Berkah Kesandung
Kesandung, tersandung, dan sandunga bisa dikapitalisasi sebagai energi untuk memenangi pertarungan. Kita bisa berkelakar, Jokowi tak akan moncer sebagai pemimpin jika ia tak tersandung arogansi seorang kepala daerah.
Sembilan bulan sejak Juli tahun lalu, kita dibikin terkesima oleh serentetan peristiwa penuh sandungan. Penuh tragedi dan ironi.
Adakah semesta sedang mengibarkan isyarat, sebuah tanda-tanda zaman? Lalu, bagaimana kita memaknai sandungan-sandungan itu?
Mulai dari Tragedi Kanjuruhan; terbongkarnya kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat oleh Irjen Ferdy Sambo; terjeratnya Irjen Teddy Minahasa Putra, seorang kapolda yang nyambi jualan barang bukti narkoba; terjungkalnya oknum pejabat Direktorat Jenderal Pajak lantaran kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya; diberhentikannya Kepala Bea dan Cukai DIY gara-gara gemar pamer kemewahan; terendusnya oknum polisi (oknum, tapi jumlahnya, kok, banyak ya?) yang ”kapok miskin” sehingga kekayaannya supergendut ratusan miliar rupiah.
Kita seperti menyaksikan panggung sandiwara. Rakyat sebagai penonton dibetot emosinya. Mengikuti alur adegan yang di sana-sini terkadang bikin terkesiap. Proses penyidikan, penyelidikan, aneka pemeriksaan, persidangan, sampai pemberitaan di media arus utama ataupun media sosial sarat tanjakan dramatis yang penuh kejutan.
Semua dihadirkan terbuka. Telanjang. Suatu hal yang hil mustahal bisa terjadi di zaman Orde Baru karena saat itu kita tahu—ini perlu diperjelas karena generasi milenial kerap menyangka Orde Baru adalah ”era yang sangat demokratis”—yang namanya pejabat negara, terutama militer, akan aman sentosa jika terserimpung perkara hukum.
Kita seperti menyaksikan panggung sandiwara. Rakyat sebagai penonton dibetot emosinya. Mengikuti alur adegan yang di sana-sini terkadang bikin terkesiap.
Catatan ini tak ingin sok tahu meninjau dampak psikologis anak-anak korban. Atau menilai efek pemberitaan yang vulgar terhadap anak-anak yang belum matang dan dewasa. Juga tak pengin keminter bicara aspek hukum. Tapi sekadar mengajak bermenung yang ringan-ringan saja. Menyelami ruang-dalam kemanusiaan kita. Ruang tempat kesepian kita biasa berdialog dalam hening. Siapa tahu dari situ ada daya gugah yang bisa menyelamatkan kehidupan.
Rentetan peristiwa tragis tadi, selain kasus Tragedi Kanjuruhan, mengingatkan betapa pesan leluhur eling sangkan paraning dumadi, yang artinya ’ingatlah selalu asal-muasal keberadaan dan eksistensimu’, merupakan nasihat klasik yang mujarab. Bisa menolong dan menyelamatkan nasib. Juga nasihat lain, seperti aja dumeh, adigang adigung adiguna, becik ketitik ala ketara, dan peribahasa lain sejenis di semua wilayah Nusantara.
Kesemuanya mengingatkan supaya orang tidak sembrono mengelola kekuasaan, apalagi malah menyelenggarakan keserakahan, seperti pekan ini terbongkar si oknum petugas Ditjen Pajak menyembunyikan kekayaan lebih dari Rp 500 miliar alias setengah triliun. Wejangan-wejangan ini membelajarkan supaya orang senantiasa jujur dengan masa lalunya. Tak ada yang perlu disembunyikan. Orang tak perlu memoles dan menenggelamkan sejarah masing-masing.
Supriyanto
Mengubah musibah
Dalam konteks ini, dari postingan di Facebook saya terpesona dengan kunjungan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang beberapa minggu setelah dilantik menjadi menteri tanpa malu mengunjungi sekolah dasar tempat dia mulai menimba ilmu.
Sebuah SD nun jauh di pelosok, SD Negeri Ngablak, Boyolali, tak jauh dari Kedung Ombo, Jawa Tengah. Dia menemui dan berterima kasih kepada guru-gurunya yang mulai mengenalkan abjad dan ilmu berhitung. Pak Menteri menziarahi masa malunya. Tanpa beban.
Agaknya dia masih orang Jawa yang bisa menghayati sikap ”eling” itu. Dia seperti ingin mengatakan, aku memang asli orang kampung yang tidak pernah berhenti meniti gelombang hidup.
Ada di antara kita, yang mampu mengubah musibah serta gelombang penuh tantangan, sandungan, khilaf, dan ancaman menjadi berkah. Ancaman dan khilaf menjadi kewaspadaan dan kemenangan. Sandungan menjadi ilmu pengetahuan. Sebaliknya, heboh perilaku pamer kekayaan, kemewahan, dan adikuasa, yang belakangan menggebah kehidupan kita, ibaratnya ikhtiar pencitraan diri orang-orang kerdil yang ingin tampil sebagai makhluk paling sempurna. Tanpa bolong-bolong. Tanpa cacat.
