Sepak bola tak hanya diharapkan jadi olahraga yang menghibur dan mendatangkan prestasi. Sepak bola juga diharapkan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat dan turut merawat persatuan kita sebagai bangsa.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
BAHANA PATRIA GUPTA
Sidang putusan perkara Tragedi Kanjuruhan berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/3/2023).
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara Tragedi Kanjuruhan menjadi bagian dari momentum pembenahan pengelolaan sepak bola nasional.
Pada Kamis (9/3/2023), Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis penjara 1 tahun 6 bulan kepada bekas Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris dan1 tahun penjara untuk bekas petugas keamanan klub, Suko Sutrisno.
Hukuman itu dijatuhkan sebab mereka dinyatakan lalai sehingga menyebabkan 135 orang meninggal dan 674 orang lainnya terluka seusai menyaksikan laga sepak bola antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Dilihat dari jumlah korban, peristiwa Kanjuruhan adalah tragedi paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola modern. Persisnya setelah Tragedi Stadion Nasional Peru pada 24 Mei 1964 yang menewaskan 328 orang.
Terlepas dari berbagai pendapat yang muncul, putusan terhadap Abdul Haris dan Suko Sutrisno patut dihormati. Ketidakpuasan atas vonis itu seyogianya disalurkan melalui mekanisme hukum yang ada, seperti banding.
Namun, kontrol publik tetap dibutuhkan, baik dalam proses hukum selanjutnya terhadap Abdul Haris dan Suko Sutrisno maupun untuk ketiga terdakwa lain dalam perkara ini yang menunggu vonis. Mereka adalah Ajun Komisaris Hasdarmawan, Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, dan Ajun Komisaris B Sidik Achmadi. Kontrol publik dibutuhkan bukan saja untuk mendatangkan keadilan bagi korban dan keluarganya, melainkan juga agar momentum perbaikan pengelolaan sepak bola nasional yang muncul dari tragedi ini tak terlewat begitu saja.
Sebanyak 69 persen warga Indonesia menyukai sepak bola.
Hasil riset Ipos pada 26 Agustus-9 September 2022 menunjukkan, 69 persen warga Indonesia menyukai sepak bola. Persentase itu tak hanya di atas rata-rata penggemar sepak bola secara global, yang diperkirakan 39 persen dari populasi. Bahkan, angka itu juga di atas ”negara sepak bola”, seperti Argentina yang 51 persen warganya suka sepak bola atau Brasil di mana 50 persen penduduknya menyukai sepak bola.
Besarnya jumlah penggemar sepak bola di Tanah Air membuat banyak harapan disandarkan pada olahraga ini. Sepak bola tak hanya menjadi cabang yang menghibur, tetapi juga mendatangkan prestasi. Sepak bola juga diharapkan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat dan turut merawat persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa.
Pertandingan sepak bola turut membuka kemungkinan bagi warga Indonesia untuk mengunjungi daerah lain di Tanah Air karena mengikuti klubnya bermain. Dan, menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” bersama puluhan ribu warga lainnya saat menonton tim nasional bertanding di stadion.
Pentingnya sepak bola inilah yang turut membuat posisi di kepengurusan sepak bola nasional atau daerah selalu menarik perhatian. Namun, hal itu juga yang membuat sepak bola nasional banyak dirundung masalah dan jauh dari prestasi.
Tragedi Kanjuruhan bisa menjadi momentum untuk keluar dari benang kusut pengelolaan sepak bola nasional. Proses hukum yang tuntas dan seadil-adilnya dalam perkara itu menjadi salah satu jalannya.