Melakukan investigasi terkait penyebab kebakaran, harus termasuk investigasi feasibility study report-EIA dan LARAP pembangunan terminal tersebut.
Oleh
Abdul Afif
·3 menit baca
Harian Kompas (Sabtu, 4/3) mengabarkan kebakaran di Terminal Integrated Bahan Bakar Minyak milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Koja, Jakarta Utara. Kebakaran berlangsung Jumat (3/3) malam, 17 orang meninggal dan sedikitnya 50 orang terluka.
Menurut pemberitaan Kompas Minggu (5/3/2023), dugaan sementara polisi dari berbagai keterangan dan bukti di lapangan, kebakaran terjadi saat penerimaan minyak jenis pertamax dari Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Diduga penerimaan ini memicu tekanan berlebih pada tangki.
Terkait penyebab kebakaran, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengungkapkan, Pertamina telah membentuk tim gabungan, fungsi terkait, dan aparat penegak hukum untuk investigasi.
Sebelum membangun terminal itu, tentunya Pertamina telah mengawali dengan feasibility study–environmental impact assessment (EIA) dan land acquisition and resettlement plan (LARAP). Hal ini untuk memenuhi amanat Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya. Semua itu memengaruhi alam, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Oleh karena itu, melakukan investigasi terkait penyebab kebakaran, harus termasuk investigasi feasibility study report-EIA dan LARAP pembangunan terminal tersebut. Feasibility study report itu haruslah dipaparkan kepada publik agar semua pihak yang berkepentingan paham dan dapat menanggapi.
Abdul AfifPetukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan
Tanggapan BPJS
Menanggapi surat pembaca di Kompas (Rabu, 22/2/2023) berjudul ”BPJS Belum Menanggapi”, kami sampaikan penjelasan berikut.
Prosedur pelayanan kesehatan pada Program Jaminan Kesehatan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Pasal 55, bahwa pelayanan kesehatan dilaksanakan berjenjang. Jika peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) wajib merujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Pelayanan kepada peserta yang dirujuk ke FKRTL paling lama 3 bulan.
Terkait pembatasan pelayanan dengan diagnosis berbeda dalam satu hari, setiap FKTP melayani kesehatan perseorangan yang bersifat nonspesialistik tanpa pembatasan pelayanan atau diagnosis per hari sesuai indikasi medis.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, fasilitas kesehatan wajib menjamin peserta mendapat obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Dalam hal faskes tak memiliki sarana penunjang, faskes tersebut wajib membangun jejaring dengan faskes penunjang lain.
Obat penyakit kronis di FKRTL diberikan 30 hari sesuai indikasi medis untuk setiap kali kedatangan. Adanya keluhan pembatasan pelayanan dalam satu hari di FKTP dan pemberian obat terpisah akan ditelusuri dan diperbaiki.
Di salah satu Pojok Kompas, kata Mang Usil, ”Idealitas dan realitas kadang tak sejalan”.
Akan lebih sedap didengar kalau dikatakan, ”Idealita dan Realita”. Akhiran ita memberi makna ’kecil’ atau ’jender’ betina (female) kepada kata ideal, yang di sini berupa nomina, seperti ”ideal Bacon dan ideal Aristoteles” dalam aksiologi sebagai landasan ketiga dari ilmu/sains.