Baca juga: Monolog Muram Wong Cilik
Bahwa titik keberangkatan dirinya sebagai orang kampung miskin, yang barangkali untuk bersekolah saja mesti melewati sejumlah kesengsaraan, harus dikubur. Jangan sampai orang tahu dulu level dirinya kasta paria. Kelas abal-abal. Dan karenanya, setelah hari ini menjadi orang berpangkat dan bersandar di takhta kekuasaan, yang kelam itu harus diubah jadi success story yang serba indah.
Sehingga, karenanya, manusia kroco-jiwa ini perlu memamerkan tunggangan transportasinya berharga miliaran rupiah, harga tas yang dijinjing istrinya bisa mengongkosi biaya pendidikan anak SD sekampung, dan seumpama moge (motor gede yang instagramable) dilego, bisa menyantuni puluhan orang yang harus cuci darah seminggu dua kali.
Melucuti dirinya
Mereka yang hari ini tersungkur nasibnya itu, Sambo dan sejumlah pejabat itu, seperti tak percaya diri bahwa kegigihannya mencapai puncak karier sehingga menjadi orang berpangkat dan berpunya adalah ”sebuah kebenaran perjuangan” yang mestinya disyukuri.
Dan seharusnya dihadirkan secara jujur. Menjadi teladan siapa saja. Maaf, saya terpaksa memberi tanda kutip pada ”kebenaran perjuangan” karena sekarang sumber kekayaannya pelan-pelan mulai ditengarai memakai jurus-jurus nakal yang aromanya koruptif.
Supriyanto
Siapa yang membongkar kejahatan-kejahatan mereka? Diri mereka sendiri! Di tengah sepinya protes dan gugatan, ketika bangsa ini seperti ayem tentrem memenuhi harapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, supaya rakyat ikhlas membayar pajak tahunan, mendadak meledak peristiwa remeh. Urusan personal yang njeblug dan akhirnya menyambar perilaku orang-orang yang selama ini secara santun, rapi, dan tersamar melakukan pengkhianatan di sektor keuangan negara. Rakyat dan para pemimpin jengah. Murka bertaburan.
Tanpa ada yang meminta, dengan ajaib dan penuh keganjilan semesta mendorong para penjahat itu melucuti dirinya sendiri. Memperlihatkan borok-borok dan kebusukan-kebusukan perilakunya. Dan naga-naganya ledakan memalukan ini masih akan berkelanjutan. Entah seperti apa peristiwanya.
Kalau saja mereka tak lupa wejangan eling sangkan paraning dumadi, mungkin jalannya nasib tidak setragis hari ini. Minimal bisa menjadi alat becermin dan sarana pengendalian nafsu-nafsu purbanya. Mengerem keserakahannya. Sandungan-sandungan mereka yang menyebabkan hidupnya hancur berkeping-keping, dan kepingan-kepingannya sulit disusun kembali itu, tidak lagi bisa diubah menjadi daya gugah. Gagal menjadi sebuah ilmu.
Kalau saja mereka tak lupa wejangan eling sangkan paraning dumadi, mungkin jalannya nasib tidak setragis hari ini.
Jurus kependekaran
Kita tahu, banyak kalangan yang justru memaknai sandungan-sandungan sebagai berkah. Justru dari sandungan terkadang lahirlah ilmu dan pengetahuan baru. Saya termasuk yang meyakini itu. Bahwa sandungan adalah berkah terselubung yang dikirim semesta.
Berguru kepada riwayat-riwayat tokoh yang berhasil dan berprestasi, di sektor profesi apa pun, bisa dipastikan mereka orang-orang yang lolos dari aneka sandungan. Bahkan bisa mengubah sandungan menjadi temuan dan gagasan baru yang inspiratif dan inovatif. Lahirnya aneka teori yang selama ini kita kaji di bangku-bangku akademik, jika ditelisik dan dicermati asal-muasalnya, bermula dari sandungan si penemu teori.
Tengoklah sejarah bangsa ini. Kalau saja kesombongan Jepang tidak tersandung tragedi bom Hiroshima dan Nagasaki, bangsa ini akan lahir hanya sebagai negara boneka Saudara Tua. Sandungan nun jauh di sana memberkahi bangsa ini yang dengan gagah berani memproklamasikan kemerdekaannya.
PDI yang di masa Orde Baru dibikin kesandung-sandung—untuk tak menyebut dikerjain penguasa—justru memperoleh inspirasi membangun soliditas partai yang kokoh sebagai partai baru dengan mengimbuh namanya menjadi PDI Perjuangan. Gus Dur bernasib mujur terpelanting jadi kepala negara karena ada ”pahlawan reformasi” yang tersandung permainan politiknya sendiri.
Secara bercanda mungkin kita bisa berkelakar, Pak Jokowi tak akan moncer di masa lalu sebagai (calon) pemimpin jika ia tak tersandung arogansi seorang kepala daerah di Jawa Tengah saat itu.
Kesandung, tersandung, dan sandungan ternyata bisa dikapitalisasi sebagai energi untuk memenangi sebuah pertarungan. Itu sebabnya, jika sekarang orang-orang sedang berlomba memacak diri sebagai yang terbaik, cerdas-cerdaslah mengapitalisasi sandungan-sandungan sebagai ilmu kependekaran.
Pendekar yang membela mereka yang terdiskriminasi, konsisten merawat semangat toleransi, dan senantiasa menjaga keindahan kemajemukan bangsa ini. Bukan pendekar yang sekadar mengemban keserakahan oligarki, yang ujung-ujungnya cuma pamer kemewahan, pamer kekayaan, dan pamer kekuasaan.
Butet Kartaredjasa Aktor