Langkah politik diperlukan untuk menangkap ”badai” kejengkelan sosial agar tak berubah menjadi bahaya.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
ILHAM KHOIRI
Budiman Tanuredjo
Tajuk Rencana Kompas, Jumat, 10 Maret 2023, mengambil tajuk ’”Badai” Perilaku Pejabat’. Harian ini mengulas fenomena warganet yang menguliti kekayaan aparatur sipil negara dan keluarganya. Kebetulan mereka yang punya hobi memamerkan kekayaan. Kekayaannya dipajang dan disebarkan melalui media sosial. Perilaku tuna-empati itu melukai perasaan publik. Sebagian rakyat, di kawasan tengah dan timur negeri ini, harus membeli air bersih karena sumber air bersih belum tersedia. Rakyat di desa kesulitan menonton televisi digital dan harus makan seadanya karena itu yang mereka punya.
Pamer kemewahan yang kerap dipertontonkan, saya meminjam istilah Reza Indragiri Amriel di majalah Tempo, 12 Maret 2023, bisa memantik timbulnya personal relative deprivation (PRD). PRD adalah perasaan iri dan dengki menyaksikan orang-orang senasib bisa punya suratan tangan berbeda. Kemunculan PRD bisa diikuti kecenderungan naiknya agresivitas. Saya sendiri sering menggunakan tahapan kejengkelan sosial (social resentment) yang bisa dengan cepat berubah menjadi berbahaya.
Di masa ujung pandemi, beberapa organisasi internasional mengingatkan akan terjadinya ”perfect storm” (badai sempurna). Istilah perfect storm pernah disampaikan seorang menteri yang kemudian menjadi landasan terbitnya Perppu Cipta Kerja. Badai sempurna itu berupa situasi dunia pascapandemi, ketidakpastian akibat perang Rusia-Ukraina, dan perubahan iklim bumi. Peristiwa itu bisa berdampak pada melambungnya harga pangan serta meningkatnya inflasi dan kian menggerogoti daya beli masyarakat.
Badai sempurna di bidang ekonomi perlu dimitigasi agar tidak menjadi badai politik. Ketidakpastian soal Pemilu 2024 adalah badai kecil politik yang kian menambah kelelahan anak bangsa. Manuver menghentikan tahapan pemilu adalah upaya ”mengobok-obok” demokrasi yang amat membahayakan. Tanpa diduga, ”badai” yang kini muncul adalah ”badai” terhadap beberapa perilaku pejabat negara yang merasa jemawa, yang kadang berprinsip money can buy everything.
Batin ini terasa lelah. Terdengar kumandang lagu ”Badai Pasti Berlalu” yang dinyanyikan Chrisye. Liriknya perlu didengar secara perlahan.
”Awan hitam di hati yang sedang gelisah/
daun-daun berguguran/
satu satu jatuh ke pangkuan/
kutenggelam sudah ke dalam dekapan/
semusim yang lalu sebelum kumencapai//
Langkahku yang jauh/
kini semua bukan milikku/
musim itu telah berlalu/
matahari segera berganti//”
Lirik lagu ”awan hitam di hati yang gelisah” mewakili perasaan publik. Badai kecil terus saja terjadi. Seusai pandemi mereda, publik disuguhi drama Ferdy Sambo, drama Kanjuruhan, drama Teddy Minahasa, drama skandal tambang yang melingkupi institusi kepolisian yang tengah berbenah. Sebelumnya, ada skandal ”jualan” putusan di Mahkamah Agung dan dugaan ”perubahan amar putusan” di Mahkamah Konstitusi. Badai lanjutan terjadi menyusul sikap jemawa Mario Dandy yang menganiaya David. Akibatnya, Rafael Alun Trisambodo (ayah Mario) terseret dan dikuliti warganet. Badai itu menjalar ke unit lain dan mungkin saja ke kementerian lain atau ke lembaga lain yang perilaku pejabatnya sebenarnya bisa beda-beda tipis.
Bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo (kanan), memainkan gawainya di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Fenomena sosial yang sedang dimainkan digital power perlu ditangkap. Berbagai ketidakpastian yang tercipta atau diciptakan perlu dijawab dengan ketegasan dan kepastian. Ketegasan pemilu 14 Februari 2024 harus berjalan. Sejauh ini, baru Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang menyatakan tegas pemilu harus digelar sesuai jadwal. Partai-partai lain—apalagi yang telanjur melemparkan wacana berbeda—belum bersikap. Sikap bersama partai soal pemilu 14 Februari 2024 mungkin bisa sedikit mengobati kelelahan batin dan meredakan kejengkelan sosial. Banding dan mungkin kasasi tetap perlu dikawal untuk mencegah munculnya orang-orang nekat dan tuna-konstitusi.
Lubang tahapan pemilu perlu dibereskan. Nasib perppu soal pemilu saatnya dipastikan. Mau diterima atau ditolak. Sejak Perppu No 1/2022 diterbitkan pada 12 Desember 2022, DPR belum mengambil keputusan. Apakah disetujui atau ditolak. Jangan sampai ada kegentingan memaksa di Istana, tetapi justru ada kesantaian DPR di Senayan. Istana mengonstruksikan ada kegentingan, DPR tenang-tenang saja. Tugas konstitusionalnya belum dirampungkan. Ini soal kehidupan berpemerintahan. Hal serupa pada nasib Perppu Cipta Kerja yang juga digantung ”paripurna” DPR. DPR masih belum bersikap meski Presiden mendalilkan ada kegentingan memaksa, DPR santai-santai saja.
Kepastian lain perlu disampaikan kepada publik. Siapa pun yang menumpuk kekayaan ilegal harus berhadapan dengan hukum. Menteri-menteri Presiden Jokowi perlu duduk bersama dan diarahkan untuk perbaikan kelembagaan. Niat Presiden Jokowi menerbitkan UU Perampasan Aset yang drafnya sudah ada tinggal diwujudkan. Mau lewat pembahasan RUU atau penerbitan perppu bisa dilakukan. Langkah politik diperlukan untuk menangkap ”badai” kejengkelan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Langkah pemerintah dan penegak hukum menelisik kekayaan tidak wajar pejabat mendapat dukungan masyarakat yang disuarakan melalui mural, seperti terlihat di kawasan Bintaro, Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Suara Chrisye kembali terdengar:
”Kini semua bukan milikku/
musim itu telah berlalu/
matahari segera berganti/
Badai pasti berlalu...//”
Badai pasti berlalu, tapi jangan terlalu lama karena keletihan kian dalam. Butuh intervensi pemerintah. Jika semua bukan milikku, kata Chrisye, harus diserahkan kepada yang berhak.