UU No 32/2004 direvisi menjadi UU No 23/2014 dan kewenangan kehutanan banyak ditarik ke pusat. Banyak bupati jadi tidak peduli masalah kehutanan di daerahnya, seperti kebakaran, perambahan, konflik tenurial, dsb.
Oleh
PRAMONO DWI SUSETYO
·3 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Seorang petani tengah melansir hasil panen buah sawit di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis (6/7/2018).
Penguasaan hutan oleh negara berarti negara memberi pemerintah kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu terkait hutan. Dari kawasan hingga hasil hutan.
Sayang, kewenangan ini tidak diimbangi dengan SDM, regulasi, peralatan, dan pendanaan yang memadai sehingga terkesan ala kadarnya. Padahal, SDA hutan 120,3 juta hektar, lebih dari 60 persen luas daratan.
Sejak Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah Nomor 32/2004 terbit, kewenangan kehutanan banyak dilimpahkan ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Kabupaten yang mempunyai potensi SDA hutan besar ramai-ramai membentuk dinas kehutanan untuk menjaring pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dan mengelola dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan.
Namun, para bupati dengan SDA hutan besar sering salah tafsir. Kasus Bupati Indragiri Hulu, Provinsi Riau, 1999-2008, Raja Thamsir Rahman (RTR) menjadi contoh. Hanya berbekal izin prinsip, Bupati RTR menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan hutan Indragiri Hulu seluas 37.095 hektar.
Padahal, izin usaha perkebunan di kawasan hutan harus dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan izin hak guna usaha (HGU) dari Menteri Agraria/Tata Ruang. Faktanya, PT Duta Palma Group dapat mengusahakan kebun sawit sampai kasus terungkap pada Juli 2022. Negara dirugikan Rp 78 triliun.
UU No 32/2004 direvisi menjadi UU No 23/2014 dan kewenangan kehutanan banyak ditarik ke pusat. Pemerintah kabupaten/kota hanya berwenang mengurus taman hutan raya. Banyak bupati jadi tidak peduli masalah kehutanan di daerahnya, seperti kebakaran, perambahan, konflik tenurial, illegal mining, dan illegal logging.
Pemerintah pusat akhirnya kewalahan, khususnya dalam menangani kebun sawit dan pertambangan ilegal. Sawit dalam hutan mencapai 3,4 juta hektar.
Meski pemerintah telah mengatur penyelesaian sawit melalui regulasi UU No 11/2020, Cipta Kerja, dan PP 24/2021, pelaksanaannya tidak mudah. Apalagi tiba-tiba Uni Eropa mengeluarkan UU tentang komoditas bebas deforestasi, termasuk furnitur dan minyak sawit (CPO). Quo vadis kewenangan kehutanan?
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung di kawasan Bogor di sejumlah titik semakin terimpit perkampungan penduduk, vila, dan hotel, seperti terlihat Senin (12/1/2009). Sepanjang hulu hingga hilir Sungai Ciliwung hampir selalu menjadi sisi belakang rumah warga, yaitu tempat pembuangan sampah, jamban, sekaligus tempat mencuci.
Membaca berita bencana alam ”Gempa, Topan, Banjir Landa Beberapa Negara Asia” (Kompas, 7/9/2022) mengingatkan kita pada bencana alam di negeri tercinta.
Indonesia sering mengalami musim yang ekstrem. Saat kemarau sebagian wilayah Indonesia terancam kekeringan, sementara pada musim hujan banyak daerah berisiko banjir dan tanah longsor.
Saat kemarau sumber air menipis dan banyak wilayah kekurangan air bersih. Kekeringan tersebut memicu titik-titik api di lahan gambut yang menyebabkan kebakaran hutan. Sebaliknya, saat musim hujan, di sebagian wilayah terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Hal ini karena perubahan iklim yang semakin nyata dan memicu bencana beruntun belakangan ini (Kompas, 7/9/2022).
Untuk mengantisipasi bencana alam, kita harus membangkitkan kewaspadaan tiap orang. Daerah-daerah rawan bencana perlu dipetakan, dimitigasi, dan kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Pemerintah dan masyarakat bisa bekerja sama untuk menjaga daerah aliran sungai (DAS) dari hulu ke hilir. Menanami kembali daerah yang gundul dan menjaga kebersihan sungai. Penanaman kembali juga bermanfaat pada musim kemarau, menjaga sumber air tetap mengalir.
Selanjutnya mempersiapkan diri, misalnya dengan mengamankan berkas dan dokumen penting. Jangan sampai kehilangan dokumen penting karena kurang persiapan.
Demikianlah kita mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi pada lingkungan.