Kesalahan prosedur dalam seleksi guru PPPK seharusnya tidak dibebankan kepada para pelamar P1 dengan membatalkan penempatan pelamar P1. Para pemangku kepentingan harus duduk bersama menyelesaikan permasalahan ini.
Oleh
CHRISTINA WULANDARI
·3 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Minggu-minggu awal Maret 2023, dunia pendidikan mengalami kejutan kembali. Perihal kejutan, sekali lagi, menyasar kepada guru-guru berstatus pegawai pemerintah dalam perjanjian kerja (PPPK).
Hal tersebut tertuang pada surat pengumuman Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 1199/B/GT.00.08/2023. Surat pengumuman tersebut dikeluarkan pada 1 Maret 2023, dengan penanda tangan atas nama Mendikbudristek adalah Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) sekaligus Ketua Panitia Seleksi PPPK, Nunuk Suryani.
Surat pengumuman tersebut berisi tentang pembatalan penempatan pelamar prioritas 1 (P1) pada seleksi guru ASN-PPPK tahun 2022. Pada surat tersebut, tertera alasan formal bahwa pembatalan penempatan pelamar PPPK P1 adalah berdasarkan hasil verifikasi dan sanggahan dari pelamar P1.
Esensi dampak dari surat pengumuman tersebut telah mengubah status guru PPPK. Perubahan status merujuk kepada 3.043 pelamar P1, dari yang semula mendapatkan penempatan, menjadi tidak mendapat penempatan.
Penempatan tenaga P1 dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN dan RB) Nomor 20 Tahun 2022, berdasarkan peringkat hasil seleksi kompetensi pada 2021. Apabila pelamar PPPK lulus nilai 1 dan 2 pada jabatan yang berbeda, maka nilai 2 yang dipertimbangkan terlebih dahulu.
Pertimbangan tersebut dibuat dari urutan sebagai berikut: tenaga honorer eks kategori 2 (THK-2), guru Non-PNS, lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG), dan guru swasta. Karena kesalahan dalam seleksi passing grade (PG), yang sedianya tidak ditempatkan, guru P1 dapat mendaftar dan muncul ketidakcocokan dalam pemilihan posisi. Hal inilah yang menyebabkan pembatalan penempatan guru-guru tersebut
Kesalahan prosedur
Keluarnya surat pengumuman tersebut sudah barang tentu menimbulkan riak reaksi. Mungkin dampak keluarnya surat ini tidak terbayangkan oleh pemangku kebijakan. Sebagai orang yang duduk di atas, seringkali luput merasakan apa yang dialami orang bawah.
Mengabdi puluhan tahun, dengan jumlah rombongan belajar (rombel) rata-rata di bawah lima kelas, guru induk P1 disingkirkan dan diganti dengan orang lain. Pahitnya berpenghasilan kecil tergeser oleh guru baru yang menerima penghasilan dengan status PPPK yang diambil dari mereka. Belum lagi secara mental, mereka sudah menunggu status penempatan, tiba-tiba dibatalkan.
Sakitnya akan lebih terasa apabila mengingat puluhan tahun pengabdian mereka. Ada pula yang usianya sudah mendekati ambang batas (pensiun). Status pembatalan ini akan membuat mereka sulit melamar di sekolah lain tanpa penempatan mereka ini. Sementara mereka telah mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan, terkait linearitas, masa kerja, dan dokumen.
Mengabdi puluhan tahun, dengan jumlah rombongan belajar (rombel) rata-rata di bawah lima kelas, guru induk P1 disingkirkan dan diganti dengan orang lain.
Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini? Dengan tidak mengurangi rasa hormat, akan lebih baik bagi pemerintah untuk duduk bersama. Mencari solusi atas situasi ini.
Kesalahan proses seleksi bukan merupakan kesalahan guru P1. Guru P1 tidak layak menerima konsekuensi dari kesalahan prosedur tersebut. Kesalahan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah, dalam hal ini panitia pelaksana seleksi PPPK. Siapa yang bersalah, siapa yang bertanggung jawab.
Permintaan maaf atas ketidaknyamanan, seperti tertera dalam surat pengumuman, tidak cukup mengembalikan hak guru dan suasana psikologis dari 3.043 pelamar P1. Kesalahan prosedur dalam proses rekrutmen menjadi catatan ke sekian dari karut-marut pendidikan yang sepertinya tidak berujung.
Karena itu diperlukan kelegawaan dan perhatian serius dari para pemangku kepentingan. Kemendikbudristek, Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), dan organisasi profesi harus duduk bersama. Berdiskusi dan berempati atas setiap dampak dari ketidakprofesionalan tata kelola.
Kedua, perlu ada kerja sama dan kepedulian dari para guru honorer dan organisasi profesi untuk memastikan agar surat pengumuman tersebut dapat dibatalkan atas nama kemanusiaan. Tinjau ulang surat yang telah dikeluarkan dan kawal penuntasan atas nasib guru-guru yang menjadi korban.
Ketiga, agar para guru yang menjadi korban tetap bertindak dalam koridor kesantunan dalam penyampaian aspirasi. Jauhi tindak anarkis dan perbuatan kontra produktif agar tercipta diplomasi dialogis. Biarkan pemerintah pusat berelaborasi atas situasi yang mereka ciptakan. Para guru P1 tetap dalam komando menyejukkan pada langkah perjuangan.
Keempat, berikan kepastian atas nasib 3.043 nasib guru P1 dengan kejelasan prosedur. Pasca pengumuman seleksi guru PPPK baru-baru saja, tanpa sengaja telah terbentuk friksi antara guru yang diterima dan yang tersingkir karena pembatalan. Agar tidak terbenturkan ghirah senasib sepenanggungan, panselnas dan pihak terkait dapat membuka ruang duduk bersama dengan perwakilan guru dari semua pihak. Setidaknya empati sederhana dapat meredam situasi lanjutan yang muncul.
Perkuat koordinasi guru P1 dengan dinas pendidikan kota/kabupaten masing-masing. Hal ini disebabkan tata kelola terkait guru P1 ada di tangan dinas pendidikan kota/kabupaten setempat. Rata-rata dinas pendidikan kota/kabupaten yang sudah berkalkulasi dengan hati-hati, akan menerima setiap proses pengangkatan P1 tanpa meninggalkan garis koordinasi dengan pemerintah pusat. Beri info-info ter-up-date kepada dinas pendidikan, agar bisa mendapat bahan diskusi untuk dialogis dengan pusat.
Terakhir, perkuat doa agar pemilik setiap hati, berkenan melunakkan hati para pemangku kepentingan dalam upaya mencintai para guru tanpa lelah.