Musibah Tanah Merah: Perlu Audit dan Pembaruan Ruang
Penataan kawasan obyek vital nasional yang tepat seperti depot BBM merupakan pekerjaan rumah mendesak. Kunci sinergi Pertamina dengan masyarakat terletak pada kesepakatan zona aman minimum bagi keselamatan banyak orang.
Oleh
HENDRICUS ANDY SIMARMATA
·4 menit baca
Sepanjang 2022 telah terjadi 1.411 kejadian bencana di Jakarta, yang didominasi kebakaran.
Kali ini Kampung Tanah Merah yang mengalami kebakaran akibat ledakan Depo Pertamina. Musibah ini tidak hanya mengakibatkan kerusakan bangunan dan korban luka-luka, tetapi juga menelan korban jiwa.
Tentu, penanganan korban menjadi prioritas utama saat ini, tetapi bagaimana penataan kawasan obyek vital nasional yang tepat juga merupakan pekerjaan rumah yang mendesak. Terutama mengenai jarak aman minimum depot BBM dengan jalan raya atau permukiman dan penataan kawasan di sekitarnya.
Dalam Peraturan Gubernur No 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta seperti dikutip dalam laman Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, zona aman di sekitar depo dikelilingi oleh ruang terbuka biru, termasuk yang berseberangan dengan permukiman penduduk di sebelah utara.
Zonasi tersebut seharusnya dapat meminimalkan risiko kebakaran. Namun, apabila dilihat dari tutupan lahan saat ini, kanal tersebut sudah mengecil dan hanya tersisa jalan inspeksi semata. Artinya, kondisi saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang direncanakan.
Sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN No 17/2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang, audit dapat dilakukan untuk memeriksa dan mengevaluasi indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang.
Audit dilaksanakan sesuai kebutuhan, seperti temuan indikasi pelanggaran atau bencana akibat adanya indikasi pelanggaran. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dinilai, yaitu kesesuaian pemanfaatan ruang dengan (i) rencana tata ruang; (ii) izin pemanfaatan ruang yang diberikan pejabat berwenang, dan (iii) persyaratan izin yang diberikan pejabat berwenang.
Dalam konteks kebakaran depot BBM, kesesuaian dengan rencana tata ruang dapat difokuskan pada pertanyaan apakah zona aman minimum (buffer) berupa ruang terbuka biru masih berfungsi sebagaimana mestinya? Karena itu, penilaiannya nanti tak hanya sekadar memeriksa apakah warna guna lahan eksisting berbeda dengan yang direncanakan, tetapi harus mendalam pada performa ruang yang dicerminkan dari nilai optimum fungsionalitas area tersebut.
Kesesuaian dengan izin pemanfaatan ruang tak hanya fokus pada izin mendirikan bangunan (IMB), tetapi juga hak-hak atas tanah apa saja (status kepemilikan lahan, penguasaan, pemanfaatan atau penggunaan tanah) yang telah diberikan pejabat yang berwenang. Dalam hal ini, pemerintah perlu memeriksa apakah sudah ada koherensi antara hak atas tanah (property rights) dengan hak membangun (development rights) yang dasarnya adalah rencana tata ruang dan standar bangunan gedung.
Terakhir, kesesuaian dengan persyaratan perizinan juga menjadi penting untuk mengetahui pemenuhan syarat-syarat izin-izin yang sudah dikeluarkan. Keberadaan ”IMB” kawasan yang ramai dibicarakan publik akan menjadi lebih jelas alasannya, mengapa Gubernur DKI menggunakan diskresinya untuk merekognisi bangunan masyarakat di sana? Mengapa ada usia (lifetime) IMB itu? dan kepada siapa pengakuan bangunan itu diberikan, apakah individu atau institusi? Audit tata ruang akan membuat terang permasalahan tersebut.
Pembaruan ruang
Secara ekonomi, fungsi kawasan depot energi BBM ini sangat vital dan strategis secara nasional. Dan karena sifat BBM yang mudah terbakar, perlu manajemen aset yang profesional dan zona pengamanan untuk meminimalkan risiko ketika terjadi persoalan.
Secara sosial budaya, masyarakat Kampung Tanah Merah yang sudah puluhan tahun tinggal di sana dan sekarang berjumlah sekitar 30.000 jiwa juga menjadi bagian penting dalam kawasan ini karena mereka punya keterikatan sejarah dengan tempat itu (place attachment). Secara lingkungan, kawasan depot ini berada di wilayah pesisir yang mengalami ancaman penurunan lahan, banjir, dan rawan kebakaran.
Selain mempertimbangkan ketiga dimensi itu, penataan kawasan ini juga harus ditempatkan dalam perspektif waktu jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek, perlu standar pengamanan yang lebih baik melalui peratuan zonasi dan hak atas tanah. Dalam jangka panjang, perhitungan kapasitas depot energi BBM ke depan juga perlu disesuaikan dengan kebijakan transisi energi hijau dan tren kendaraan listrik.
Kunci sinergi Pertamina dengan masyarakat terletak pada kesepakatan zona aman minimum yang harus menjadi kesadaran semua pihak karena menyangkut keselamatan banyak orang.
Dengan mengacu pada Pergub DKI No 31/2022 tentang RDTR, ruang terbuka biru yang berfungsi sebagai zona aman harus dikembalikan fungsinya.
Dengan mengacu pada Pergub DKI No 31/2022 tentang RDTR, ruang terbuka biru yang berfungsi sebagai zona aman harus dikembalikan fungsinya. Bangunan perumahan dan lainnya yang terletak di zona aman itu, baik yang terbakar maupun tidak, harus diberikan tempat baru, termasuk hak atas tanahnya. Karena lahan terbatas, ruang vertikal menjadi solusi. Dengan asumsi luas zona aman sekitar 5 hektar, ruang penggantiannya hanya sekitar 1,5 hektar apabila ruang vertikal dimanfaatkan dengan model rusun empat lantai.
Instrumen konsolidasi lahan vertikal bisa diaktifkan sehingga nanti akan memudahkan penyusunan skema pembiayaan pembangunannya. Pemprov DKI, Pertamina, dan masyarakat harus mau ”saling mengalah” untuk kepentingan bersama. Pelajaran mahal ini jadi kesempatan untuk mengoreksi dan membangun kembali dengan lebih baik.