak terelakkan karena memang kedua organisasi harus merealisasikan visi Islam yang rahmatan lil alamin atau Islam sebagai rahmat untuk semua.
Kita berharap jalannya sejarah terus semakin memperkuat karakter ”jalan tengah” Islam di Indonesia melalui penguatan peran Muhammadiyah dan NU. Keduanya ialah cermin besar bagi umat Islam di Indonesia mengaca diri dan berbenah, sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang majemuk dan negara Pancasila.
M Alfan Alfian, Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta