Keterpercayaan Sosial Lewat Penegakan Keadilan
Penerapan hukum yang amburadul kian menggerus keterpercayaan sosial. Karena itu, penegak hukum berperan sangat penting dalam mengembalikan citra keterpercayaan masyarakat terhadap sebuah pemerintahan.
Engkolan ‘moge’ Mario ikut membongkar jejaring kolusi kuasa, duit, tata niaga hukum, dan supremasi penegak hukum. Penerapan hukum yang amburadul kian menggerus keterpercayaan sosial. Tak pelak lagi kalau terdengar suara-suara kekecewaan sosial. Mengapa keterpercayaan sosial terpuruk?
Krisis keterpercayaan
Sampai sekarang proses penegakan keadilan di Tanah Air masih karut-marut dan menimbulkan kekecewaan dan kejengkelan dalam hati korban-korban ketidakadilan. Gejala ini tampak dari tindak penghinaan terhadap oknum (jaksa dan hakim) dan lembaga penegak keadilan di ruang sidang pengadilan masih berlangsung.
Penusukan hakim di Pengadilan Agama Sidoarjo, Jatim (21/9/2005), pemukulan hakim Sunarso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (18/7/2019), pelemparan sandal terhadap hakim di Sikka (4/7/2022), dan masuknya sejumlah anggota Brimob ke dalam ruang sidang kasus Kanjuruhan (2023) mencerminkan impotensi otoritas dan kegagalan oknum-oknum hukum positif dalam menegakkan keadilan.
Baca juga: Putusan Hakim di Antara Keadilan Hukum dan Keadilan Sosial
Sebenarnya independensi penegakan hukum sudah lama tercemar oleh kuasa politik, duit, dan rentetan kepentingan sektarian terselubung. Situasi ini, antara lain, tampak dari sikap Kemenko Polhukam yang dengan terang-terangan mencetuskan pendapatnya sebelum vonis atas kasus hukum Ferdy Sambo dan kasus terbaru Mario lewat media sosial. Campur tangan (kepedulian?) seorang menteri dalam konteks ini tentu berdampak kepada pertimbangan dan pengambilan vonis yuridis yang adil atas kasus yang sedang ditangani.
Lalu, kasus penangkapan pengacara, jaksa, dan hakim (agung) ikut mempertontonkan maraknya komersialisasi vonis hakim dalam lingkaran penentu vonis pengadilan. Dalam keadaan ini, bagaimanakah independensi seorang hakim dalam menghadapi sebuah intervensi sebelum vonis? Lika-liku penegakan keadilan semacam ini mengajak banyak pihak untuk membuka lapak hukum. Akibatnya memang terasa! Hingga kini sejumlah kasus megakorupsi sudah dibungkus, dipeti-eskan, dan bahkan mulai dianulasi.
Belum muncul data akurat tentang berapa mantan pejabat camat, bupati, walikota, gubernur, dan menteri yang menjadi ‘ATM’ penegak hukum. Kasus-kasus hukum mereka sengaja dipelihara dan dirawat oleh oknum polisi, jaksa, dan hakim supaya ‘ATM’ ini dapat digunakan sewaktu-waktu oleh mereka yang menduduki kursi penegak hukum.
Realitas penegakan keadilan ini sangat memengaruhi suasana kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan kesejahteraan rakyat.
Jalur tawar-menawar dan suap-menyuap dalam proses penanganan kasus hukum adalah bagian mekanisme klasik yang tertata apik. Biasanya yang ingin berperkara perlu menyiapkan amplop-amplop bermata uang nasional dan asing sesuai dengan pesanan penentu pasal-pasal siluman dan pengambil keputusan akhir.
Ketidakpastian dan kekacauan hukum ini menimbulkan krisis keterpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan keadilan dalam lingkaran penegak hukum. Realitas penegakan keadilan ini sangat memengaruhi suasana kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Kalau hukum sipil yang berasaskan Pancasila sebagai platform hidup bersama tidak sanggup memberikan keadilan dan kepastian, apakah yang bisa menjadi pegangan dan pedoman hidup bersama dalam sebuah negara berpredikat hukum?
Penerapan hukum yang adil
Salah satu arus sosial yang kuat melanda bangsa Indonesia adalah kecenderungan untuk bermain hakim sendiri mulai dari kalangan anak-anak, remaja, orang dewasa, dan orang tua. Keadaan ini terkait dengan situasi penegakan keadilan yang telah kehilangan wibawa akibat permainan hukum oleh penegak hukum demi kepentingan-kepentingan terselubung yang bertentangan dengan nilai dasar keadilan.
Permainan hukum di tengah persaingan antargolongan dan kubu politik dengan kekuatan uang hanya akan melemahkan energi positif penegakan hukum yang adil. Penegak hukum berperan sangat penting dalam mengembalikan citra keterpercayaan masyarakat terhadap sebuah pemerintahan.
Dasar keterpercayaan masyarakat dalam hampir semua bidang hidup sosial terletak pada kualitas penerapan hukum yang adil, konsisten, tegas, dan tidak pandang bulu. Selagi kepentingan-kepentingan perorangan dan penguasa mendominasi proses penerapan hukum, keadilan yang diharapkan masyarakat hanya tinggal sebagai impian yang tidak pernah menjadi sebuah kenyataan. Penerapan hukum yang adil akan terwujud jika motivasi intrinsik penegak hukum mempertimbangkan kesejahteraan dan kepentingan masyarakat (bdk. Yahagi, 2021).
Dasar keterpercayaan masyarakat dalam hampir semua bidang hidup sosial terletak pada kualitas penerapan hukum yang adil, konsisten, tegas, dan tidak pandang bulu.
Keterpercayaan sosial akan bangkit terutama melalui transparansi penerapan hukum positif di tengah-tengah rakyat Indonesia. Transparansi ini akan sangat memengaruhi pandangan dan sikap warga masyarakat sipil dan mengembalikan sikap keterpercayaan. Selama ini dunia penerapan hukum kita masih diselimuti selubung rahasia antara oknum polisi, jaksa, hakim, tersangka, dan pengacara. Kapankah masyarakat akar rumput bisa langsung menyaksikan penanganan kasus hukum yang sungguh transparan, obyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan dengan hati nurani yang benar dan sehat?
Keterpercayaan ini akan terbangun jika insan pers sejati konsisten ikut meneropong dan mengontrol seluruh alur penegakan hukum dan menghindari segala bentuk permainan terselubung dalam penegakan keadilan. Dalam era revolusi sosial dunia komputer insan pers berperan penting dalam menjembatani pemerintahan dengan keadaan masyarakat yang menuntut transparansi. Kran-kran komunikasi antara pemerintah dan rakyat yang selama ini tertutup sudah waktunya dibuka sehingga keterpercayaan masyarakat bisa semakin bertumbuh (bdk. De Crescenzo dkk, 2022).
Tegakkan keadilan yuridis
Keterpercayaan terhadap dunia hukum adalah modal sosial utama pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa. Dunia memperhitungkan kekuatan suatu bangsa terutama dengan memperhatikan kepastian hukum. Norma-norma dan regulasi sebuah bangsa yang menjamin keteraturan, keamanan, dan damai akan mengundang anak-anak bangsa lain mendatangi dan bekerja sama dengan kita. Penerapan hukum secara adil, jujur, obyektif, dan konsisten kian mendongkrak keterpercayaan masyarakat dan dunia.
Tantangan terbesar sekarang adalah belum muncul keberanian moral yang serius dari kalangan oknum penegak keadilan dalam dunia yudikatif untuk melepaskan tradisi bobrok yang cenderung menyalahgunakan kuasa untuk mengeruk keuntungan dari mereka yang terlilit perkara. Sikap klasik yang mengubah perkara sebagai sumber keuntungan masih sulit ditanggalkan karena ini akan mengganggu penghasilan sampingan.
Masalahnya, bagaimanakah penerapan keberanian moral sebagai reformasi radikal ini sungguh-sungguh menyentuh kepala negara, para menteri, kepala departemen, lembaga yudikatif dan eksekutif, dan semua pihak yang bersentuhan dengan bidang hukum?
Baca juga: Keruhnya Mata Air Keadilan
Harkat, martabat, dan keterpercayaan bangsa akan terpuruk kalau negara kita tidak meningkatkan pembenahan diri terus-menerus dalam penegakan keadilan yuridis. Salah satu jalur utama yang harus ditempuh adalah segera menempatkan personel yang sungguh memiliki integritas, komitmen, dan dedikasi dalam membenahi dunia hukum positif kita.
Sudah waktunya, pejabat pemerintah berani menghentikan tenaga-tenaga penegak keadilan yang trampil menyulap pasal-pasal hukum dan dalih untuk meruntuhkan pilar-pilar keadilan di Tanah Air. Tenaga-tenaga segar dan pakar hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang memiliki kepribadian yang berintegritas, berkomitmen, dan bertanggung jawab dapat segera menggantikan mereka yang sudah lama berkutat dalam lingkaran pengadilan dan merusak proses penegakan keadilan di Tanah Air.
Sebuah jaringan sinergik reformasi dunia hukum dan peradilan di seluruh Tanah Air dengan melibatkan lembaga-lembaga terkait untuk memerangi mafia-mafia hukum akan ikut mendongkrak keterpercayaan masyarakat selama ini. Reformasi bangsa yang suam-suam kuku sudah waktunya dihangatkan dari lingkungan diri sendiri, keluarga, kantor pemerintah, lingkungan kerja, dan seluruh masyarakat. Perombakan dan perbaikan mentalitas reformatif tidak bisa ditunda-tunda lagi di tengah krisis keterpercayaan sosial.
William Chang, Guru Besar Etika Sosial Universitas Widya Dharma Pontianak