Perlukah Kodam di Setiap Provinsi?
Berdasar pembagian peran dan kewenangan yang mengikuti pembagian fungsi dalam tata kelola pemerintahan, cara mengukur kekuatan Polri dan TNI berbeda. Struktur pertahanan tidak mengikuti struktur pemda seperti Polri.
Baru-baru ini Kepala Staf TNI AD Jenderal Dudung Abdurrachman membuat pernyataan, TNI AD akan membuat kodam di setiap provinsi.
Menteri Pertahanan dan Panglima TNI telah menyetujui hal ini (Kompas, 10/2/2023). Sebelum memasuki soal setuju atau tak setuju, kita perlu melihat kembali tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI dan Polri.
Keadaan saat ini berbeda dari saat Dwifungsi masih berlaku. Di era Dwifungsi, TNI memiliki fungsi sosial politik yang bisa membuat keputusan politik.
Oleh karenanya, TNI dalam bentuk kodam ada di setiap provinsi dan menjadi bagian dari Musyawarah Pimpinan Daerah guna membuat keputusan politik yang terpadu dengan kepala daerah. Saat ini, setelah menanggalkan Dwifungsi, TNI tak memiliki peran sosial politik dan sepenuhnya melaksanakan peran pertahanan nasional.
Perbedaan penyusunan struktur Polri dan TNI berawal dari perbedaan karakteristik tupoksi masing-masing dan letaknya dalam tata kelola pemerintahan. Tupoksi Polri berada di wilayah penegakan hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat. Tupoksi TNI pada pertahanan nasional yang dijabarkan secara konkret mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan (integritas) wilayah nasional.
Perbedaan penyusunan struktur Polri dan TNI berawal dari perbedaan karakteristik tupoksi masing-masing dan letaknya dalam tata kelola pemerintahan.
Tupoksi Polri sangat berbeda karakteristiknya dari daerah ke daerah. Itu sebabnya, tupoksi Polri jadi tanggung jawab pemda. Mengalir dari tatanan di atas, penanggung jawab penegakan hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat adalah kepala daerah sebagai otoritas politik di daerah. Ciri ini sudah terlihat melalui dukungan anggaran pemda untuk pelaksanaan tugas operasional Polri di daerah.
Sementara untuk tupoksi TNI, ancaman terhadap kedaulatan negara dan integritas wilayah nasional pada dasarnya berupa invasi dari negara lain. Invasi ini menggunakan kekuatan militer guna melaksanakan pendudukan wilayah nasional.
Mengapa ancaman terhadap kedaulatan negara dan keutuhan wilayah diarahkan ke ancaman yang datang dari luar negeri, bukan ancaman dari dalam negeri? Ini karena setiap ancaman dari dalam negeri merupakan tindakan kriminal pelanggaran hukum. Karenanya, respons terhadapnya juga melalui fungsi penegakan hukum. Prosedur yudisial untuk mengatasi ini pun merupakan yuridiksi wilayah hukum nasional.
Tatanan ini berimplikasi tugas pokok TNI pada puncaknya adalah tugas perang mengalahkan negara yang berniat melakukan invasi untuk menduduki wilayah Indonesia melalui kekuatan militer. Oleh karenanya, fungsi pertahanan akan selalu bersifat nasional. Contohnya, apabila Kalimantan Barat diduduki negara asing, kekalahan itu tak hanya berlaku bagi provinsi itu saja, tapi juga negara dan Pemerintah RI.
Fungsi pertahanan selalu pada pemerintah pusat dan tak pernah didelegasikan ke pemda. Apabila terdapat operasi perlawanan militer TNI di Kalimantan Barat, operasi pertahanan yang terjadi di sana adalah bagian dari pertahanan nasional secara keseluruhan. Sebaliknya, dislokasi satuan TNI di daerah mana pun tak dapat dilakukan kepala daerah. Pengerahan pasukan TNI selalu di bawah komando Presiden.
Definisi ancaman terhadap pemberontakan oleh WNI bisa kita golongkan sebagai ancaman dari dalam negeri. Ancaman ini pada hakikatnya tindakan pelanggaran hukum, dan responsnya adalah penegakan hukum.
Apabila respons penegakan hukum tak efektif, dalam tata kelola pemerintahan terdapat prosedur dan mekanisme eskalasi menggunakan kekuatan paksa melalui perbantuan TNI. Perbantuan ini dilakukan pada saat masa damai, serta pernyataan keadaan darurat sipil dan militer yang berpuncak pada pengerahan satuan TNI.
Baca juga : Penambahan Kodam Dinilai Tidak Mengikuti Rencana Strategis
Baca juga : Penambahan Jumlah Kodam Jangan di Tahun Politik
Tak perlu di setiap provinsi
Berdasar pembagian peran dan kewenangan yang mengikuti pembagian fungsi dalam tata kelola pemerintahan, cara mengukur kekuatan Polri dan TNI berbeda. Tujuannya adalah keduanya bisa melaksanakan fungsinya secara efektif.
Penyusunan struktur Polri berkaitan erat dengan kondisi masyarakat (moto-nya saja ”melayani dan melindungi”). Untuk itulah, kekuatan yang diperlukan dengan cara membandingkan jumlah personel polisi dengan jumlah penduduk. Secara umum, rasio idealnya adalah 1:450 atau satu petugas polisi melayani dan melindungi 450 penduduk. PBB memberikan standar satu polisi untuk setiap 400 penduduk.
Oleh karenanya, penyusunan struktur Polri mengikuti struktur administrasi pemda. Fungsi penegakan hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat lebih diperketat karena ini tanggung jawab pemda.
Ini berbeda dengan fungsi pertahanan yang jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Fungsi ini tak mengikuti struktur pemda, tetapi disusun berdasar penilaian strategis ancaman yang mungkin datang dari luar.
Ada dua hal yang merugikan apabila struktur pertahanan mengikuti struktur pemda. Pertama, dalam fungsi pertahanan, efektivitas pengerahan tak diletakkan pada perseorangan seperti pada Polri, tetapi satuan dalam hubungan manuver. Efektivitas gelar pertahanan tak semata menghitung jumlah perseorangan, tetapi memasukkan juga kemampuan alutsista.
Dengan demikian, tak perlu komando operasi dibentuk dalam setiap provinsi.
Semakin modern bentuk perang, semakin besar peran teknologi yang tak tergantung pada jumlah manusia. Apalagi, di era teknologi sekarang ini, berkembang kendaraan udara tak berawak (UAV). Kedua, dengan pertimbangan postur dan gelar di atas, apabila mengandalkan gelar personel maupun alutsista dengan pembagian merata untuk setiap wilayah administrasi pemerintahan, ini akan memboroskan anggaran negara.
Oleh karena itu, pembentukan struktur pertahanan lebih pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas berdasar kebutuhan operasional, tanpa dikaitkan dengan wilayah administratif pemerintahan. Kebutuhan operasional akan memerlukan komando gabungan, dan sebaran efektivitas alutsista beserta satuan manuver yang mampu meliputi beberapa wilayah administratif pemerintahan daerah. Dengan demikian, tak perlu komando operasi dibentuk dalam setiap provinsi.
Negara mana pun akan membangun postur dan struktur pertahanannya berdasar alur analisis pertimbangan di atas. Alur ini memadukan kapasitas cakupan wilayah sistem senjata, jangkauan rentang komando dan pengendalian. Tujuannya, menyusun postur dan struktur pertahanan yang paling efisien dan efektif untuk cakupan seluruh wilayah nasional.
Agus Widjojo, Tokoh Reformasi TNI, Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina