Selain menjadi bagian ritual keagamaan, puasa juga banyak dilakukan sebagai bagian dari diet sehat. Bukti sains menunjukkan manfaat puasa dalam proses "autophagy" atau pembersihan dan perbaikan sel tubuh yang rusak.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Puasa telah dipraktikkan selama ribuan tahun sebagai bagian dari ritual agama dan budaya. Belakangan, puasa juga banyak dilakukan sebagai bagian dari diet sehat, terutama setelah banyak bukti sains yang menunjukkan manfaatnya dalam proses autophagy atau pembersihan dan perbaikan bagian sel tubuh yang rusak.
Di Indonesia, puasa sering dikaitkan dengan bulan Ramadhan bagi umat Islam, yang tahun ini akan dijalankan mulai minggu depan. Selama berpuasa, Muslim dilarang makan dan minum selama siang hari, serta memperbanyak sedekah dan berbuat baik kepada sesama.
Banyak budaya dan agama lain juga menganjurkan berpuasa sebagai bagian dari ritual. Sekalipun durasi, tata cara, dan alasan spesifiknya berbeda, semua puasa sebagai bagian ritual ini memiliki tujuan yang mirip, yaitu menahan diri. Dengan membatasi asupan ragawi, kepekaan jiwa dan kepedulian sosial akan terasah.
Apa pun alasan dan metode puasa yang dilakukan, manfaatnya bagi kesehatan sulit didapatkan jika kita tidak konsisten membatasi diri saat berbuka.
Bahkan, puasa juga digunakan untuk mengekspresikan pandangan sosial dan politik, terutama sebagai bentuk protes atau solidaritas. Contoh klasik dari pendekatan ini ditunjukkan Mahatma Gandhi, yang pada awal abad ke-20 melakukan puasa di penjara untuk menebus kekerasan dari para pengikutnya yang tidak mempraktikkan ajaran satyagraha atau tanpa kekerasan melawan pemerintahan Inggris di India.
Puasa untuk alasan kesehatan tubuh sebenarnya juga memiliki jejak panjang. Puasa, misalnya, telah digunakan secara terapeutik sejak abad ke-5 SM, ketika dokter Yunani Hippocrates merekomendasikan pantangan makanan atau minuman untuk pasien yang menunjukkan gejala penyakit tertentu.
Namun, pemahaman tentang efek fisiologis puasa mulai berkembang di bagian akhir abad ke-19, ketika beberapa penelitian pertama tentang puasa dilakukan pada hewan dan kemudian pada manusia. Pada abad ke-20, seiring semakin dikenalnya peran penting nutrisi bagi tubuh manusia, metode puasa semakin berkembang, disesuaikan dengan tujuannya yang juga bermacam-macam.
Puasa digunakan sebagai pola diet sehat dan bentuk pencegahan penyakit, misalnya, termasuk untuk menurunkan berat badan. Secara umum, puasa dengan alasan kesehatan ini dilakukan dengan dua cara, yaitu "intermiten", artinya berselang-seling antara makan dan puasa, atau puasa "berkepanjangan".
Puasa intermiten adalah pola diet dengan memberi jeda waktu antara waktu makan terakhir pada satu hari dan hari berikutnya. Biasanya, puasa ini mencoba untuk melakukan jeda 16 jam tanpa makanan dan makan selama jendela 8 jam.
Cara lain yang dipakai adalah puasa dengan pola 5:2. Ini berarti, selama lima hari makan seperti biasa, tetapi dua hari kemudian makan sangat rendah kalori, sekitar 500 kalori atau tidak lebih dari 25 persen dari konsumsi harian. Sebagai ilustrasi, sepotong pizza mengandung sekitar 250 kalori, satu potong ayam goreng sekitar 210 kalori, dan satu mangkuk nasi putih sekitar 200 kalori. Puasa dengan pola ini lebih fokus pada jumlah makanan yang dikonsumsi, daripada waktu antara waktu makan.
Apa pun metode dan tujuannya, puasa pada dasarnya melibatkan proses membatasi asupan makanan dan minuman yang masuk ke tubuh, bisa dalam rentang waktu tertentu atau jumlah asupannya.
Memperbaiki tubuh
Sejumlah penelitian terbaru menemukan, puasa mengaktifkan autophagy. Kata autophagy sendiri berasal dari kata Yunani auto, yang berarti ”diri”, dan phagein, yang berarti ”makan”. Jadi, autophagy menunjukkan ”makan sendiri”. Konsep ini muncul pada 1960-an, ketika para peneliti pertama kali mengamati bahwa sel dapat menghancurkan isinya sendiri dengan membungkusnya dalam membran, membentuk vesikel mirip karung yang diangkut ke kompartemen daur ulang, yang disebut lisosom, untuk didegradasi.
Namun, konsep ini cenderung sulit dipahami dan belum diketahui implikasinya hingga Yoshinori Ohsumi, ilmuwan biologi sel dari Tokyo Institute of Technology, melakukan serangkaian eksperimen di awal 1990-an, menggunakan ragi roti untuk mengidentifikasi gen yang penting untuk autophagy. Dia kemudian menjelaskan mekanisme yang mendasari autophagy dalam ragi dan menunjukkan bahwa mesin canggih serupa digunakan dalam sel kita.
Penemuan Ohsumi memunculkan paradigma baru tentang bagaimana sel mendaur ulang dan membersihkan diri. Penemuannya membuka jalan untuk memahami pentingnya autophagy dalam banyak proses fisiologis, seperti dalam adaptasi terhadap kelaparan dan puasa, respons terhadap infeksi, termasuk kanker. Atas penemuan ini, Ohsumi kemudian mendapatkan Nobel Kedokteran pada 2016.
Beberapa riset yang mengaitkan berbagai manfaat puasa dengan proses autopaghy di antaranya ditulis Nuria Martinez-Lopez dan tim di jurnal CellPress (2017), Fernanda Antunes dan tim di jurnal Clinics (2018), James J DiNicolantonio dan tim di BMJ Journal (2019), Katharina Anic dan tim di jurnal Nutrients (2022), Simin Liu dan tim di Journal of Diabetes Research (2023), dan banyak lagi yang lain.
Beberapa riset ini secara umum menunjukkan bahwa puasa membantu sistem pencernaan beristirahat dengan menghentikan asupan kalori. Istirahat ini menghemat energi yang akan digunakan untuk mencerna makanan. Energi yang dilestarikan inilah yang digunakan untuk perbaikan, pemulihan, dan peremajaan yang diperlukan untuk menyembuhkan tubuh.
Prinsip ini mirip dengan saat kita sakit, yang biasa menyebabkan nafsu makan berkurang. Tubuh kita mengurangi nafsu makan untuk menghemat energi yang seharusnya masuk ke pencernaan untuk diperbaiki dan dipulihkan.
Apa pun alasan dan metode puasa yang dilakukan, manfaatnya bagi kesehatan sulit didapatkan jika kita tidak konsisten membatasi diri saat berbuka, di antaranya dengan tetap menghindari konsumsi gula berlebih dan makanan ultra-olahan. Alih-alih, makanlah buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian utuh, protein tanpa lemak, dan lemak sehat, atau diet nabati. Selain itu, biarkan tubuh membakar lemak di antara waktu jeda makan, artinya harus tetap beraktivitas fisik sepanjang hari.
Jadi, puasa bukan hanya jeda, tetapi proses membiasakan diri dengan pola hidup yang sehat dan melatih berbuat baik kepada sesama. Selamat berpuasa.